Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menuju Ke Tempat Yang Jauh

19 Oktober 2017   05:31 Diperbarui: 27 Mei 2021   15:07 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tapi kan usia kamu sudah segini May. Masa belum menikah juga sih."

"Lho, memangnya di badan setiap bayi yang lahir ke dunia, ada cap stempel bertuliskan nama jodoh masing-masing beserta tanggal-bulan-tahun kapan akan bertemunya ?  Nggak ada kan Rin ?  Jadi kalau pada prakteknya rata-rata orang Indonesia menikah di usia 20-an, itu hanya karena berpatokan pada standard yang sudah ada sejak  jaman dahulu. Mengikuti kebiasaan orang tua dan nenek moyang."

"Tapi kan memang wajarnya menikah itu di usia 20-an ?"

"Wajar menurut siapa ?  Menjadi wajar kan karena ada pihak yang pada awalnya membuat ketentuan demikian. Lalu kenapa kita harus mengikuti ketentuan tak berdasar seperti itu ?  Padahal sebenarnya semua orang di dunia ini paham betul, bahwa yang namanya jodoh itu nggak ada yang tahu persis kapan datangnya.  Nggak ada kan, tertera di dalam kitab apapun, atau tertulis pada prasasti dari jaman kapanpun, atau disebutkan dalam naskah-naskah kuno di belahan dunia manapun, yang menyatakan pada saat kapan seseorang akan bertemu jodohnya ?"

"Ya memang nggak ada siih. Tapi nanti kalau kelamaan nggak nikah-nikah, keburu susah punya anak lho May. Menurut pakar kesehatan, kalau mau punya anak pertama itu harus sebelum usia 35 tahun, untuk mengurangi resiko gangguan kesehatan saat hamil dan melahirkan."

"Lalu, berdasarkan teori tersebut,  sekarang aku harus menikah dengan siapa saja asal bisa punya anak tepat pada waktunya, begitu ? Aku kan manusia Rin, bukan sapi. Nggak harus berkembang biak."

"Ih kamu tuh ya, May. Ngomongnya begitu banget. Tapi kalau kita punya anak,  nanti kan ada yang merawat kita kalau kita sudah tua."

"Rin, anak itu bukan barang inventaris yang harus dimiliki untuk kepentingan tertentu. Anak itu dilahirkan sebagai wujud kasih sayang antara suami dan istri. Tidak seharusnya mereka dilahirkan dengan tujuan nantinya untuk dipekerjakan sebagai perawat bagi orang tuanya yang telah jompo. Lagipula, ada juga  kok suami istri yang punya anak banyak, tetapi pada akhirnya setelah anak-anaknya itu dewasa lalu menikah, semuanya sibuk mengurus keluarga masing-masing. Bahkan ada yang harus pindah ke luar kota atau luar negri untuk urusan pekerjaan sehingga  tidak bisa sering-sering bertemu dengan orangtuanya lagi." 

"Ya tapi dengan adanya anak kan bisa menambah keharmonisan dalam rumah tangga. Suami jadi rajin pulang kerumah lho. Nggak kelayapan kemana-mana."

"Anak jangan dijadikan sebagai alat untuk mengikat suami Rin. Anak itu manusia, bukan benda mati. Lagipula seharusnya kalau suami memang benar-benar cinta pada istrinya, nggak perlu menggunakan anak sebagai pengikat kan ? Kalaupun benar seperti kata kamu tadi,  suami menjadi terikat dan tidak berbuat macam-macam di luaran sana, itu berarti bukan dia lakukan karena rasa cinta pada istrinya dong ? Tetapi hanya karena dia merasa harus menjaga perasaan istri dan anaknya. Bukan karena murni cinta dan sayang pada istri. Itu sih namanya sekedar menjalankan  tugas yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani. Apa enaknya hidup berumah tangga seperti itu ?  Kalau menurut aku pribadi nih Rin, kalau ada pasangan yang sudah tidak saling cinta,  ya lebih baik bubar saja. Kenapa harus dipaksakan demi gengsi dan menghindari malu dari pandangan orang lain ?  Kita ini punya hak individu untuk hidup bahagia. Bukannya nggak mementingkan perasaan anak, tapi kita bisa kok memberi pengertian pada mereka. Asalkan kedua orangtuanya tetap bisa bersikap wajar,  saling toleransi, dan tidak menjelekkan satu sama lain sehingga efek perceraiannya tidak mengganggu psikologis si anak. Daripada dipaksakan bertahan tetapi suasana dirumah selalu tidak nyaman dirasa oleh anak-anak karena orang tuanya sering bertengkar. Atau kalaupun tidak bertengkar di depan anak-anak, akan tetap terasa lho, aura negatif yang keluar dari diri orang tuanya saat sedang memendam berbagai macam emosi.  Aku ini bukannya bermaksud sok tahu ya Rin.  Tapi memang sudah banyak kok contohnya, pasangan yang sudah bercerai dan masing-masing menikah lagi, tapi anak-anaknya tetap baik-baik saja."

"Tapi May, kita kan harus berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga kita ?"

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun