Dingin merayap dari tanah seakan menambah beban yang sedang kurasakan.Â
Malam yang sangat hening. Yang kudengar hanya suara serangga yang sesekali memecah kesunyian, bersama dengan angin yang menggerakkan dedaunan kering. Aku duduk seorang diri di bangku teras rumah. Bulan memancarkan cahaya pucat, cukup untuk menyinari wajahku yang muram. Dingin merayap dari tanah seakan menambah beban yang sedang kurasakan.Â
Di usiaku yang masih remaja, aku merasa seolah dunia menuntut terlalu banyak dari diriku. Setiap hari aku selalu berusaha memenuhi ekspektasi semua orang, terutama ekspektasi orang tua ku. Mereka selalu berharap aku menjadi nomor satu di sekolah. Namun tugas yang menumpuk, nilai menurun, dan komentar tidak enak dari guru seolah menambah beban perasaanku. Di kepalaku hanya terpikir cara untuk bisa menjadi yang terbaik dan menghilangkan beban ekspektasi orang lain dalam diriku.Â
Di teras itu, aku mencoba meyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja. Namun semakin ku berusaha, akan semakin jelas bayangan kegagalan dalam pikiranku. Aku selalu merasa takut mengecewakan ekspektasi orang tuaku, takut melihat tatapan kecewa yang seringkali mereka tunjukkan kepadaku saat aku tidak dapat memenuhi harapan mereka. Di malam itu, semua kekhawatiran ku muncul disaat yang bersamaan, seolah menginginkanku menelannya bulat-bulat. Aku berbisik dan bertanya kepada diriku, kenapa aku merasa diriku selalu gagal dalam semua hal.
Senandika yang ku ucapkan pelan itu seakan membuka pintu yang selama ini tertutup rapat. Air mata yang sudah ku tahan sejak sore perlahan jatuh membasahi pipi. Aku merapatkan jaket yang kukenakan, untuk melindungi diri dari dingin malam sekaligus menutupi rasa sepi yang menghantui ku. Tidak ada teman untuk bercerita, dan tidak pernah memiliki keberanian untuk terbuka kepada siapapun. Selama ini, semua perasaan itu ku pendam, berharap akan hilang dengan sendirinya, meski kenyataan mengatakan sebaliknya dan malah membuat diriku semakin terluka.Â
Aku tertunduk diam, dalam posisi ternyaman, sambil membiarkan pikiran ku membuka semua memori. Aku teringat saat aku berusaha keras untuk menyenangkan orang lain, tetapi aku selalu merasa kurang. Aku juga teringat saat aku ingin menyerah pada segalanya, tetapi aku sadar bahwa aku tidak memiliki tempat untuk melarikan diri. Dalam kesunyian malam, aku bertanya pada diriki.
"Kalau aku berhenti berusaha... apa mereka akan peduli?"
Kalimat itu terus bergema dalam hati, seakan menusuk hatiku. Tidak ada yang menjawab, tidak ada yang mendengar selain hembusan angin dan kesunyian malam. Meski senandika itu membuatku semakin menyadari betapa rapuh diriku saat ini, tetapi ada sedikit kelegaan dalam hati karena akhirnya aku mampu mengakui rasa lelah yang selama ini kupendam dan kusimpan.
Waktu terus berjalan, bulan di langit sudah tampak semakin tinggi, menatapnya justru terasa menenangkan. Aku perlahan menyeka air mata dan mulai memahami bahwa berbicara dengan diri sendiri bukanlah sebuah kelemahan. Aku memerlukan ruang aman untuk bisa menampung seluruh perasaan yang tidak bisa ku bagikan kepada orang lain.
Di bawah sinar bulan, aku mulai berdiri dari bangku dan menghela napas panjang. Bebanku memang belum hilang, tetapi setidaknya aku merasakan sedikit kekuatan untuk bertahan Senandika yang kulakukan memberi ku pengertian bahwa tidak harus selalu terlihat kuat, aku hanyalah manusia biasa yang bisa lelah, jatuh, tetapi yang utama aku tetap bisa bangkit.
Di malam yang sunyi, aku perlahan kembali masuk kedalam rumah dengan langkah yang mantap dan yakin bahwa aku bisa bangkit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI