Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen #2 | Pana

21 Mei 2019   09:00 Diperbarui: 2 Juni 2019   10:35 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perihal kenapa aku mau menikah dengan kamu, kan, Nan?

Aku tahu kamu sering penasaran dengan itu. Tapi, Nan, padahal perempuan mana sih yang tidak mau membersamai kamu sepanjang hidupnya? Perempuan mana yang tidak terpana melihatmu dan semua yang kamu miliki? Kamu tipe laki-laki yang diidamkan oleh hampir semua perempuan, termasuk calon menantu yang pasti dibanggakan oleh hampir semua kaum mama. Kamu tipe laki-laki yang, orang-orang bilang, bahkan layak disandingkan dengan Maudy Ayunda atau Putri Tanjung. Jadi bukankah aku yang seharusnya lebih penasaran dengan alasan kenapa kamu mau menikah denganku?

"Kamu enggak suka perempuan cantik ya, Nan?" aku bertanya pada suatu waktu setelah menyerahkan sebuket bunga jengger yang kurangkai sendiri di toko bunga milik temanku.

"Sukalah. Mana ada laki-laki yang enggak suka perempuan cantik?" katamu. Masih sambil sesekali melirikku, tidak percaya kalau buket bunga di tanganmu benar-benar hasil rangkaianku.

"Terus? Kok dulu kamu pacaran sama aku? Nikah juga sama aku,"

"Kamu kan cantik,"

"Gombal!"

"Sumpah deh! Kamu cantik, cuma sering lebih dominan saja jeleknya,"

Nan! Kamu tertawa. Dan sumpah, aku suka suara tawamu. Tapi tenang saja, aku tidak jatuh cinta kepadamu karena suara tawamu, kok. Aku jatuh cinta pada caramu mencintaiku.

...

Hari Minggu.

06:01

Kamu kelihatan serius menyiram tanaman koleksimu di kebun belakang rumah kita. Masih dengan rambut setengah keritingmu yang tidak pernah berubah, kali ini kamu memakai baju dan celana tidur yang sudah kamu pakai sejak kemarin. Aku mendekat, ikut membantu.

"Jangan sampai kebanyakan air ya," kamu mengingatkan.

"Tanaman yang itu enggak perlu disiram hari ini," kamu mengingatkan sekali lagi, menunjuk salah satu tanaman di ujung kebun.

Iya, Nan. Asal tahu saja, aku hafal ratusan tanaman yang kamu tempatkan dan kamu tata rapi dalam polybag warna-warni di kebun kita. Kamu menamainya satu per satu. Dan aku hafal setiap namanya, hafal setiap karakternya, juga hafal kapan hari terakhir kamu menyiramnya. Aku memahami setiap detail sesuatu yang kamu cintai, Nan.

"Kok yang itu enggak disiram?" kamu bertanya. Mungkin karena melihatku sengaja melewatkan satu tanaman dalam polybag warna ungu.

"Baru kamu siram minggu lalu, kan? Katamu cuma boleh disiram dua minggu sekali,"

"Iya? Kapan aku bilang begitu?"

"Dasar pikun!"

Kamu cuma nyengir, mengelus kepalaku.

"Tangan kamu kotor, Nan! Jangan pegang-pegang ah,"

Kamu nyengir lagi. Kali ini ditambah dengan iseng mengacak rambutku. Di sela candamu, kudengar ada yang memencet bel rumah kita. Kamu meletakkan peralatan tanam, bergegas ke depan, membuka pintu. Aku segera mengekor di belakangmu.

Ah, rupanya ibumu yang berkunjung. Kamu pasti bahagia.

"Kok enggak bilang-bilang kalau mau datang?" kamu bertanya kepada perempuan berusia 60-an yang berdiri di depanmu, segera setelah melihatnya berdiri di depan pintu. Kamu mencium tangannya, memeluknya kemudian.

"Mama ke sini sama siapa?" aku bertanya, ikut mencium tangannya. Sebelum aku memeluknya, ibumu sudah memelukku. Percaya, Nan? Aku berani bertaruh, dibandingkan peluknya untukmu, peluknya untukku terasa lebih erat, lebih hangat. Tapi tentu saja, aku sudah mengenal ibumu sebelum aku mengenalmu. Aku sudah mencintainya sebelum aku mencintaimu. Aku sudah dianggapnya seperti anaknya sebelum aku jadi istrimu. Aku sempat putus dengan kamu, tapi aku tidak pernah putus dengan ibumu. Hubungan kita sempat tidak baik-baik saja, tapi hubungan kami selalu baik-baik saja.

...

"Mama kok enggak bilang kalau mau ke sini? Kan kami bisa jemput," aku mengobrol dengan ibumu di ruang tengah. Kamu kembali ke taman, berkebun. Mungkin kamu mulai paham kalau Mama selalu ingin punya waktu untuk bicara berdua denganku. Tidak untuk membicarakan hal-hal serius. Topik pembicaraan kami malah lebih sering tentang kamu.

"Mama juga bisa ke sini sendiri, Za. O iya, acara amal minggu lalu bagaimana? Lancar?"

"Lancar, Ma. Minggu depan Aza juga ada acara lagi,"

"Di mana?"

"India, Ma,"

Mama menatapku, lembut.

"Kenapa, Ma?" kutanya. Sempat khawatir kalau-kalau Mama melarangku pergi-pergi lagi.

"Mama bangga sama kamu," Mama mengelus kepalaku, persis seperti yang sering kamu lakukan. Pagi ini Mama tidak banyak bicara. Setelah sepatah dua patah kata, Mama beranjak. Aku membantunya berdiri karena kulihat Mama sempat kesulitan menggerakkan kaki palsunya. Aku mengikuti Mama. Kami berjalan ke taman, menujumu.

...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun