Di warung kopi dekat rel, para pekerja harian bicara soal lubang jalan.
"Kok tiap tahun digali lagi ya, bro?"
"Biar rakyat ingat kalau pembangunan itu nyata."
"Tapi tiap kali digali, malah banjir."
"Namanya juga gali masa depan. Kadang nggak tahu mau ditanam apa."
Kami semua tertawa. Tapi aku tahu, tawa kami itu seperti kertas bekas: pernah berguna, kini hanya pelengkap.
Kadang aku temukan potongan puisi di koran lama yang tercecer:
Tenggara ini kota manja
Minta dipuji padahal belum kerja
Spanduk besar, janji raksasa
Tapi rakyat tetap masak pakai kayu bakar di pojok dapur tua
Aku tak tahu siapa penulisnya. Tapi puisinya lebih jujur dari banyak pidato.
Sore tadi ada berita di TV lokal: Walikota meresmikan trotoar digital.
Bukan yang bisa diinjak, tapi yang bisa dibayangkan lewat QR code.
Katanya, rakyat diajak berimajinasi tentang masa depan.
Ada simulasi warna batu, suara burung, bahkan jenis pohon yang belum tentu ditanam.
Kaos gratis dibagikan dengan slogan:
"Tenggara Bangkit! Walau Cuma di Pikiran."