Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menuju Ke Tempat Yang Jauh

19 Oktober 2017   05:31 Diperbarui: 27 Mei 2021   15:07 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PERTANYAAN DAN PERNYATAAN TERLARANG 

 

"Pak, Budi tadi dikatain lagi. Budi bosan dikatain terus."

"Yang sabar, Bud. Ini namanya ujian dari Sang Pencipta."

"Kok ujiannya nggak enak ya Pak ..."

"Hush ! Nggak boleh bilang begitu !" 

"Bapak sih enak. Kakinya utuh dua-duanya. Bisa pergi kemana aja. Nggak ada yg ngatain. Kalau Budi, dari dulu nggak bisa ikut main dengan teman-teman gara-gara kaki Budi buntung sebelah. Jalan saja susah, apalagi main kejar-kejaran. Sedih rasanya."

"Itu sudah jalan hidup yang harus kita jalani. Tidak boleh mengeluh."

"Jalan hidup itu nggak boleh pilih sendiri ya, Pak ?  Misalnya pilih jadi orang kaya dan cakep."

"Manusia itu yang penting cakep hatinya. Fisik itu tidak penting. Kalau soal kaya-miskin atau bahagia-sedih, yang namanya hidup itu memang kadang diatas, kadang dibawah. Semua manusia pasti kebagian jatah bahagia dan jatah sedih dalam porsi yang sama."

"Ah masa sih Pak ? Tapi itu, Mbok Darmi yang  hidungnya pesek dan kulitnya belang-belang, kemarin cerita sama Mbak Atun waktu lagi belanja sayur di warung. Katanya dari sejak balita sampai tua bosan makan pakai lauk tempe sama daun singkong terus. Pingin makan makanan di restoran yang enak-enak seperti yang ada di acara TV-nya Pak Kades itu nggak pernah kesampaian. Panen sawahnya yang cuma sepetak juga sering gagal. Rumah yang sudah ditinggali selama puluhan tahun sekarang hampir roboh karena nggak pernah punya cukup uang untuk perbaikan. Lalu suaminya juga beberapa tahun lalu pergi meninggalkan dia dan menikah dengan perempuan lain yang masih muda dan cantik dari kampung sebelah. Kan berarti Mbok Darmi mengalami hal-hal nggak enak terus tuh, seumur hidup. Kapan kebagian bahagianya Pak ?  Sekarang umurnya sudah 60 tahun."

"Hush ! Kamu ini. Kok menggosip seperti ibu-ibu. Kalau Mbok Darmi mengalami hal-hal tidak enak, itu tujuannya untuk memberi pelajaran bagi orang lain supaya lebih berusaha lagi dalam hidup." 

"Memberi pelajaran untuk siapa Pak ?"

"Ya untuk orang-orang di sekitarnya."

"Oo. Kalau begitu kasihan dong ya, Mbok Darmi. Harus jadi korban contoh hidup nggak enak untuk orang lain."

"Hush ! Kok korban. Ya bukan begitu maksudnya !  Sudah !  Sana main diluar."

"Main sama siapa Pak ?  Budi kan nggak punya teman." 

"Ya ngapain kek, sana !"

"Ya sudah Budi mau nonton TV di rumah Pak Kades aja deh. Ada acara sulap. Bagus Pak."

"Sulap kok ditonton. Nggak boleh !" 

"Kok nggak boleh Pak ?"

"Itu para pesulapnya kan kerjasama dengan jin. Nggak usah ditonton yang begitu-begitu !"

"Kata siapa pesulap dibantu sama jin Pak ?"

"Lha itu, bisa menghilang dan pindah tempat semaunya. Tadinya disini, tiba-tiba disana. Tadinya di dalam  kotak, tiba-tiba sudah diluar. Kan mustahil itu. Pasti dibantu sama jin."

"Memangnya bagaimana cara minta bantuan sama jin, Pak ?"

"Ya komunikasi.  Bikin kesepakatan."

"Caranya gimana Pak, komunikasi sama jin ?"

"Pakai sesajen-sesajen yang disukai oleh jin. Kemenyan, dupa, kembang. Tapi kalau sudah bikin perjanjian, kita tidak boleh ingkar. Kalau ingkar, kita bisa mati."

"Kita bisa mati kalau ingkar janji sama jin ?"

"Iya. Pokoknya tidak usah berurusan dengan makhluk halus yang tidak ada wujudnya. Mereka pasti niatnya jelek sama kita." 

"Kalau yang dulu pernah ada kejadian aneh di desa sebelah itu bagaimana, Pak ?  Yang sedang ada pembangunan mesjid, tetapi baru dibangun sampai setengahnya, lalu tiba-tiba besok paginya bangunan mesjid itu sudah jadi. Sudah selesai tanpa ada orang yang mengerjakan. Kalau kata Pak Ustad, yang melanjutkan pengerjaan pembangunan mesjid itu jin. Apa itu jinnya jahat juga ?"

"Ya kalau yang itu nggak. Jin baik. Kan buktinya dia membantu bikin mesjid."

"Nah berarti jin ada yang baik kan Pak ? Kalau begitu Budi boleh nonton acara sulapnya dong. Kan jinnya jin baik. Bantuin orang main sulap."

"Tetap nggak boleh !  Ngeyel bener kamu ini !"

"Yaah ... ya sudah Budi nonton acara tentang dunia kesehatan aja."

"Ya, itu saja."

"Kemarin acaranya membahas tentang jantung buatan. Padahal pasiennya sudah hampir mati lho Pak. Jantungnya bocor. Tapi sama dokter diganti pakai jantung buatan. Akhirnya  bisa sembuh dan sehat kembali deh. Lucu Pak, waktu dikasih lihat sebelum dimasukkan ke badan pasiennya. Jantungnya berdenyut-denyut sendiri."

"Jantung buatan ?  Lha kok melawan takdir toh ?"

"Kok melawan takdir Pak ?"

"Lha itu. Kalau memang sudah waktunya harus mati, ya mati saja. Kenapa harus dipasangi jantung buatan segala ? Itu namanya melawan takdir !"

"Hmm. Tapi, kemarin waktu Mbah Surip darah tingginya kumat sampai pingsan di sawah, kan diobati sama Pak Dokter di Puskesmas, lalu sembuh. Kata Pak Dokter, untung saja Mbah Surip segera dibawa ke puskesmas dan diberi obat. Kalau nggak, bisa meninggal.  Berarti seharusnya kemarin waktu Mbah Surip jatuh pingsan, dibiarkan saja ya Pak ?  Nggak usah dibawa ke Puskesmas segala.  Kan berarti sudah takdirnya harus meninggal." 

"Hush ! Kamu ini kok kurang ajar begitu toh sama Mbah Surip ?  Mbah Surip itu kan mbah-mu sendiri !"

"Lho kan tadi kata Bapak kalau memang sudah takdirnya harus meninggal, nggak usah dilawan ?" 

"Ya beda dengan yang tadi !"

'Tapi kan sama-sama sakit. Yang satu sakit darah tinggi, yang satu sakit jantung. Terus sama-sama dikasih pertolongan biar sembuh. Yang satu ditolong pakai obat, yang satu pakai jantung buatan.  Bedanya apa, Pak ?"

"Sudah !  Nggak usah ngeyel terus !"

"Hmmh. Jadi Budi bolehnya nonton apa nih ?"

"Mbok ya cari tontonan untuk anak-anak saja."

"Oh iya. Budi ingat. Sore ini ada acara tentang robot anak-anak buatan ilmuwan Jepang, lanjutan minggu kemarin. Robotnya canggih Pak. Benar-benar mirip anak-anak biasa. Bentuk badannya, warna kulitnya, bicaranya, ketawanya, semua mirip seperti manusia. Sudah begitu, robotnya juga bisa bernyanyi dan menjawab pertanyaan kita lho Pak. Katanya nanti robot-robot itu akan ditempatkan di panti-panti jompo untuk menemani dan menghibur para orang tua yang sudah nggak punya keluarga. Budi mau nonton itu aja ah."

"Apa-apaan itu ?  Manusia kok mau nyaingi Sang Pencipta. Mana boleh begitu !"

"Siapa yang mau nyaingi Sang Pencipta, Pak ?"

"Lha itu, ilmuwan yang pada bikin robot. Dibikin persis seperti manusia. Itu namanya nyaingi toh ?  Kualat nanti. Nggak usah nonton acara itu !"

"Kok semua-semua nggak boleh sih Pak ?

"Ya kamu juga, kok ya yang dimauin yang nggak boleh-nggak boleh semua."

"Uuh. Budi jadi pingin ketemu ibu. Kenapa sih, ibu harus meninggal Pak ?"

"Ya jangan ditanya kenapa harus meninggal. Hidup mati manusia itu kan semuanya sudah ditentukan oleh Sang Pencipta." 

"Mmm. Tapi tadi kata Bapak, manusia yang ingkar janji sama jin, bisa mati juga. Berarti hidup mati manusia nggak semuanya di tangan Tuhan dong Pak ?  Ada yang di tangan jin juga ?"

"Hush, nggak boleh bilang begitu ! Tuhan kok disamai sama jin !"

"Lho siapa yang nyamain Pak ?  Budi kan cuma tanya yang tadi Bapak bilang soal jin.  Katanya kalau kita ingkar janji sama jin, kita bisa mati. Tadi Bapak bilang begitu kan ? Lalu setelah itu Bapak bilang hidup mati manusia cuma di tangan Tuhan.  Jadi yang benar yang mana Pak ?"

"Ya sudah nggak usah ditanya-tanya lagi yang Bapak sudah bilang !" 

"Mmmhh. Coba Budi bisa ngobrol sama ibu. Kalau ibu, ditanya-tanya begini nggak pernah marah tuh."

"Orang meninggal mana bisa diajak ngobrol."

"Memangnya kalau sudah meninggal nggak bisa diajak ngobrol ya Pak ?"

"Ya nggak bisa toh. Kan sudah di alam lain."

"Tapi tadi kata Bapak, manusia bisa ngobrol sama jin. Bikin perjanjian segala. Jin kan adanya di alam lain ?"

"Ya kalau dengan jin komunikasinya kan berbeda. Bukan seperti kita ngobrol begini. Pakai ilmu kebatinan. Ngobrol pakai batin."

"Ya sudah, kalau begitu Budi juga pingin ngobrol sama ibu pakai batin."

"Ya nggak bisaaa !"

"Lho kenapaa Pak ?"

"Alam orang meninggal kan jauuh. Nggak bisa terhubung lagi dengan alam manusia hidup."

"Oo, kalau alamnya jin dekat ya pak ?  Dekatnya dimana ? Bapak tau dari mana kalo alam jin dekat, tapi alam orang meninggal jauh ?"

"Ya sudah dari dulunya memang begitu yang Bapak tahu. Sudah sana !  Main kek, ngapain kek. Bosan Bapak ngeladeni kamu."

 

 

*****

PERCAKAPAN - PERCAKAPAN MELELAHKAN

 

Maya melirik sekilas formasi angka pada layar gadgetnya. Masih beberapa menit lagi.

Ingatannya melayang ke beberapa hari lalu. Saat pertemuan terakhirnya dengan Erin, teman semasa kuliahnya.

 

"Memangnya kamu nggak pingin menikah May ?"

"Bukan masalah pingin atau nggak Rin.  Namanya juga belum ketemu jodoh."

"Tapi kamu kan cantik. Pasti banyak yang mau."

"Makasih yah pujiannya, hehehe. Tapi kan, urusan cantik nggak ada  hubungannya dengan jodoh.  Dan kalaupun memang benar banyak yang mau sama aku, belum tentu juga diantara yang banyak itu salah satunya adalah jodohku."

"Ah, kamu aja yang terlalu asik kerja mungkin.  Mengejar karier. Jadi nggak mikir untuk menikah."

"Erin, seasik-asiknya suatu pekerjaan, kalau sang jodoh sudah muncul di depan mata, aku yakin pasti nggak akan bisa kita tolak. Kamu percaya kan, yang namanya jodoh itu sudah ditentukan ?  Jadi, kalau memang kita sudah merasa cocok dengan seseorang, ya otomatis kita pasti akan berpikir untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Nah sebaliknya, kalau kita tidak berpikir untuk menikah dengan seseorang, berarti kita belum merasa benar-benar cocok dengan orang itu sehingga tidak sampai berpikir untuk menikah dengan dia. Begitu. Simpel kan."

"Hmm. Kamu tuh bisa banget. Atau, jangan-jangan,  kamu belum bisa move on dari mantan kamu yang terakhir ya ?" 

"Nggak ada urusan dengan mantan kok. Tapi kalaupun iya ini soal mantan, jawabanku ya sama seperti tadi. Sesusah-susahnya kita move on dari seseorang, kalau jodoh yang ditakdirkan tiba-tiba muncul di depan mata, otomatis kita akan langsung tertarik dan bisa move on dari si mantan. Benar kan ?"

"Tapi kan usia kamu sudah segini May. Masa belum menikah juga sih."

"Lho, memangnya di badan setiap bayi yang lahir ke dunia, ada cap stempel bertuliskan nama jodoh masing-masing beserta tanggal-bulan-tahun kapan akan bertemunya ?  Nggak ada kan Rin ?  Jadi kalau pada prakteknya rata-rata orang Indonesia menikah di usia 20-an, itu hanya karena berpatokan pada standard yang sudah ada sejak  jaman dahulu. Mengikuti kebiasaan orang tua dan nenek moyang."

"Tapi kan memang wajarnya menikah itu di usia 20-an ?"

"Wajar menurut siapa ?  Menjadi wajar kan karena ada pihak yang pada awalnya membuat ketentuan demikian. Lalu kenapa kita harus mengikuti ketentuan tak berdasar seperti itu ?  Padahal sebenarnya semua orang di dunia ini paham betul, bahwa yang namanya jodoh itu nggak ada yang tahu persis kapan datangnya.  Nggak ada kan, tertera di dalam kitab apapun, atau tertulis pada prasasti dari jaman kapanpun, atau disebutkan dalam naskah-naskah kuno di belahan dunia manapun, yang menyatakan pada saat kapan seseorang akan bertemu jodohnya ?"

"Ya memang nggak ada siih. Tapi nanti kalau kelamaan nggak nikah-nikah, keburu susah punya anak lho May. Menurut pakar kesehatan, kalau mau punya anak pertama itu harus sebelum usia 35 tahun, untuk mengurangi resiko gangguan kesehatan saat hamil dan melahirkan."

"Lalu, berdasarkan teori tersebut,  sekarang aku harus menikah dengan siapa saja asal bisa punya anak tepat pada waktunya, begitu ? Aku kan manusia Rin, bukan sapi. Nggak harus berkembang biak."

"Ih kamu tuh ya, May. Ngomongnya begitu banget. Tapi kalau kita punya anak,  nanti kan ada yang merawat kita kalau kita sudah tua."

"Rin, anak itu bukan barang inventaris yang harus dimiliki untuk kepentingan tertentu. Anak itu dilahirkan sebagai wujud kasih sayang antara suami dan istri. Tidak seharusnya mereka dilahirkan dengan tujuan nantinya untuk dipekerjakan sebagai perawat bagi orang tuanya yang telah jompo. Lagipula, ada juga  kok suami istri yang punya anak banyak, tetapi pada akhirnya setelah anak-anaknya itu dewasa lalu menikah, semuanya sibuk mengurus keluarga masing-masing. Bahkan ada yang harus pindah ke luar kota atau luar negri untuk urusan pekerjaan sehingga  tidak bisa sering-sering bertemu dengan orangtuanya lagi." 

"Ya tapi dengan adanya anak kan bisa menambah keharmonisan dalam rumah tangga. Suami jadi rajin pulang kerumah lho. Nggak kelayapan kemana-mana."

"Anak jangan dijadikan sebagai alat untuk mengikat suami Rin. Anak itu manusia, bukan benda mati. Lagipula seharusnya kalau suami memang benar-benar cinta pada istrinya, nggak perlu menggunakan anak sebagai pengikat kan ? Kalaupun benar seperti kata kamu tadi,  suami menjadi terikat dan tidak berbuat macam-macam di luaran sana, itu berarti bukan dia lakukan karena rasa cinta pada istrinya dong ? Tetapi hanya karena dia merasa harus menjaga perasaan istri dan anaknya. Bukan karena murni cinta dan sayang pada istri. Itu sih namanya sekedar menjalankan  tugas yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani. Apa enaknya hidup berumah tangga seperti itu ?  Kalau menurut aku pribadi nih Rin, kalau ada pasangan yang sudah tidak saling cinta,  ya lebih baik bubar saja. Kenapa harus dipaksakan demi gengsi dan menghindari malu dari pandangan orang lain ?  Kita ini punya hak individu untuk hidup bahagia. Bukannya nggak mementingkan perasaan anak, tapi kita bisa kok memberi pengertian pada mereka. Asalkan kedua orangtuanya tetap bisa bersikap wajar,  saling toleransi, dan tidak menjelekkan satu sama lain sehingga efek perceraiannya tidak mengganggu psikologis si anak. Daripada dipaksakan bertahan tetapi suasana dirumah selalu tidak nyaman dirasa oleh anak-anak karena orang tuanya sering bertengkar. Atau kalaupun tidak bertengkar di depan anak-anak, akan tetap terasa lho, aura negatif yang keluar dari diri orang tuanya saat sedang memendam berbagai macam emosi.  Aku ini bukannya bermaksud sok tahu ya Rin.  Tapi memang sudah banyak kok contohnya, pasangan yang sudah bercerai dan masing-masing menikah lagi, tapi anak-anaknya tetap baik-baik saja."

"Tapi May, kita kan harus berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga kita ?"

"Bertahan ya ?  Untuk apa ?  Dan untuk siapa ?  Bagaimana jika permasalahan rumah tangga tersebut sudah diketahui oleh semua teman dan saudara-saudara kita ?   Keluarga besar kita ?  Bahkan anak-anak juga sudah tahu.  Lalu apanya yang mau dipertahankan ? Kalau permasalahannya soal prinsip, hal itu pasti akan mengganggu terus seumur hidup apabila tidak ada salah satu pihak yang mau mengalah. Kalau persoalannya tentang pengkhianatan, yang namanya rasa cinta pasti sudah tercemar atau bahkan hilang dari pihak yang dikhianati.  Lalu bertahannya untuk apa ?  Sekedar status ?  Yang penting berstatus punya suami atau istri, begitu ?  Lalu apa hebatnya menyandang status punya suami atau istri, tetapi semua orang sudah tahu tentang kondisi rumah tangganya yang sudah tidak sehat lagi ?  Mau diperlihatkan dan dibanggakan kepada siapa status itu ?  Cara berpikir yang aneh kan ?  Aku benar-benar gagal paham dengan konsep pemikiran yang seperti ini."  

"Yaa ... tapi kan tidak ada salahnya manusia berusaha dan berdoa untuk mendapatkan hidup yang lebih baik May."

"Berusaha dan berdoa kan bukan berarti harus menderita batin sepanjang masa. Bodoh sekali kalau begitu."

"Nah kamu sendiri bagaimana ?  Apa karena alasan-alasan tadi itu makanya kamu belum menikah ?  Takut mengalami seperti itu ?  Kan kamu bisa berdoa dan berusaha juga untuk kehidupan yang lebih baik."

"Aku selalu berusaha dan berdoa untuk mendapatkan yang terbaik dalam hidupku kok. Tapi hidup  yang memang ingin aku jalani lho, bukan hidup yang diinginkan atau diatur-atur oleh orang lain. Dan kalau sampai saat ini belum dikabulkan, ya berarti memang belum waktunya untuk terkabul. Kamu juga sering kan berdoa minta sesuatu tapi nggak langsung dikabulkan ? Dan kamu pasti nggak mau orang menuduh bahwa kamu berdoanya kurang khusyuk ?"

"Hehe ... iya sih ..." 

"Lalu soal 'hidup yang lebih baik untuk aku' yang kamu katakan tadi, itu berarti  menurut kamu seseorang yang sudah menikah sejak muda kehidupannya lebih baik daripada seseorang yang masih sendiri sampai tua ?  'Lebih baik' itu dipandang dari sudut mananya ?  Hanya karena cara hidup aku nggak sama dengan  semua orang di sekelilingku, bukan berarti aku lebih buruk Rin."

"Yaa ... bukan begitu May. Maksud aku ... yaa ... menikah itu kan ibadah."

"Iya betul. Tapi kalau menikahnya hasil dari memaksakan perasaan kepada seseorang yang sebenarnya kita merasa masih kurang sreg dengannya tetapi kita paksakan untuk cocok hanya gara-gara malu dengan usia, lalu akhirnya nanti sering bertengkar dan ujung-ujungnya bercerai, apa itu masih bisa dikatakan ibadah ?  Lagipula kan masih banyak bentuk ibadah lain yang  bisa kita lakukan."

"Lho, yang namanya menyatukan dua kepribadian kan  memang harus dicocok-cocokkan May. Ingat, manusia nggak ada yang sempurna."

"Hahaha ! Kamu nggak nyimak yah Rin ?  Memangnya siapa yang bicara soal kesempurnaan ? Aku tadi bahas soal kecocokkan, bukan kesempurnaan. Arti kata 'cocok' beda dengan 'sempurna' lho. Cocok yang aku maksud itu adalah soal pandangan hidup dan pemikiran. Dan untuk masalah kecocokan ini, orang lain tidak bisa menilai hanya dengan melihat dari luar. Cuma kita dan pasangan kita saja yang bisa tahu berapa persen kadar kecocokan kita, dan apakah jumlah persentase itu sudah cukup sebagai pegangan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan."

"Huft. Kamu memang keras kepala ya May. Pantas susah dapat jodoh."

"Ya ampun Rin, komentar kamu kok dangkal sekali,  hehehe ... Menurutku sih, di dunia ini nggak ada yang namanya 'manusia keras kepala'. Yang ada hanyalah 'ketidakcocokan'.  Coba deh, seandainya pemikiran aku dengan kamu sejalan, pasti kita tidak akan berdebat. Tetapi karena ada beberapa hal yang tidak cocok diantara kita, maka otomatis masing-masing akan mempertahankan pendapatnya dan mengatakan pihak lainnya sebagai pihak yang 'keras kepala'.  Jadi, kalau kamu bilang aku keras kepala, aku juga bisa mengatakan bahwa kamu yang keras kepala. Karena kita sama-sama mempertahankan pola pikir masing-masing. Benar kan ?"

"Tapi kan pola pikir aku wajar May. Sama dengan pemikiran mayoritas orang-orang lain."

"Nah, itu juga pendapat yang aneh, Rin. Menganggap bahwa jumlah yang lebih besar adalah yang lebih wajar, sehingga bisa dijadikan pembenaran untuk mengatur orang lain.  Padahal setiap manusia itu punya hak asasi lho, hak untuk memiliki pemikiran yang berbeda-beda satu sama lain.  Tapi yah, sayangnya manusia di bumi ini terlanjur terpola untuk pasrah saja mengikuti semua hal yang sudah ditentukan lebih dulu oleh ego pribadi atau kepentingan kelompok sejak jaman nenek moyang masing-masing, yang terkadang tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman namun tetap dipaksakan." 

"Hhh ... kamu tuh pintar banget kasih jawaban May. Memangnya kamu nggak risih ya kalau ditanya-tanya oleh saudara atau teman kamu, kenapa belum menikah ?"

"Risih ? Nggak tuh. Kalau ditanya ya aku jawab saja persis seperti jawaban aku ke kamu tadi, Rin. Lagipula, mereka yang suka tanya-tanya seperti itu tuh sebenarnya karena nggak suka melihat adanya suatu kondisi yang berbeda dari kondisi mereka sendiri kan ?"

"Maksudnya ?"

"Aku beri ilustrasi cerita nih ya. Misalnya ada seseorang yang usianya sudah dewasa tetapi belum juga menikah. Lalu pada setiap pertemuan, semua teman-temannya yang telah menikah selalu mendorong dan menyemangati supaya dia juga segera menikah. Dan pada suatu hari, akhirnya dia menikah juga. Semua teman memberi selamat. Tetapi kemudian di hari-hari berikutnya, setiap pasangan pengantin baru ini terlihat romantis di depan umum, atau meng-upload  foto  mesra di medsosnya, akan dikomentari dengan kata-kata seperti ini : 'Alaa ... pengantin baru sih memang masih mesra. Tunggu saja nanti setahun lagi, hahaha !'. Nah, kalimat seperti itu, maksudnya apa kalau bukan karena mereka berharap pasangan pengantin baru itu beberapa saat lagi akan mengalami hal yang sama seperti yang mereka alami, yaitu kehidupan rumah tangga yang sudah terasa hambar dan membosankan  karena telah berjalan sekian tahun lamanya ?  Sering bertengkar ?  Kesulitan mengatur pengeluaran ?  Capek dan  repot mengurus anak ?  Untuk apa tadinya mereka sibuk mendorong teman yang masih jomblo untuk segera menikah dengan alasan supaya mendapat pahala, supaya dapat merasakan nikmatnya hidup berumah tangga, supaya berkah, dan lain-lain, tetapi setelah temannya itu menikah, malah langsung berbalik mengejek seperti itu ?  Ketahuan kan maksud sebenarnya ? Mereka hanya tidak suka ada teman yang menjalani hidup berbeda dari mereka."

"Idiiih, itu kan cuma bercanda  saja May. Menggoda teman yang baru menikah kan hal yang wajar."

"Ah, aku bisa bedakan kok mana yang bercanda dengan maksud menggoda, dan mana yang sebenarnya isi curahan hati terdalam tetapi berkedok candaan. Kalau memang niatnya murni hanya mau menggoda, seharusnya kan kalimat wajarnya seperti ini : 'Ciee pengantin baru, mesra terus nih, jadi iri deh' atau 'Duuh asik banget yang berduaan terus, semoga langgeng yaa'. Begitu Rin. Bukannya malah : 'Lihat aja nanti enam bulan lagi' atau 'Tunggu deh setahun lagi'.  Kalimat seperti itu sih lebih bersifat peringatan sinis dibanding bercanda."

"Ah, nggak begitu juga lah May."

"Hahaha. Memang begitu kok. Aku tahu Rin, kalian yang sudah menikah itu, sebenarnya hanya tidak suka melihat ada orang lain yang masih bisa hidup bebas merdeka tanpa beban. Sepertinya kondisi seperti itu meresahkan sekali bagi kalian yang melihatnya. Kalian cuma ingin orang lain ikut merasakan juga kehidupan seperti apa yang kalian rasakan setelah menikah, terutama bagian yang tidak enaknya. Jadi kalau ada  teman yang sudah terlalu lama single lalu tiba-tiba menikah, rasanya legaa sekali. Bertambah deh satu teman yang akan senasib sependeritaan. Hahaha !"

"Hmm. Kamu nih sebenarnya lagi nyindir aku ya ?"

"Eh, memangnya kamu merasa disindir Rin ? Yang bagian mana nih ?  Hehehe. Aku hanya mengemukakan pendapat pribadi saja kok. Memang di dalam hidup manusia itu penuh dengan aturan tak tertulis yang merepotkan. Aturan yang mengharuskan menikah di usia sekian, supaya keluarga tidak merasa malu dan selamat dari pertanyaan-pertanyaan mengganggu dan meresahkan setiap bertemu kerabat. Belum lagi aturan lainnya soal harus segera punya anak, pekerjaan dengan gaji bagus , dan lain-lain. Tanpa disadari, keseluruhan hidup kita ini sebenarnya diatur oleh Undang-Undang Tetangga dan Kerabat. Dan isi undang-undangnya tergantung dari tingkatan status sosial, pergaulan dan selera masing-masing kelompok."

"Ah, nggak segitunya kali May. Masa hidup diatur oleh tetangga."

"Lho memang segitunya kok. Kamu nggak sadar kan ? Ingat waktu kamu mau menikah dulu ?  Kamu sampai stress dan jatuh sakit karena memikirkan acara pesta pernikahan kamu kan ?  Bingung mau sewa gedung dimana, catering yang mana, model baju pengantinnya bagaimana, undangan yang tidak cukup, dana kurang. Belum lagi rangkaian ritual sebelum acara pernikahannya.  Bagaimana kostum dan dekorasi rumahnya, apa saja isi paket seserahannya, isi kotak nasi dan kue-kue, pantas atau tidak jika dilihat oleh tamu yang datang dan jangan sampai jadi bahan pembicaraan, tetangga dan saudara siapa saja yang harus diundang demi kesopanan karena kalau ada yang terlewat tidak diundang nanti dianggap tidak menghormati. Dan untuk detail kesemuanya itu harus dicari jalan tengah antara kemauan dua pihak keluarga. Itu semua demi apa ?  Demi gengsi terhadap pandangan orang lain kan ?  Kerabat dan tetangga ?"

"Nggak juga ah May. Pesta pernikahan kan diharapkan hanya sekali seumur hidup. Semua orang pasti ingin yang spesial dan membahagiakan. Itu semua demi kebahagiaan kita sendiri kok. Bukan tetangga."

"Iya. Tapi wujud spesial dan membahagiakan itu seperti apa ?  Kata siapa standard spesial itu harus berhubungan dengan gaun, gedung, kartu undangan, dan sebagainya ? Darimana kamu dapatkan standard kespesialan itu ?  Dari orang-orang yang menikah sebelum kamu kan Rin ? Lingkungan, teman, tetangga dan kerabat."

"Ah, aku menentukan sendiri kok, hal apa yang aku rasa spesial untuk acara pernikahanku waktu itu."

"Yakin ?  Yakin kamu menentukan sendiri standar spesial untuk merayakan pernikahanmu ? Bukan terpengaruh oleh pola kebiasaan yang sudah ada ?"

"Hmm ..."

"Coba kamu tanyakan ke lubuk hati kamu yang paling dalam. Kamu punya dana seratus juta untuk merayakan moment spesial dan bahagia untuk pernikahan kamu. Apakah harus diwujudkan dengan makan beramai-ramai di dalam satu gedung megah ? Berdiri selama dua jam lebih sampai pegal hanya untuk bersalaman dengan tamu-tamu yang bahkan tigaperempatnya tidak kamu kenal ?  Apakah tidak lebih bahagia kalau uang seratus juta itu kamu gunakan untuk berlibur ke ... Eropa misalnya ?  Masa kamu nggak pingin pergi mengunjungi tempat-tempat yang indah bersama dengan laki-laki yang paling kamu cintai ?  Menikmati pemandangan dalam suasana romantis, belanja, foto-foto lalu di upload ke medsos ?  Spesial dan bahagia kan tuh ?"

"Tapi aku sangat menikmati kok, perasaan bangga bisa memperlihatkan gaun pengantin yang indah di atas pelaminan, dan menerima tatapan kekaguman dari semua tamu yang datang."

"Di medsos juga bisa pamer foto wisata yang keren-keren kok. Kamu tinggal pakai outfit yang paling kekinian, foto di depan background yang paling instagramable, kalau perlu di tempat-tempat yang mahal dan masih jarang dikunjungi orang. Bangga juga kan ?  Ya memang sih, kamu nggak bisa menerima secara langsung tatapan kagum dari para tamu. Tapi, apa kamu yakin tuh, semua tamu yang datang itu benar-benar murni menatap kamu dengan kagum ?  Nggak ada yang iri atau bahkan dengki ?  Kagum saja begitu ?  Tanpa embel-embel nyinyir atau kritikan apapun tentang detail make-up, gaun, dekorasi, catering, gedung dan lainnya ?  Menatap kagum tanpa membahas hal lain yang menyangkut kamu atau suami kamu ?"

"Hmm ..."

"Minimal kalaupun di medsos kamu pasang foto bulan madu super romantis lalu dinyinyirin juga, tetap saja kamu menang lebih banyak. Bahagianya dapat, bangganya dapat, romantisnya dapat, foto kenangan di berbagai lokasi dapat, refreshingnya dapat, belanjanya dapat, dalam jangka waktu berhari-hari pula. Dibandingkan kalau seratus juta itu hanya untuk menyelenggarakan pesta dua jam berdiri di pelaminan tetapi stressnya sampai berbulan-bulan sebelumnya."

"Ya ... tapi kan kita tetap harus memberitahukan peresmian pernikahan kita ke orang lain. Sebagai wujud syukur dan bahagia."

"Nah, yang menentukan kalau perwujudan syukur dan bahagia itu harus dalam bentuk memberi makan ke orang lain itu siapa ?  Kalau memang niat mau beramal dengan membagikan makanan, kenapa nggak kamu berikan saja uang seratus juta itu ke rumah yatim piatu ?  Pada kenyataannya kan  orang-orang yang kamu undang itu rata-rata dari kalangan mampu yang nggak terlalu butuh diberi makan. "

"Ya tapi kan aku punya teman dan keluarga yang harus diberi kabar. Mohon doa restu."

"Sekarang jaman teknologi canggih. Mohon doa restu kan bisa lewat media online."

"Masa cuma lewat medsos?  Kesannya nggak sopan kan ?"

"Nah itu dia. Siapa yang membuat aturan bahwa orang yang mampu harus membuat acara makan bersama dengan tetangga dan kerabat saat menikah supaya terlihat sopan ?  Standar darimana itu ?"

"Dari ... ya dari dulunya sudah begitu sih ..."

"Nah makanya. Berarti benar yang kukatakan tadi.  Hidup kita di bumi ini banyak diatur oleh Undang-Undang Tetangga dan Kerabat. Sampai-sampai kita tidak bisa membedakan lagi, hal mana yang benar-benar kita sukai sesuai selera kita yang sebenarnya, dan hal mana yang kita sukai hanya karena terpengaruh oleh kebiasaan yang sudah ada di masyarakat."

"Yah masalahnya kan aku punya orang tua May. Nggak bisa memutuskan sendiri. Harus mempertimbangkan pendapat dan keinginan mereka."

"Nah berarti yang aku katakan tadi benar kan ?  Kamu tidak memutuskan sendiri atas apa yang kamu inginkan. Keputusan membuat acara pesta itu kamu ambil karena kamu memikirkan orang lain."

"Ya tapi kan yang aku pikirkan orang tuaku sendiri May."

"Iya memang itu yang kumaksud sebagai pemikiran yang diatur oleh Undang-Undang Tetangga dan Kerabat. Orang tua kamu juga menginginkan acara pesta seperti itu karena tanpa sadar telah didikte  oleh undang-undang itu juga."

"Yah habis mau bagaimana lagi ..."

"Iya Rin aku mengerti. Aku kan nggak menyalahkan kamu.  Aku sejak  tadi juga bicara secara garis besar kok. Secara umum. Yah, memang susah sih, jadi manusia dengan pemikiran bebas seperti aku. Belum merasa ketemu jodoh, dituduh malas menikah karena menghindari tanggung jawab. Tidak ingin punya anak dulu, dianggap tidak punya naluri keibuan.  Padahal semua itu bukan sekedar soal tanggung jawab atau naluri lho. Melainkan tentang apa yang kita inginkan dalam hidup.  Coba dipikir, kalau ada orang yang memilih untuk hidup tanpa harus menanggung beban berupa suami atau istri atau anak, apakah lantas mereka menjadi orang yang bersalah ? Dan apa salahnya jika ada pasangan suami istri yang ingin menunda dahulu untuk mempunyai anak, karena mereka sadar kemampuan finansial mereka belum mencukupi? Atau karena mereka tidak ingin nantinya akan merepotkan orang lain dalam mengurus anak mereka karena memperhitungkan kondisi mereka yang harus pergi bekerja dan meninggalkan rumah setiap hari?  Jadi janganlah anak dianggap sebagai objek pelengkap supaya rumah tangga tampak bahagia, atau supaya terlihat normal seperti pasangan lain, tetapi pada kenyataannya tidak bisa maksimal dalam mengurusnya.  Faktor kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan kedekatan anak dengan orang tua itu kan sangat penting. Dan anak juga bukan aset, yang dilahirkan dengan tujuan agar dapat mengurus orang tuanya di masa tua. Mereka enggak minta dilahirkan lho, kita sebagai orang tua yang memutuskan untuk melahirkan mereka. Jadi jangan menuntut apapun ke anak-anak kita."

Erin terdiam, tampak sangat tidak setuju dengan pendapat Maya.

"Tapi yang namanya rejeki untuk anak itu pasti nanti akan ada kok May," ucap Erin akhirnya, meski tidak terlalu berhubungan dengan pembahasan sesaat sebelumnya.

"Iya rejeki pasti ada. Tapi tidak ada kepastian kan, kapan akan datangnya? Dan tidak ada kepastian berapa jumlah rejekinya?  Bagaimana kalau sampai anaknya tumbuh dewasa baru rejekinya datang? Sudah terlanjur banyak hal yang terlewatkan dalam kondisi tidak memadai yang bisa berpengaruh kepada psikologis si anak. Jadi menurutku kata-kata bijak itu tidak bisa dijadikan patokan Rin. Orang tua sebagai pencari nafkahlah yang harus membuat prediksi sendiri berdasarkan kemampuannya masing-masing.  Tidak perlu mencontek kehidupan orang lain. Semua harus dipikirkan sendiri." 

"Tapi aku bahagia kok memiliki anak. Fatia lucu dan pintar. Aku bangga punya anak seperti dia."

"Iya. Kalau sosok manusianya sudah ada ya pasti bahagia lah. Tapi sebelum Fatia ada, kalian berdua juga sebenarnya sudah bahagia kan ?  Enak kan pacaran kemana-mana berdua ?  Banyak hal yang bisa kamu banggakan juga kan dari kehidupan pernikahan kalian ?  Tapi karena mertua kamu sibuk tanya-tanya terus soal cucu, kamu jadi harus berjuang keras, konsultasi kesana kemari, ikut pengobatan alternatif supaya cepat hamil, padahal pernikahan kalian belum ada setahun. Seolah sudah menjadi kewajiban untuk pasangan yang menikah untuk harus langsung hamil. Seolah pernikahan itu hanya untuk memperbanyak jumlah manusia di bumi."

"Iya, mertua aku itu soalnya ditanya-tanya terus sama orang-orang.  Mana nih bu, menantunya belum hamil juga ya ? Begitu."

"Nah itu dia. Kembali ke Undang-Undang Tetangga dan Kerabat. Belum lagi ungkapan-ungkapan tidak masuk akal lainnya. Misalnya yang mengatakan tentang :  kalau kita menikah dengan seseorang itu, berarti kita juga menikah dengan keluarganya. Dalam artian harus cocok juga dengan mertua dan ipar. Harus banyak tenggang rasa, harus banyak mengalah, harus memikirkan kepentingan mereka. Repot kan ?"

"Ya kan memang harus begitu May. Masa kita mau ribut dan berantem dengan mertua atau ipar."

"Kita juga selama ini nggak selalu cocok dengan teman di kantor, kampus atau sekolah. Tapi nggak harus ribut kan ?  Kalau nggak cocok, ya nggak usah berteman akrab. Cari yang cocok saja untuk diakrabi."

"Tapi untuk di dalam sebuah keluarga kan nggak bisa begitu May.  Harus dicocok-cocokkan."

"Pertanyaannya, kenapa harus cocok ?  Kamu tahu kan soal twin flame ?  Atau red string ? Benang merah tak terlihat yang terhubung antara satu jiwa dengan satu jiwa lainnya ?  Benang itu kan terhubungnya dari satu orang kepada satu orang saja. Bukan dari satu orang lalu benangnya bercabang-cabang sebanyak anggota keluarganya kan ?  Jadi kalau antara menantu dan mertua tidak cocok ya wajar."

"Haduuh. Jadi seharusnya bagaimana coba ?  Dalam sebuah pernikahan, sikap kita harus bagaimana dengan keluarga pasangan ?"

"Ya kalau menurut akal sehat aku sih, harusnya biasa saja. Nggak cocok ya nggak usah akrab. Selesai. Nggak perlu memaksakan hati untuk harus akrab, harus sering ketemu, harus ini itu. Aneh. Hidup kok harus memaksakan perasaan."

"Tapi nanti kita dikatakan sombong. Nggak mau bergaul dengan saudara."

"Kalau alasannya tentang hubungan persaudaraan sih, seharusnya malah kita semua penduduk bumi ini bersaudara. Kita semua asalnya dari Adam dan Hawa kan. Jadi kenapa juga harus akrabnya hanya dengan yang satu suku, atau satu kepercayaan, atau dengan orang-orang yang ada ikatan pernikahan saja ? Hayo."

"Iya sih. Tapi tetap susah May. Kita kan punya adat dan tradisi ketimuran yang harus diikuti."

"Nah itulah. Susah dibikin sendiri. Itulah payahnya hidup di abad sekarang. Harus mengikuti aturan dari abad yang sudah lalu. Padahal manusia yang membuat aturannya saja sudah nggak tinggal di dimensi ini."

"Jadi kesimpulannya, kamu sekarang memilih untuk hidup bebas tanpa beban, begitu ?"

"Hidup bebas bukan berarti hidup asal-asalan lho ya. Hidup bebas yang aku maksud artinya berhak menjalankan konsep hidup sesuai yang aku mau.  Dan apapun pilihan yang kuambil, yang namanya beban hidup itu pasti akan ada. Tetapi paling tidak, beban yang aku tanggung adalah beban pilihanku sendiri. Bukan pilihan orang lain."

"Tapi May, memangnya buat apa hidup kita ini kalau bukan untuk menikah dan berketurunan ?"

"Oh, jadi menurut kamu, konsep hidup manusia itu harus seperti itu ya ?  Lahir, tumbuh dewasa, menikah, berketurunan, lalu mati ?"

"Iya. Memangnya apa lagi ?"

"Kalau aku, konsep hidupku begini. Lahir, tumbuh dewasa dengan bahagia, tua dengan bahagia, dan akhirnya mati dengan bahagia. Dan standard bahagiaku itu tidak dicetak oleh nenek moyang, atau kerabat dan tetangga sekitar, atau trend terkini di medsos. Standard bahagiaku murni berasal dari keinginan hatiku yang paling dalam."

"Jadi, untuk meraih kebahagiaanmu, kamu nekat mendaftar untuk program itu ya ?  Kamu nggak takut kalau ternyata kondisi disana nggak sesuai dengan yang kamu harapkan ?  Dan bagaimana kalau gosip mengerikan itu ternyata benar ? Kamu nggak takut kalau ternyata kamu hanya dimanfaatkan, May ?"

"Maksud kamu gosip tentang proyek rahasia, dijadikan tikus percobaan laboratorium, mind-control chip implant, dan sebagainya itu ?"

"Iya."

"Nggak, aku nggak takut.  Kalau mau berpikir ekstrim seperti itu, berarti kamu bisa juga berpikir kalau selama ini mungkin kita juga telah menjalani hal yang sama tanpa disadari. Jangan-jangan sejak kita baru dilahirkan, di dalam otak kita langsung diimplan microchip berisi program yang mengontrol kita tanpa sadar, lalu dijadikan bahan percobaan dan riset,  dan dimanfaatkan oleh  pihak tertentu. Siapapun tokoh di belakangnya.  Kalaupun saat ini belum, bisa saja di masa yang akan datang kita mengalami hal seperti itu. Jadi sama saja Rin, mau disini atau disana atau dimanapun. Kita sama-sama tidak tahu pasti apakah kita sedang dikontrol atau dimanfaatkan oleh pihak lain atau tidak."

"Ya kalau memang sama, kenapa harus jauh-jauh May ?  Tetap disini aja lah."

"Aku ingin mencoba hal baru Rin. Saat sekarang, ya inilah yang kurasa membahagiakan. Memulai sesuatu yang baru dengan orang-orang baru yang kuperkirakan akan sejalan denganku.  Soal umur dan nasib, dimanapun kita berada, kalau memang harus mati ya mati saja."

 

 

*****

"Pak, Budi mau pamit."

"Lho, baru datang kok langsung pamitan. Kamu nggak nginap dulu disini ?  Kan sudah lama sekali kamu nggak pulang kampung." 

"Iya maaf ya Pak. Soalnya kemarin-kemarin ini belum dapat jatah cuti dari kantor."

"Sekarang kok bisa ?"

"Sekarang kan Budi sudah resign Pak. Mengundurkan diri.  Budi mau pindah." 

"Mau pindah kemana ?"

"Jauh Pak. Tapi sebelum pindah Budi mau bilang sesuatu."

"Bilang apa ?"

"Budi memang belum berhasil ngobrol sama ibu di alam lain. Tapi kalau ngobrol dengan entitas lainnya di dimensi yang berbeda sih, sudah. Dan mungkin Bapak benar, alamnya orang meninggal dengan alamnya jin berbeda. Tapi kalau kita sudah tahu caranya, mungkin bisa kita jangkau juga."

"Bagaimana maksudnya ?  Kamu sudah ngobrol sama jin ?  Caranya ?"

"Entitas lain Pak, ada banyak macam, bukan hanya jin.  Caranya seperti yang Bapak bilang dulu. Pakai kemenyan, kembang, jamur, dan ..."

"Kok kamu sekarang pakai begituan segala ?  Nggak boleh itu !"

"Nggak apa-apa kok, Pak. Benda-benda yang Budi sebutkan tadi itu memang bisa digunakan untuk membuka tabir penghalang antar dimensi. Ada penelitiannya soal itu. Bukan sesuatu yang bersifat mistis." 

"Tapi ngapain kamu ngobrol sama jin ?  Kan nggak boleh."

"Entitas lain Pak, bukan hanya jin. Boleh saja kok, kalau sekedar tukar pikiran. Mereka juga nggak minta timbal balik apa-apa. Apalagi minta dibayar dengan nyawa Budi. Kalaupun mereka minta barter dengan sesuatu, mereka cuma ingin mendapat informasi soal bagaimana pola pikir dan  konsep hidup kita, dan hal-hal lain yang tidak dapat mereka pahami kalau hanya dilihat dari luar saja. Mereka sama seperti manusia Pak. Ada yang baik, ada yang jahat, ada yang berpendidikan tinggi, ada yang biasa-biasa saja, ada yang suka science, suka musik, suka membaca, dan lain-lain. Jadi ya sama saja seperti kalau kita berinteraksi dengan sesama manusia. Harus pandai-pandai mencermati apakah orang tersebut jujur atau bohong, tulus atau punya maksud tersembunyi, dan sebagainya."  

"Ah, nggak ngerti Bapak."

"Nah, kalau soal pesulap, yang bisa pindah tempat semaunya, bisa menggerakkan benda-benda, menebak gambar kartu, membaca pikiran orang lain, itu semua bisa dipelajari, Pak. Ada teorinya. Semua berbasis pada kekuatan pikiran. Kekuatan otak kita masing-masing."

"Halaah, masih ngeyel saja kamu."

"Dan tentang robot, Budi yakin Tuhan nggak akan marah kalau kita menggunakan otak ciptaanNya ini untuk membuat macam-macam. Kan Tuhan sendiri yang membuat program otak kita hingga sehebat ini. Masa sudah dibuat canggih tapi nggak boleh digunakan, Pak ?  Budi rasa malah Tuhan pasti merasa bangga kalau makhluk ciptaanNya berkembang menjadi lebih pintar dan lebih baik lagi. Lagipula kalau memang Tuhan nggak mau 'disaingi' oleh manusia, kenapa tidak diprogram saja sejak awal supaya manusia nggak mampu menciptakan apa-apa ?  Jadi kalau saat ini kita bisa dan sanggup membuat sesuatu, Budi yakin hal itu pasti memang disengaja oleh Tuhan.  Dan sampai kapanpun teknologi manusia pasti tidak akan bisa melebihi teknologinya Tuhan, Pak.  Nggak akan terkejar.  Kita ini sampai kapanpun cuma bisa mencontek buatan Tuhan, Pak.  Bahkan teknologi kloningpun dilakukan dengan cara meniru dari yang sudah ada. Jadi, menurut Budi, yang namanya ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak dilarang.  Tuhan tidak menciptakan kita hanya untuk dilarang-larang."

"Nggak mudeng Bapak."

"Lalu soal jalan hidup manusia, Budi yakin kita boleh memilih Pak. Karena kalau memang jalan hidup sudah ditentukan keseluruhannya, dan kematian sudah ditentukan tanggal tepatnya, lalu buat apa kita harus berusaha ?  Itu kan dua hal yang nggak sinkron. Kita lahir dengan dibekali otak pintar dengan bakat khusus yang berbeda satu sama lain. Tinggal bagaimana kita memaksimalkan bakat sambil mengaktifkan kemampuan otak sebisa mungkin agar semua yang dicita-citakan bisa tercapai. Lalu berusaha hidup dengan sehat, dan berhati-hati dalam setiap keputusan yang diambil supaya tidak terkena musibah atau kecelakaan. Kalau soal porsi kebahagiaan dan kesengsaraan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, semua itu memang berbeda takarannya Pak. Tergantung cara menjalaninya. Tuhan memang nggak pernah suruh kita mengukur soal adil atau tidaknya. Kalau sampai ada kalimat bijak yang mengatakan bahwa 'semua manusia pasti akan merasakan kebahagiaan dan kesedihan dalam porsi yang sama', Budi rasa  pepatah itu dibuat hanya supaya manusia lebih tabah dalam menjalani hidup, apapun halangan yang dihadapinya. Supaya nggak mudah menyerah dan cepat putus asa. Sebagai penyemangat saja. Bukan dalam arti dan perhitungan yang sebenarnya." 

"Ah, nggak tahu lah."

"Oh ya, kaki Budi kan sudah disambung dengan kaki palsu. Sekarang sudah nggak ada yang bisa ngatain Budi 'Si Buntung' lagi. Nih, lihat Pak. Ini mahal lho harganya. Dibiayai sama boss Budi di kantor. Dia orang asing, tapi sikapnya baik sekali kepada semua staffnya. Pasti boss Budi itu disayang sekali sama Tuhan karena semua kebaikannya."

"Orang asing ?"

"Iya. Bule dari Amerika. Dia selalu menyemangati Budi supaya selalu positif dalam menjalani hidup. O ya Pak, menurut Budi, manusia yang cacat atau penyakitan itu bukan diberi oleh Tuhan. Apalagi dikasih sebagai ujian atau sebagai percontohan. Masa Tuhan tega sekali memberi cobaan dengan rasa sakit, sedih dan sengsara, tapi cobaannya tidak sama besar untuk setiap orang ?  Masa Tuhan tega sekali menyengsarakan satu orang manusia demi memberi pelajaran hidup untuk manusia lainnya ?  Budi rasa bukan seperti itu. Tuhan memang sudah membuat resep yang paling bagus  sewaktu menciptakan manusia yang pertama dahulu. Dengan teknologiNya yang paling canggih, pada saat itu. Tetapi untuk kehidupan-kehidupan yang lahir selanjutnya, dibiarkan mengalir begitu saja. Jadi kalau sampai ada manusia yang cacat atau sakit, itu semua diakibatkan karena kondisi manusia tersebut yang kurang baik saat masih di dalam kandungan, atau bagaimana cara dia menjalani hidupnya setelah dilahirkan, sampai tumbuh dewasa. Bukan disengaja oleh Tuhan." 

"Kamu itu nyebut-nyebut nama Tuhan melulu berkali-kali.  Nanti Tuhan marah kalau disebut-sebut terus !"

"Lho, kalau Budi nggak menyebut Tuhan terus menerus, bagaimana Budi bisa menjelaskan semua hal tadi ke Bapak ?  Kalau mau membahas sesuatu kan harus menyebut nama Pak, supaya jelas.  Budi yakin Tuhan nggak marah kalau kita sebut-sebut terus. Kan Budi menyebutnya untuk tujuan baik."

"Yo wis, terserah kamu lah. Memang dari dulu susah  ngomong sama kamu yang sok kepinteren begini."

"Iya nggak apa-apa Pak. Yang penting Budi sudah menjelaskan. Sekarang Budi pamit ya, Pak."

"Mau kemana sih sebenarnya kamu ?"

"Budi mau pindah negara."

"Negara mana ?"

"Negara baru di luar angkasa."

"Luar angkasa ?  Lha kok di luar angkasa ?" 

"Memangnya kenapa Pak ?"

"Sama siapa kamu kesana ?"

"Sama ribuan orang lainnya yang mau tinggal disana Pak."

"Lho, manusia kan sudah ditempatkan di Bumi oleh Sang Pencipta. Ngapain tinggal di luar angkasa segala ?"

"Tapi kan kita boleh menuntut ilmu setinggi langit, untuk mencari jawaban di luar sana. Langit kan luas Pak. Nggak ada batasannya. Berarti sekedar tinggal di luar angkasa saja nggak apa-apa. Pasti boleh sama Tuhan." 

"Sok tahu kamu. Darimana kamu tahu Tuhan pasti membolehkan ?  Kalau Tuhan marah bagaimana coba ?"

"Lha Bapak kan juga belum ketemu langsung dan ngobrol sama Tuhan ?  Tahu dari mana Tuhan bakal marah, dan bukannya senang karena manusia ciptaanNya sudah semakin pintar dan canggih ?"  

"Kamu ini. Tuhan kok ditebak-tebak."

"Bapak juga cuma menebak kan, kalau Tuhan bakal marah ?  Kalau masih sama-sama menebak ya sudah, berpegang pada keyakinan masing-masing saja Pak."

"Lho Bapak nggak nebak sendiri kok. Orang tua Bapak, orang-orang lain jaman dahulu, semua bilang begitu. Ada di buku-buku. Di ceramah-ceramah."

"Iya deh, Bapak nggak menebak sendiri, tapi mengikuti tebakan orang lain. Itu sama saja Pak.  Bisa salah juga. Orang jaman dahulu kan manusia juga. Kalau masih sama-sama berwujud manusia, sebesar apapun namanya, ya berarti masih punya sifat-sifat manusia. Bisa salah tebak, bisa salah persepsi, punya ego, punya kepentingan pribadi atau kelompok. Tapi kalau Budi sendiri sih yakin  Tuhan itu nggak pemarah, nggak tersinggungan, dan nggak murkaan. Budi nggak percaya setelah kita diciptakan dengan rasa ingin  tahu yang besar, lalu dilarang-larang untuk bertanya.  Dikasih lihat hal-hal menarik di depan mata, tapi disuruh menjauh. Diberi otak super canggih, tapi nggak boleh dipakai."

"Ya sudahlah. Tapi kok harus jauh sekali pindahnya ?"

"Budi kan suka jalan jauh-jauh Pak. Meneliti berbagai hal. Selain itu Budi ingin berada di tempat yang orang-orangnya berpikiran terbuka. Bukan di lingkungan yang orang-orangnya hanya bisa menurut dengan kebiasaan manusia-manusia terdahulu tanpa boleh bertanya kenapa harus begini atau begitu. Budi ingin setiap Budi bicara tentang hal apapun, nggak ada yang bilang 'Hush ! Nggak boleh bilang begitu !'." 

"Kamu nyindir Bapak ya ?  Nggak sopan sama orang tua. Kualat kamu."

"Maaf Pak. Budi nggak bermaksud menyindir atau bersikap tidak sopan kepada orang tua. Budi hanya kritis dalam berpikir. Dan kebetulan berani menyuarakan pendapat Budi sendiri. Itu saja. Dan Budi berharap, orang-orang yang pindah kesana nanti, semua berpola pikir sama seperti Budi. Paling tidak, kita boleh mempertanyakan hal apa saja yang terpikir oleh otak kita yang pintar dan cerdas ini. Otak yang aslinya diprogram untuk bereksplorasi  namun pada kenyataannya seringkali diblokir sana-sini oleh bermacam dogma, doktrin dan stigma buatan manusia. Budi ingin berada di tempat yang orang-orangnya bisa memandang semua hal from the big picture, melihat suatu masalah dari pola keseluruhannya. Budi ingin kalau Budi punya pertanyaan, apapun itu, selalu ditanggapi dengan baik. Bukan malah balik diomelin, dibilang kualat, atau kurang ajar hanya karena sebenarnya pihak yang ditanya itu tidak tahu jawaban dari pertanyaan tersebut. Budi ingin berada diantara orang-orang yang mau menghabiskan masa hidupnya dengan mencari tahu tentang berbagai hal tanpa dibatasi. Budi ingin pindah ke tempat dimana nggak ada yang namanya 'Pertanyaan Terlarang'." 

"Bapak makin nggak mudeng. Terus naik apa kamu berangkatnya ?"

"Naik pesawat luar angkasa, Pak."

"Ya sudah. Jangan lupa bawa kantong plastik."

"Buat apa Pak ?"

"Dulu kan kamu naik bis ke kampungnya Bude Asri di kabupaten saja sampai muntah berkali-kali. Lha luar angkasa itu lebih jauh lagi, toh ?"

"Oh begitu. Iya Pak. Ya sudah Budi berangkat dulu ya, Pak." 

 

 

*****

 

Maya berdiri bersamaan dengan ribuan peserta lain ketika namanya negaranya disebut. Ia mengamati satu-persatu wajah-wajah di sekelilingnya.

Meski tak ada satupun diantara mereka yang dikenalnya, namun entah mengapa ia merasa seperti telah dekat dengan semua yang ada di ruangan itu. Serasa bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah hadir dalam hidupnya. Tetapi tak tahu kapan dan dimana.

 

"Halo Mbak," sapa seseorang di belakangnya. 

Maya menoleh.

"Halo," sahutnya.

"Mbak sendiri ?"

"Iya."

"Ijin atau kabur ?"

"Ijin dong."

"Wah.  Orang tua ?  Atau suami ?"

"Belum menikah kok. Papa dan mamaku nggak berminat ikut soalnya merasa usia mereka sudah tua." 

"Oh begitu. Mereka nggak sedih Mbak pergi?"

"Nggak terlalu sedih sih. Soalnya selama ini aku sudah biasa pergi kerja keluar kota. Anggap saja sekarang aku sedang ada tugas luar dalam waktu lama.  Mereka cuma titip pesan supaya aku melakukan yang terbaik. Untuk hidupku sendiri dan semua makhluk di alam semesta."

"Wow. Pesan yang sangat universal. Bijaksana sekali ya orang tua Mbak."

"Iya. Kalau kamu ?"

"Cuma ada bapak sejak ibu meninggal waktu aku kecil. Bapak sih pemikirannya sangat inside the box. Dan nggak terlalu peduli pada apa yang mau aku lakukan. Mungkin karena sejak kecil aku selalu ngeyel dan ngebantah terus."

"Jadi waktu berangkat, kamu nggak ijin ?"

"Ijin kok sama bapak."

"Lalu ?  Beliau bilang apa ?"

"Aku disuruh bawa kantong plastik."

"Hah ?  Buat apa ?"

"Supaya kalau muntah di perjalanan, nggak ngotor-ngotorin lantai pesawat."

"Hahahaha ! Lucu ya bapak kamu."

"Hehehe. Iya. Bapakku memang polos banget. Yah maklumlah, namanya juga orang desa yang nggak pernah pergi kemana-mana. Pemikirannya tercetak oleh  orang-orang di sekitarnya."

"Ah nggak juga. Teman-temanku yang tinggal di kota besar juga tetap saja pemikirannya dicetak oleh kerabat dan tetangga."

"Hmm. Iya juga ya."

"Motivasi terbesar kamu apa ?"

"Hmm. Aku cuma nggak pingin dilarang melakukan ini dan itu yang kurasa bukan hal buruk. Tahu sendiri kan, terkadang saking takutnya manusia bumi di jaman kita ini, setiap ada hal-hal yang belum pernah dilihat atau didengar, atau belum pernah dilakukan oleh manusia lainnya, langsung dianggap tabu semua. Sekedar bertanya saja dilarang. Membahas sesuatu dimarahi. Ilmu pengetahuan dianggap sihir. Kemajuan teknologi dianggap racun. Dan terlalu banyak kontradiksi teori tentang hidup yang terlarang untuk dipertanyakan."

"Aku mengerti. Kalau aku, motivasi terbesarku adalah hidup bebas tanpa aturan baku yang mengatakan bahwa pola kehidupan kita harus sama dengan manusia lain di sekitar kita. Terlalu banyak pendapat dan ungkapan yang meskipun menurutku sangat  tidak rasional dan tidak masuk akal sehat, tetapi dipaksakan menjadi pedoman hidup dan pembenaran dalam kehidupan bermasyarakat. Masalahnya, justru akibat adanya aturan-aturan tak tertulis itulah kita menjadi lebih banyak mengalami kesulitan dan penderitaan. Aku ingin bisa menentukan cara hidupku sendiri."

"Ya. Aku mengerti."

"Oya, aku Maya. Kamu siapa ?"

"Aku Budi, Mbak."

 

 

Maya tersenyum bahagia. 

Ia yakin mereka yang hadir disini memiliki alasan pribadi masing-masing. Alasan yang mungkin remeh bagi orang lain, tetapi sangat mendasar bagi si pemilik alasan itu sendiri. 

Dan apapun maksud tersembunyi yang direncanakan terhadap mereka di balik proyek ini, ia tetap berharap, di luar sana nanti, tak akan ada percakapan-percakapan bodoh dan melelahkan seperti yang sering ditemuinya disini.

Mungkin disana, di negara baru yang terletak di luar angkasa itu, akhirnya ia bisa menjadi manusia bebas seutuhnya.

Selamanya.    

 

 

END.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun