Sebagai seorang guru yang sudah mengabdi selama lebih dari dua windu, ada satu fenomena di ruang kelas yang sering kali memantik keheranan saya. Suara-suara lantang yang seharusnya bersemangat untuk belajar, justru diredam oleh bisik-bisik dan tatapan sinis. Dan ironisnya, bisik dan tatapan sinis itu justru datang dari lingkaran-lingkaran interaksi di antara mereka. Ada siswa yang pada saat proses pembelajaran di kelas mencoba aktif bertanya untuk menyalurkan hasrat ingin tahunya, tapi bukannya disambut dengan baik, ia malah dicap "sok caper" atau "cari muka" oleh teman-temannya. Ada pula yang menunjukkan keseriusan dalam pelajaran, fokus, dan tekun, namun nasibnya tak jauh beda: ia dijuluki "si paling rajin," "si paling kimia," "si paling Pancasila" dan segudang julukan “si paling” lainnya. Fenomena ini adalah ironi besar, di mana semangat belajar yang seharusnya menjadi pemantik bertumbuhnya pengetahuan, justru menjadi alasan untuk diasingkan.
Lantas, noumena apa yang sebenarnya tersembunyi di balik fenomena permukaan ini? Jauh melampaui apa yang terlihat, kita akan menemukan bahwa fenomena ini adalah realitas batin yang terbentuk dari sebuah efek echo chamber. Ruang kelas telah menjadi "ruang gema" di mana satu-satunya gagasan yang diterima adalah gagasan yang seragam, yaitu belajar seadanya, tanpa perlu terlalu menonjol. Mereka yang mengucilkan sering kali merasa tidak aman (insecure) oleh kecemerlangan orang lain. Alih-alih terpacu untuk ikut berprestasi, mereka memilih untuk mempertahankan zona nyaman kolektif dengan cara menekan siapapun yang berani tampil beda. Tekanan sosial untuk seragam ini begitu kuat, hingga suara-suara yang berbeda dianggap sebagai ancaman dan harus disingkirkan. Alih-alih menjadi tempat diskursus yang sehat, ruang kelas justru menjadi tempat di mana nalar kritis dan rasa ingin tahu tersisihkan demi konformitas.
Immanuel Kant pernah menyatakan bahwa :
“Man can only become man by education. He is merely what education makes of him".
Bagi Kant, manusia tidak dilahirkan sebagai "manusia yang seutuhnya", melainkan harus dibentuk melalui proses pendidikan. Manusia bukanlah makhluk yang sudah utuh sejak lahir. Sebaliknya, manusia memiliki tugas sepanjang hidup untuk terus belajar dan bertumbuh menjadi pribadi yang seutuhnya. Proses ini tidak terjadi begitu saja, melainkan membutuhkan bimbingan dan pendidikan yang berkelanjutan. Pendidikan adalah jalan untuk mengembangkan akal budi, moral, dan kemandirian yang membedakan manusia dari makhluk lain. Jika kita mengukur pemahaman Kant ini dengan fenomena "si paling" di kelas, maka kita akan melihat sebuah kegagalan besar! Ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat untuk tumbuh menjadi "manusia" sejati, yang memiliki rasa ingin tahu, keberanian bertanya, dan ketekunan, justru berubah menjadi arena di mana hal-hal fundamental itu terkikis karena tersisihkan.
Untuk mengatasi fenomena ini, kita perlu mengaktifkan kembali peran pendidikan sebagai ruang dialog dan pertumbuhan intelektual. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah konsep pendidikan transformatif, di mana tujuan utama bukanlah sekadar transfer pengetahuan, melainkan sebuah ikhtiar transformasi atau perubahan cara pandang dan pola pikir. Pendidikan transformatif mendorong siswa untuk tidak hanya menerima informasi, tetapi juga mempertanyakannya, berani berargumentasi, dan menghargai perbedaan pendapat. Guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan iklim aman bagi setiap siswa untuk mengekspresikan gagasannya tanpa takut dihakimi. Dengan membiasakan siswa pada proses dialog yang sehat dan menanamkan sikap kerendahan hati intelektual (di mana setiap orang mengakui bahwa pengetahuannya terbatas) maka perlahan kita bisa mengikis dan membongkar echo chamber di ruang kelas.
Walaupun konsep pendidikan transformatif bukan hal baru dalam perjalanan kurikulum pada sistem pendidikan kita, namun implementasinya masih seringkali terbentur oleh dinding kebiasaan lama dan tekanan sosial yang begitu kuat. Konsep pendidikan transformatif mungkin sudah tertuang indah dalam berbagai manuskrip panduan kurikulum, tetapi realitas di ruang kelas seringkali berbicara lain. Konsep mulia yang terkandung dalam pendidikan transformatif menghadapi perlawanan dari mentalitas yang sudah nyaman dengan pembelajaran satu arah, di mana guru hanya berceramah dan siswa cukup mendengarkan. Lebih dari itu, konsep ini juga berhadapan dengan budaya echo chamber yang terlanjur mengakar di antara siswa, di mana perbedaan dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai kekayaan yang layak dirayakan.
Fenomena "si paling" adalah sebuah pukulan telak bagi idealisme pendidikan. Dalam lubuk hati saya, saya berusaha untuk selalu menumbuhkan prasangka positif bahwa (semoga) ini hanyalah kekhawatiran sesaat dan tidak sampai menjadi membudaya menjadi tatanan sosial yang terstruktur di ruang-ruang pembelajaran di kelas. Semua pihak tidak boleh abai terhadap fenomena ini, karena kualitas generasi masa depan dan keberlangsungan bangsa kita akan sangat tergantung pada kualitas pendidikan saat ini.
Jangan sampai bisik dan tatapan sinis ditujukan kepada mereka yang menunjukkan kecermelangan kompetensi. Jangan sampai juga fenomena echo chamber effect justru menistakan mereka-mereka yang kritis dan lantang menyuarakan kebenaran dengan cap sebagai pembangkang. Mereka yang selalu memberikan pandangan kritis justru dianggap sebagai entitas pengganggu keberlangsung sistem yang dengan demikian maka harus diasingkan. Seharusnya, mereka adalah aset berharga karena selalu mencurahkan perhatian dengan cara memberikan perspektif yang berbeda dengan yang lain. Melalui merekalah sebuah sistem menjadi kaya akan perspektif, di mana hal itu akan sangat berguna bagi proses pengambilan keputusan.
Pendidikan sejati seharusnya merayakan perbedaan, memupuk keberanian, dan mendorong setiap individu untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, bukan mengasingkan atau bahkan menistakan mereka !!!