Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Give a mom a break and she will conquer the world!

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

The Joy of Learning: Ujian Tiba, Tantrum Melanda?

29 September 2022   09:23 Diperbarui: 29 September 2022   14:03 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Tantrum Belajar" karya si cantik, dokpri

Setelah sekian lama bertapa, akhirnya saya memutuskan keluar dari pertapaan dan kembali menulis, gara-gara mendengar obrolan ibu-ibu di tengah padatnya jadwal ujian tengah semester anak-anak mereka.

"Anak sekarang... duh susahnya disuruh belajar, maunya mainan hp mulu", begitu curhat ibu A. Ibu B mengangguk setuju. Ibu C mengamini.

"Dari dikasih tahu baik-baik, sampai diancam sudah gak mempan. Malah nangis teriak-teriak. Tantrum!" lanjut ibu D.

"Saking jengkelnya, sampai saya cuekin. Sudahlah saya gak peduli. Pokoknya kalau nilainya jelek, sudah tahu hukumannya apa!" Gemuruh suara penuh kejengkelan ibu E.

Musim ujian tiba, mendadak tantrum pun melanda. Ternyata bukan hanya anak-anak saja lho yang tantrum karena disuruh belajar dan melepas gadget mereka, tapi orangtua juga dilanda tantrum karena perlu extra effort untuk membuat anak-anak mau belajar. Dari membujuk, mengancam sampai menyerah dan memilih tidak mau tahu alias tidak peduli, karena skala tantrumnya sudah mencapi level tertinggi.

Kenapa kok bisa begini?

Ada yang menuduh gadget sebagai tersangka utama, meskipun memang ada tersangka-tersangka lainnya. Tapi kita akan membahas soal gadget secara lebih mendalam lain waktu saja, sekarang kita fokus ke masalah tantrum saat belajar.

Mungkinkah meredakan atau meniadakan tantrum yang melanda ketika ujian tiba? Jawabannya iya, sangat mungkin. Setidaknya, berdasarkan pengalaman pribadi saya.

Nha, demi menjawab keresahan ibu A, ibu B, ibu C, ibu D, ibu E dan ibu bapak yang lain, saya pun merelakan waktu menyetrika saya untuk menuliskan beberapa tips yang walaupun belum sempurna, karena pengalaman saya sebagai orangtua juga masih sangat terbatas, tapi semoga berguna.

Saya berharap sekali tips-tips berikut ini berguna, supaya pengorbanan waktu setrika saya tidak sia-sia.

Tips Pertama: Kenali Gaya Belajar Anak Kita

Tiap anak itu unik. Setidaknya begitulah pengalaman saya mengajar anak-anak dari sejak masih kuliah dulu.

Ada anak yang bisa belajar dengan latar belakang suara gaduh, ada yang lebih bisa berkonsentrasi di suasana hening. Ada anak yang tahan duduk manis di meja belajar, ada anak yang belajar sambil terus bergerak kesana kemari. Ada anak yang perlu waktu singkat memahami semua materi, ada anak yang butuh berjam-jam.

Tidak ada yang salah atau benar. Perbedaan gaya belajar itu juga bukanlah hal yang harus diperbandingkan. Namanya juga gaya, sah-sah aja. Gaya rambut saja bisa berbeda-beda kok. Yang justru penting adalah mengenali benar gaya belajar anak supaya kita bisa membantu mereka belajar lebih efektif, sesuai style mereka.

Bayangkan kalau ada anak yang tidak tahan berdiam diri dalam jangka waktu lama, tapi dipaksa duduk manis di meja belajar selama jangka waktu yang cukup lama tanpa break. Yang terjadi adalah drama keluarga edisi tantrum.

Peran orangtua dalam mengenali gaya belajar anak, tidak saja meminimalisasi terjadinya tantrum yang tak perlu, tapi juga membantunya lebih efektif dalam belajar. Membuatnya nyaman dan produktif dengan menjadi dirinya sendiri.

Tips Kedua: Mengelola Ekspektasi Kita

"Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid."

Itu kata Albert Einstein, bukan kata saya.

Berapa banyak orangtua yang meletakkan beban pengharapan terlalu berat dari pada yang bisa dipikul oleh sang anak, atau memberikan ekspektasi yang tidak masuk akal yang tak mungkin dipenuhi oleh sang anak dan pada akhirnya justru membuat anak frustasi dan merasa bodoh atau malah menempuh segala cara demi memenuhi ekspektasi orangtua?

Sejak si cantik, putri saya, masuk sekolah dasar, saya dan bapaknya sudah wanti-wanti dari awal kalau dia tidak perlu terbebani untuk menjadi nomor satu. Menjadi yang terbaik versi dia saja, dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Nilai rapor bukan lah poin yang utama, yang paling penting justru melatih tanggung jawab dan kejujuran.

Sebisa mungkin kami juga tidak membuatnya berada dalam kancah kompetisi terlalu dini, sehingga kehilangan the joy of learning. Sukacita belajar.

Kami banyak terinspirasi masa-masa Kindergarten si cantik yang menyenangkan di perantauan. Sepanjang hari hanya bermain dan bereksperimen, tapi perkembangan otak dan perilaku anak-anak di kindergarten itu malah justru lebih matang dibanding yang sedari dini di bombardir calistung. Mungkin karena otak mereka di stimulasi dan di nutrisi sesuai dengan porsinya, bukannya di karbit dan dijejali materi yang belum perlu. 

Intinya, sedari dini bawah sadar mereka memahami konsep belajar sebagai sesuatu yang menyenangkan, tidak membosankan atau melelahkan, apalagi menyiksa.

Belajar seharusnya bukan untuk sekedar bisa mengerjakan ulangan dan mendapat nilai bagus, tapi untuk menuntaskan rasa ingin tahu tentang hal-hal yang baru dan untuk menghargai bapak ibu guru yang sudah susah payah mengajarkan hal-hal baru dan berguna itu.

Sekolah bukan hanya tentang nilai Rapor. Buat apa nilai bagus, tapi hasil nyontek?

Jadi sebagai contoh, kalau memang anak kita tidak berbakat Matematika tapi sudah belajar dengan baik, hargailah hasilnya. Carilah cara-cara mengajari yang menyenangkan yang sesuai pemahamannya. Di era informasi digital seperti ini, tidak susah mencarinya. Banyak bertebaran di internet.

Lebih penting lagi, jangan membandingkannya dengan anak ibu B atau anak ibu C yang mungkin memang berbakat di bidang hitung-menghitung.

Bangunlah rasa percaya dirinya, kembangkan bakatnya yang lain. Jangan malah membuatnya merasa bodoh hanya karena harapan kita yang tidak masuk akal.

Banyak orangtua yang tantrum membuat anak-anak malah malas belajar dan bergantung pada contekan saat ulangan. Karena mereka tahu, sekeras apapun mereka belajar, mereka tak mungkin bisa memenuhi harapan orangtuanya yang diluar kemampuan mereka.

Jadi, mari kita mengelola harapan kita sesuai kemampuan si anak. Bukan nilai bagus atau menjadi nomor satu yang penting, tapi sukacita saat belajar hal-hal yang baru. Memang, mempelajari sesuatu yang baru tidak selalu mudah, tapi pasti bisa menyenangkan.

Tips Ketiga: Menjadi Teman Belajar Aktif

Putri saya suka sekali membaca keras-keras materi pelajarannya ketika belajar. Saya yang didekatnya seringkali mau tak mau ikut mendengarkan walaupun sembari mengerjakan hal yang lain.

Dari situ seringkali saya ikut belajar bersamanya. Kalau dia membaca sesuatu dan saya tidak mengerti, saya akan bertanya dan dia menjelaskan.

Kadang-kadang saya bertanya hanya untuk memastikan dia paham apa yang dia baca. Dan terkadang kami mendiskusikannya kalau ada yang menarik atau ambigu.

Sejujurnya, saya merasa paling bangga ketika dia bisa memberikan opininya saat kami berdiskusi, karena itu berarti dia tidak sekedar menghafal, tapi memahami.

Jangan lupa, selipkan dengan humor dan joke-joke. Karena tertawa itu sehat dan menyenangkan, bisa melupakan sekejap beban hidup karena BBM naik. *wink*

Menjadi teman belajar yang aktif, selain bisa membuat acara belajar menyenangkan juga bisa menolong anak untuk belajar mengungkapkan pemahamannya tentang materi pembelajaran tanpa merasa tertekan.

Tapi bagaimana kalau orangtua juga tidak paham materi pelajaran anak-anaknya? Maka, belajarlah bersama mereka. Untuk anak-anak usia sekolah dasar, sebagian besar materi pelajarannya seharusnya masih bisa diikuti oleh orangtua kok.Kalau tidak bisa, ya belajarlah dari guru les. 

Salah seorang teman pernah punya ide memberi les bukan pada anak-anak, tapi kepada ibu-ibu mereka supaya bisa mengajari sendiri anak-anaknya. Para ibu yang sebenarnya punya banyak waktu luang, tapi mereka menolak karena tidak mau repot dan lebih memilih mencari guru les untuk anak-anaknya.

Sayang sekali, padahal menurut saya ide teman saya itu luar biasa. Ketika orangtua menyisihkan waktu untuk mengajari sendiri anak mereka, terciptalah bonding, yang tidak bisa terbeli dengan apapun juga.

Waktu yang kita habiskan bersama mereka dan untuk mereka adalah investasi jangka panjang tak ternilai. Sayangnya bagi banyak orangtua ide ini dianggap tidak praktis dan merepotkan.

Di sisi lain, orangtua lebih memilih menuntut anak dengan tuntutan yang tidak masuk akal.

Tips Keempat: Daripada Memaksa, Lebih Baik Menstimulasi

Ada yang bilang, kalimat tanya seringkali jauh lebih efektif daripada kalimat perintah.

Saya pernah baca di suatu tempat ungkapan itu, tapi lupa tepatnya dimana. Dan untuk konteks membujuk anak-anak belajar, rasanya memang tepat sekali.

Anak-anak akan jauh lebih bersemangat belajar ketika distimulasi atau dibangkitkan rasa ingin tahunya, daripada kita sekedar mencekokinya dengan materi atau memerintahkannya belajar sebagai bentuk kewajiban. Yang ada mereka malah merasakannya sebagai beban, yang konotasinya cenderung tidak menyenangkan.

Supaya belajar tidak berkonotasi sebagai beban yang tidak menyenangkan, kita bisa memulainya dengan pertanyaan. Melontarkan pertanyaan adalah metode paling efektif untuk membangkitkan rasa ingin tahu anak.

Saya seringkali melontarkan pertanyaan seperti: Eh, di sekolah sudah belajar tentang Fotosintesis belum? (Padahal saya sudah mengintip materi buku IPAS nya).

Atau ketika kami bersantai di teras belakang, saya bertanya: "Mengapa kalau siang hari si Poci (Nama anabul kami) suka sekali tiduran dibawah pohon belimbing, tapi kalau malam lebih suka di teras ya?". Meskipun terdengar ringan, tapi sebenarnya itu salah satu pertanyaan yang ada kaitannya dengan proses Fotosintesis.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menstimulasi rasa ingin tahunya, daya ingatnya juga daya nalarnya dan membuatnya merasa apa yang dipelajari di sekolah relate dengan kehidupannya sehari-hari. Secara bawah sadar, ternyata hal itu juga memicu rasa antusiasnya untuk belajar. Setidaknya, begitulah menurut saya.

Metode ini jauh lebih efektif daripada memerintahkannya belajar, apalagi memaksanya.

Tentu saja kita masih perlu mengingatkan kalau waktunya belajar saat ada ulangan. Tapi mengingatkan jauh lebih ringan effort-nya dibandingkan memerintah atau memaksa. Biasanya saya mengingatkan untuk belajar lebih awal, supaya tidak mengganggu jam tidurnya.

Tips Kelima: Investasikan Waktu Untuk Membiasakan Membaca, Batasi Gadget

Witing tresno jalaran soko kulino.

Ungkapan bahasa jawa yang artinya kurang lebih rasa sayang timbul karena terbiasa. Pertanyaannya, kebiasaan apa yang kita tanamkan ke anak-anak sehingga mereka tidak perlu tantrum ketika waktunya belajar?

Nyawa atau soul sebenarnya dalam aktivitas belajar adalah membaca. Ketika kita belajar, kita membaca. Bahkan saat mengerjakan pelajaran berhitung pun, kita juga membaca. Apalagi kalau itu soal cerita.

Kenapa kegiatan belajar menjadi beban berat bagi banyak anak? Karena mereka tidak terbiasa membaca. Belum lagi ketika mereka terbiasa dengan gadget, kegiatan membaca semakin tampak membosankan dibanding scrolling video Tiktok, misalnya.

Tidak ada yang salah dengan menonton video atau film, selama sesuai dengan batasan usia mereka. Anak-anak juga perlu sekali waktu menonton atau bermain game, tapi dengan batasan waktu tertentu dan pada tempat dan saat yang tepat, serta tentu saja ketika masih usia sekolah dasar, seharusnya dilakukan dalam pengawasan orangtua.

Tetapi penelitian-penelitian yang dilakukan para ahli memang menunjukkan perkembangan otak yang berbeda saat membaca dibandingkan dengan saat menonton. Pada saat menonton, kita nyaris tidak punya waktu untuk mencerna terlalu dalam. Sementara, saat membaca kita punya waktu untuk mencerna lebih dalam, memahami dan mengkritisi.

Selain itu, ketika anak-anak terbiasa membaca, mereka tidak akan kaget ketika harus belajar yang notabene aktivitasnya nyaris serupa dengan membaca. Memahami dan mencerna.

Sayangnya, banyak orangtua lebih rela membelikan anak mereka gadget mahal, daripada berinvestasi mengembangkan kebiasaan membaca. Dan ketika saatnya belajar, mereka memaksa si anak serta merta mengubah minatnya dari menonton ke membaca. Hasilnya sudah bisa di duga, tantrum bersama.

Jadi, siapa tersangka utamanya? Yang jelas bukan gadget. Gadget tak punya kendali apapun selama kita tidak memberikannya kendali. Ia hanya benda mati. Gadget menjadi kambing hitam dan seolah berkuasa, karena sebagian besar kita sebagai orangtua dengan sukarela menyerahkan sebagian besar bahkan seluruh otoritas kendali kita pada si gadget. Mari kita melihat cermin, menatap dengan jujur tersangka utamanya.*lol*

Membayar harga didepan selalu lebih baik daripada membayarnya dibelakang, karena kita tidak pernah tahu fluktuasi bunga yang terakumulasi. Repot didepan selalu lebih baik, daripada menuai konsekuensi yang tidak bisa dihindari di kemudian hari.

Jadi, begitulah beberapa tips yang bisa saya bagikan. Tentu saja, karena berdasarkan pengalaman pribadi yang terbatas pasti ada yang tidak sempurna dan kelewatan sini sana. Tapi semoga bisa meredakan, syukur-syukur meniadakan tantrum yang melanda saat pekan ulangan tiba.

Oh iya, mengingat jam terbang saya sebagai orangtua yang masih sangat pemula, tips-tips ini memang lebih relate bagi orangtua dengan anak usia sekolah dasar. Tapi beberapa tips masih cukup relevan bagi anak remaja.

Sekali lagi, nilai bagus itu satu hal, tapi yang lebih penting justru sukacita dalam belajar. Itulah investasi tak ternilai yang bisa kita tanamkan untuk anak-anak kita, tanpa perlu takut digoncang oleh budaya k-pop, suhu politik maupun turbulensi ekonomi.

Sampai bertemu di seri "The Joy of Learning" berikutnya.

***

Catatan kaki: Seperti biasa, ilustrasi artikel ini dipersembahkan oleh si cantik, berkolaborasi dengan mama melalui sentuhan warna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun