Bahasa yang digunakan masyarakat juga punya kekuatan. Julukan seperti "sultan priok," "crazy rich pejabat," atau "pejabat pamer harta" adalah bentuk stempel sosial. Julukan ini mengandung ironi: pejabat disebut "sultan" bukan karena bijak atau adil, tetapi karena hartanya mencolok di tengah rakyat yang kesusahan. Kata-kata itu bukan hanya ejekan, melainkan bentuk perlawanan simbolik. Rakyat membalikkan citra glamor menjadi bukti arogansi.
Fenomena ini memperlihatkan satu hal penting: bahasa dan simbol di media sosial bisa menjadi senjata rakyat untuk melawan arogansi kekuasaan. Jika dulu pejabat bisa merasa aman dengan kekayaannya, kini setiap ucapan, foto, dan tindakan bisa dibongkar, dipelintir, dan dijadikan bukti kesenjangan. Social breaking hadir sebagai cara dramatik masyarakat merebut kembali ruang makna menunjukkan bahwa simbol kekuasaan tidak lagi hanya milik penguasa, tapi bisa dibalik menjadi senjata kritik.
Dengan kata lain, flexing pejabat bukan sekadar soal gaya hidup. Di era digital, ia berubah menjadi titik rawan yang bisa menghancurkan legitimasi mereka sendiri. Dan masyarakat, lewat kreativitas bahasa dan simbol di media sosial, tahu betul bagaimana memanfaatkannya
Fenomena pamer kekayaan dan arogansi pejabat di ruang publik, khususnya media sosial, telah menciptakan jurang pemisah yang semakin nyata antara rakyat dan penguasa. Di tengah kondisi ekonomi yang menekan harga kebutuhan pokok yang terus naik, lapangan kerja yang terbatas, dan beban pajak yang semakin menghimpit masyarakat berharap negara hadir untuk memberi rasa adil dan sejahtera. Namun yang mereka saksikan justru sebaliknya: anak-anak pejabat berfoto di sayap jet pribadi, istri pejabat berpose dengan tas mewah, atau pejabat sendiri yang dengan ringan mengucapkan kalimat arogan yang merendahkan jerit rakyat.
Bagi masyarakat, semua itu bukan sekadar tampilan gaya hidup. Itu adalah simbol pengkhianatan terhadap amanah. Pajak yang mereka bayarkan dengan susah payah bukan untuk dipakai berpesta atau membeli barang mewah, melainkan untuk membangun sekolah, memperbaiki jalan, dan memastikan tidak ada lagi anak kelaparan. Ketika pejabat menunjukkan wajah pongahnya di media sosial, rakyat merasa harga diri mereka diinjak-injak. Rasa marah yang muncul bukan hanya soal iri terhadap kekayaan, melainkan soal keadilan yang diciderai.
Media sosial mempercepat ledakan kemarahan itu. Foto dan video yang awalnya dimaksudkan untuk pamer status justru berubah menjadi bahan bakar perlawanan. Rakyat menyebarkan ulang dengan komentar sinis, membuat meme, hingga menggelorakan protes digital yang sulit dihentikan. Dari ruang digital, amarah itu menjalar ke ruang nyata: rumah dinas dilempari, gedung pemerintahan diserbu, dan simbol-simbol kekuasaan jadi sasaran kemarahan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Nepal, Filipina, hingga Prancis. Di mana pun pejabat mempertontonkan kesombongan di tengah penderitaan rakyat, pola yang muncul sama: rakyat bangkit, melawan dengan cara mereka sendiri.
Kesimpulan dari rangkaian fenomena ini sederhana tapi keras: rakyat sudah lelah. Mereka bosan dengan janji kosong, retorika efisiensi yang tidak selaras dengan tindakan, muak melihat gaya hidup mewah yang dibiayai dari keringat mereka sendiri, dan marah ketika pejabat merasa seolah-olah kebal dari kritik. Di balik setiap unggahan mewah pejabat, rakyat melihat kontradiksi: mereka yang seharusnya melayani justru sibuk mempertontonkan kuasa. Mereka yang seharusnya memberi teladan justru menampilkan wajah arogan.
Namun, sejarah selalu menunjukkan satu hal: arogansi penguasa tidak pernah abadi. Simbol kekuasaan bisa runtuh seketika ketika rakyat tidak lagi memberi legitimasi. Media sosial hari ini telah menjadi alat rakyat untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kuasa tertinggi. Di balik setiap komentar sinis, setiap meme, dan setiap aksi protes, ada pesan jelas yang dikirimkan kepada penguasa: jangan sakiti rakyat.
Rakyat tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin hidup yang layak, harga pangan yang terjangkau, pekerjaan yang memadai, dan rasa aman dari negara yang mereka biayai dengan pajak. Ketika kebutuhan sederhana itu diabaikan, sementara pejabat dengan pongah mempertontonkan arogansinya, maka kepercayaan akan runtuh. Dan ketika kepercayaan runtuh, penguasa kehilangan pijakan paling penting yang bisa membuat mereka tetap berdiri.
Karena itu, pesan paling penting dari fenomena social breaking ini adalah peringatan: kekuasaan tanpa empati hanya akan membawa kehancuran. Rakyat adalah sumber legitimasi. Rakyatlah pemilik sah negara. Maka jangan lagi remehkan suara mereka, jangan pamerkan kekuasaan di hadapan penderitaan mereka, dan jangan ulangi kesalahan yang sama. Sebab sekali rakyat bangkit, tak ada kekuasaan arogan yang bisa bertahan.
 Jayalah terus Indonesia yang Berkeadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia!