Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Give a mom a break and she will conquer the world!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Musim Terakhir

26 Oktober 2021   14:44 Diperbarui: 28 Oktober 2021   08:50 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Musim Terakhir " Illustration by si Cantik

"Hey!"

Aku berbalik, ia mengedipkan mata.

Ya ampuuun...setelah sekian purnama!
Ia memelukku erat, seperti biasa dilakukannya.

Dulu.

"Kau tampak lelah!" Ia mengangsurkan sekaleng cola yang baru saja dibukanya.
"Hmmm" gumamku sembari menenggak dan merasakan sensasi gelembung soda yang membasahi kerongkonganku.

Hari ini agak dingin. Musim gugur sudah mulai menyapa. Aku merapatkan syalku.

Kami duduk di bangku taman, menatap angsa-angsa putih yang sedang berenang.

"Hari ini kamu irit bicara...Ada apa?"

Aku tak bisa menahan genangan airmata yang mengintip disudut mataku. Setiap kali mendengar nada bicaranya seperti itu, selalu membuatku menangis.

Aku sangat merindukannya.

Bahkan ketika kami duduk berdekatan seperti ini.

"Aku besok pulang!"  Kataku lirih, menahan isak.

Ingin sekali sebenarnya kumuntahkan seluruh cerita, tapi aku tak mampu berkata-kata. Setiap kali kubuka mulutku, aku harus berjuang menahan tangis yang menyesaki dada.

Tak ada lagi kata yang tersisa.

Aku pikir ia akan terkejut mendengar ucapanku tadi, tapi yang kudengar hanya helaan panjang nafasnya.

"Aku sudah tahu. Birk memberitahuku kemarin."

Birk teman kami. Aku memang sudah memberitahunya. Birk tahu segalanya. Semua cerita. Apakah Birk juga sudah menceritakan semuanya kepadanya ?

"Birk sudah memberitahuku. Semuanya" , suaranya tampak pelan dan hati-hati.

Hatiku semakin patah. Dia tahu semuanya, tapi yang dilakukannya hanya menghela nafas. Ia bahkan tidak menatapku. Ia menatap lurus ke depan, ke kejauhan.

Padahal aku ingin ia memelukku. Meyakinkan semua baik-baik saja.

Seperti dulu.

Senja mulai datang. Lebih awal dari biasanya. Guguran daun warna warni menutupi hijaunya rumput, menimbulkan suara kemerisik renyah saat terinjak.

Aku akan meninggalkan ini semua. Taman yang menyimpan begitu banyak nostalgia. Cinta yang belum selesai ceritanya. Kisah hidup yang harus ditunda.

Aku menatapnya lagi. Kali ini ia menatapku juga.

Masihkah ada cinta disana setelah sekian purnama ? Setelah keputusan menghentikan semuanya yang harusnya hanya sementara,  supaya ada ruang untuk memikirkan kembali semuanya. Harusnya, hari ini kami akan melanjutkan cerita.

Bukan kami.
Aku.
Aku yang ingin melanjutkan cerita.

Tapi hari ini aku malah berpamitan.

"Maafkan, aku tak bisa menemanimu!" Katanya akhirnya. Meraih tanganku dan menggenggamnya.

Aku hanya mengangguk dalam diam. Merasakan genggamannya untuk terakhir kalinya. Kupikir akan pecah tangisku, ternyata tidak. Sesuatu seolah pergi menghilang.

Apakah sesuatu itu cinta atau beban?  
Atau kerelaan?

Itu pula yang kurasakan delapan minggu kemudian, ketika melepas Ayahku pulang ke Sorga.

Rela. Ikhlas.

Ayahku lah yang menjadi alasan aku mendadak pulang ke tanah air, meninggalkan semua yang kucinta di negara empat musim yang sudah hampir satu dekade kutinggali. Teman-temanku, pekerjaaanku dan dia.

Iya, dia. Dia yang namanya selalu membuat Ayahku murka setiap kali disebut ketika beliau masih hidup dulu.

Dia tampan. Dia brilian. Dia menawan. Orang tuanya pun terpandang. Sayangnya, dimata Ayahku dia plin plan. Tidak punya pendirian.


"Dalam tiga tahun pindah jurusan tiga kali hanya karena mendadak berubah pikiran ? Lha gimana nanti kalau kalian menikah dan ditahun kedua dia berubah pikiran ?" Geram Ayahku suatu kali.

Aku diam, tak ada niat mendebat ayahku. Tak juga ingin mencernanya. Aku terlanjur jatuh cinta.

Ayahku tidak lagi membahasnya. Sampai sesuatu yang fatal terjadi.

Disuatu musim semi kami berjumpa. Beberapa musim semi yang lalu. Ayahku, aku dan dia. Pertemuan pertama kami bertiga.

Ayahku perokok berat. Dia bukan perokok. Dia benci rokok.

Ayahku menawarinya cerutu. Ia mengambilnya. Berusaha sekuat tenaga bergaya menghisapnya seakan sudah biasa, tapi justru terbatuk-batuk sampai memerah seluruh wajahnya.

Ayahku hanya tersenyum.

"Maaf Om, saya tidak biasa" kata dia, tanpa melepas cerutu di jarinya.

"Tapi saya akan belajar om, biar kita bisa hang out bersama, om suka cerutu khan?"  Lanjutnya sok akrab.

Aku seketika cemberut. Kulihat raut wajah Ayahku pun tampak menggelap, penuh murka.

Aku dan Ibuku tak pernah suka ayahku merokok. Tapi ayahku keras kepala. Tidak merokok dirumah, tapi di kantor, dikafe, dimana saja yang bisa, selain di rumah.  

Ayahku tahu aku tak suka pria perokok.

"Dia tidak mengenalmu, Tira. Dia bahkan tidak tahu kamu tidak suka orang yang merokok" kata Ayahku, saat kami hanya berdua.

Nada suaranya lebih ke prihatin daripada marah.

"Dia tahu, Papa. Dia juga tidak suka orang merokok. Dia hanya ingin membuat Papa senang. Dia ingin berteman dengan..."

Belum sempat ku selesaikan kalimatku, Ayahku sudah berdiri dengan wajah geram.

"Itulah Tira...itulah maksud papa. Dia tidak tahu prioritas. Tidak berani bersikap untuk orang yang dicintai. Kalau dia mencintaimu dan dia tahu prinsipmu ya dia khan bisa langsung tolak cerutu Papa. Dasar pengecut. Plin plan."

Amarah Ayahku pun menggelegar.

"Dengar Tira, papa tidak setuju. Tidak akan pernah. Karakternya meragukan!"

Sejak itu, pantang menyebut nama dia di depan Ayahku.

Sejak itu, tetap  kurenda cinta walau berseteru dengan Ayahku, bahkan ketika musim terus berganti. Begitu juga musim hidupku. Kuliah. Kuliah lagi. Bekerja. 

Dia ada disetiap guliran musim-musim itu.

Aku benar-benar jatuh cinta pada dia. Dia yang memberi warna dalam hidupku yang serba monokrom. Dia yang menghadirkan chaos di hidupku yang monoton. Dia yang spontan dan penuh kejutan.

Ah, Dia.

Dia yang menjadi topik utama perseteruanku dengan ayahku. Dia pula yang beberapa bulan lalu memutuskan untuk kami jeda dulu ketika aku kembali terlibat perdebatan besar dengan ayahku. Dia tak ingin membuatku memilih dengan gegabah antara dia dan Ayahku.

"Kamu putri satu-satunya. Papamu pasti sangat menyayangimu. Kita break dulu saja, supaya kamu tenang untuk berpikir"

Kata-katanya waktu itu. Dan aku yang sedang galau, hanya mengangguk setuju.  Mungkin kami memang butuh waktu sendiri dulu.

Tapi aku sangat merindukannya di masa kami jeda. Sudah bulat tekadku memilihnya. Ayahku mungkin akan keras menentang, tapi aku wanita mandiri, aku berhak memutuskan sendiri hidupku. Aku percaya, kalau aku memilih dia, waktulah yang akan memulihkan hubunganku dengan ayah dan ibuku suatu hari kelak. Dengan Ayahku, terutama.

Akupun menghitung hari, menanti dengan tak sabar hari yang kami sepakati untuk bertemu lagi. Kali ini aku membuat dia berjanji tidak akan pernah lagi kami berpisah seperti ini. Terlalu menyiksa.

Tapi waktu mengkhianati tekad dan mimpiku.

Dua hari menjelang hari yang kunanti, Ibuku menelpon dini hari saat aku nyenyak bermimpi tentang dia.

"Pulanglah Tira, Papa kritis. Pulanglah, sudah waktunya"

Ketika akhirnya aku menutup telpun, tangisku tak bisa diredam. Aku  menangis sejadi-jadinya. Menangis untuk Ayahku, untuk Ibuku, untuk dia, untuk mimpiku, untuk hatiku.

Papa terkena kanker paru-paru stadium 4, ketahuannya sangat  terlambat dan saat aku ditelpon Ibu, Ayah tengah terbaring  koma di ICU.

Aku putri tunggal, satu-satunya. Tanpa bicara, aku dan ibuku saling tahu kalau kepulanganku kali ini untuk selamanya. For good.

Ibu menderita asma akut, alergi udara dingin. Tak mungkin hidup di negara empat musim. Mungkin, tapi tersiksa.

Akulah yang akan menjaganya di tanah air, menggantikan tugas Ayahku yang selama ini setia menjaga Ibu.

Aku masih berharap pada dia di hari kami bertemu. Berharap dia pulang bersamaku. Tapi saat dia hanya menghela nafas di taman waktu itu, aku pun tahu tanpa bertanya. Semua sudah sampai pada akhirnya.

Perjalananku dengan dia.
Perjalananku dengan Ayahku, yang tak sempat berbincang atau sekedar singkat berpesan apapun untukku karena meninggal dalam koma.

Tapi, disalah satu pesan WA Ayah pada ibuku sebelum beliau koma, Ayahku menuliskan :

Kalau aku tak bisa bertahan, tolong bilang pada Tira pesanku ini. Jangan menikah dengan laki-laki plin plan dan jangan pernah memilih laki -laki  perokok berat sepertiku. Aku tidak mau nasib Tira seperti kamu, mah.  Aku sangat menyayangi Tira, tak ingin melihatnya menderita.  Maafkan aku tak bisa terus menjagamu. Take care, honey. I love you!

Airmataku menderas, menyatu dengan airmata ibuku.

My Castle, 26102021

*Ilustrasi dipersembahkan oleh Si Cantik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun