Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tenggara, Kota yang Lupa Caranya Tumbuh

7 Agustus 2025   10:41 Diperbarui: 7 Agustus 2025   10:50 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan Hari ke-1 oleh Pak Dhe

Aku sudah tinggal di kota ini lebih dari tiga tahun. Tapi anehnya, lubang di jalan depan rumahku masih sama. Ukurannya, bentuknya, bahkan genangan airnya seolah-olah dijaga agar tetap otentik.

Mungkin di kota ini, lubang jalan bukan kerusakan. Tapi penanda waktu.

Tenggara bukan kota kecil. Tapi juga bukan kota besar. Ia seperti anak tengah dalam keluarga-tak terlalu disayang, tapi terus dituntut mandiri.

Ingin maju, katanya. Tapi tak pernah jelas, ke mana arah kemajuan itu hendak dibawa. Pembangunan seperti upacara: ramai di awal, lupa esensinya di tengah jalan, lalu tiba-tiba ditutup dengan pidato syahdu dan selfie bersama spanduk yang kebesaran.

Sebagai orang tua yang sedang tirah-istilah halus untuk pulang-aku hanya menonton semuanya dari beranda. Dulu aku wartawan. Pernah keliling, wawancara menteri, nelayan, petani, hingga korban longsor. Pernah dianggap penting.

Tapi sekarang? Aku hanya penulis catatan harian yang kadang terlalu jujur.

Pagi tadi aku baca surat yang ditempel di tiang listrik dekat masjid. Tulisannya sederhana, tulus, dan getir:

"Saya Sutarti, pensiunan guru TK.
Sudah dua bulan air di rumah saya bau lumpur. Tapi tagihan tetap datang.
Katanya kita kota cerdas. Tapi yang kami lakukan cuma ngeluh di grup WA."

Aku tersenyum miris. Karena aku tahu, ibu itu pernah mengajar anak Camat. Dan kini, suaranya tenggelam seperti drainase yang mampet.

Di warung kopi dekat rel, para pekerja harian bicara soal lubang jalan.

"Kok tiap tahun digali lagi ya, bro?"

"Biar rakyat ingat kalau pembangunan itu nyata."

"Tapi tiap kali digali, malah banjir."

"Namanya juga gali masa depan. Kadang nggak tahu mau ditanam apa."

Kami semua tertawa. Tapi aku tahu, tawa kami itu seperti kertas bekas: pernah berguna, kini hanya pelengkap.

Kadang aku temukan potongan puisi di koran lama yang tercecer:

Tenggara ini kota manja
Minta dipuji padahal belum kerja
Spanduk besar, janji raksasa
Tapi rakyat tetap masak pakai kayu bakar di pojok dapur tua

Aku tak tahu siapa penulisnya. Tapi puisinya lebih jujur dari banyak pidato.

Sore tadi ada berita di TV lokal: Walikota meresmikan trotoar digital.
Bukan yang bisa diinjak, tapi yang bisa dibayangkan lewat QR code.

Katanya, rakyat diajak berimajinasi tentang masa depan.
Ada simulasi warna batu, suara burung, bahkan jenis pohon yang belum tentu ditanam.

Kaos gratis dibagikan dengan slogan:

"Tenggara Bangkit! Walau Cuma di Pikiran."

Dan malamnya, jalan di depan rumah masih gelap seperti biasa.

Aku tahu, tidak ada yang bisa disalahkan sepenuhnya. Semua sibuk. Semua lelah. Semua ingin terlihat kerja.

Tapi barangkali, yang dibutuhkan kota ini bukan gedung baru atau lampu hias,
melainkan seseorang yang sudi duduk diam, mendengarkan, mencatat.

Aku menulis bukan untuk viral. Tapi untuk waras.

Sebab, kalau tak kutulis, mungkin aku pun akan lupa-
bahwa Tenggara ini... masih punya harapan.

Pelan-pelan, asal benar.
Lambat, asal jujur.

Dan siapa tahu, dari catatan kecil ini,
Tuhan sedang membaca - sambil berkata,

"Akhirnya ada satu yang diam. Mendengarkan."

Pak Dhe - Teras belakang Terminal Tenggara.
Catatan pagi: 06.07 WIB.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun