Ketika seseorang menerima Wene Kolig, ia tahu bahwa hidupnya bukan lagi milik pribadi. Ia menjadi penjaga makna, bukan pemilik makna. Ia tidak berhak mengubah larangan, tetapi meneruskan mengapa larangan itu ada. Termasuk larangan tentang kayu bekas jembatan---yang bukan sekadar kayu, tetapi jejak lintasan antara niat dan akibat. Wene Kolig membuat kami peka terhadap benda yang pernah berfungsi, dan tidak pernah memperlakukannya sebagai barang kosong.
Kami menyimpan Wene Kolig seperti kami menyimpan api kecil di dalam honai---diam, hangat, dan penuh arah.
Hun Flocky
Dari generasi yang membaca jejak dalam keheningan, bukan dalam kata
Kajian Akademis: Pewarisan Pengetahuan Non-Tertulis
Dalam antropologi, sistem pewarisan pengetahuan yang tidak formal atau tidak tertulis dikenal sebagai oral tradition atau embodied knowledge. Konsep Wene Kolig sejalan dengan pandangan Claude Lvi-Strauss bahwa pengetahuan dalam masyarakat tradisional seringkali diwariskan melalui pengalaman, ritual, dan pengakuan komunitas. Proses ini tidak bergantung pada literasi, melainkan pada otoritas simbolik dan moral individu yang dianggap layak. Dalam konteks Hubula, Wene Kolig bukan sekadar informasi, tetapi api nilai, kesadaran, dan tanggung jawab komunal yang diwariskan melalui hubungan sosial dan spiritual.
Dari perspektif filsafat, konsep pewarisan seperti Wene Kolig menekankan bahwa pengetahuan bukan milik pribadi, melainkan amanah. Ini sejalan dengan gagasan Alasdair MacIntyre dalam After Virtue, bahwa tradisi mengandung narasi moral kolektif, dan pewaris pengetahuan bertugas menjaga kesinambungan makna, bukan mengubahnya semaunya. Dalam hal ini, orang yang menerima Wene Kolig tidak "memiliki" pengetahuan, melainkan ditugaskan untuk menjaga dan menyampaikannya secara bertanggung jawab, termasuk dalam hal larangan budaya seperti penggunaan kayu jembatan.
Dalam epistemologi, embodied knowledge adalah pengetahuan yang terwujud dalam praktik hidup, bukan dalam teori. Wene Kolig menunjukkan bahwa masyarakat Hubula memiliki sistem pengetahuan berbasis kelayakan moral dan spiritual, bukan kemampuan intelektual semata. Belajar melalui diam, gerak, dan pengamatan sebagai media belajar memperkuat tesis bahwa pengetahuan adat adalah bentuk epistemologi alternatif yang berharga secara akademik, karena ia tidak lahir dari teks, melainkan dari keteladanan, pengalaman sosial, dan kedekatan dengan nilai komunitas.
Menurut Peter Berger dan Thomas Luckmann, pengetahuan dalam masyarakat dibentuk oleh institusionalisasi makna dan legitimasi sosial. Wene Kolig adalah contoh mekanisme ini: komunitas menetapkan siapa yang pantas menerima pengetahuan, bukan individu yang memaksakan diri. Legitimasi diberikan bukan melalui gelar, tetapi melalui pengakuan perilaku dan posisi dalam jaringan sosial budaya. Ini mencerminkan bahwa dalam masyarakat Hubula, pengetahuan adalah produk dialog antar generasi, bukan hasil eksplorasi individu semata.
Sebagai kesimpulan akademik, Wene Kolig sebagai bara pengetahuan yang diwariskan dalam masyarakat Hubula adalah praktik epistemologis yang kaya, dengan dimensi antropologis (pewarisan non-literer), filosofis-etis (pengetahuan sebagai amanah), epistemologis lokal (belajar melalui hidup), dan sosiologis (validasi melalui struktur sosial). Larangan adat, penghormatan terhadap benda, dan penataan ruang hidup yang dijaga melalui Wene Kolig merupakan contoh rasionalitas kultural yang sah untuk dibaca sebagai warisan filsafat hidup yang relevan dan reflektif.
4.2 Mereka yang Dipilih, Bukan yang Meminta
Dalam masyarakat kami, tidak semua orang pantas menerima Wene Kolig. Bara pengetahuan itu bukan hadiah, bukan warisan berdasarkan darah, dan bukan prestasi. Ia adalah pengakuan. Dan pengakuan hanya datang kepada mereka yang tahu cara mendengarkan bahkan ketika tidak ada suara, yang mampu membaca arah dari gerak yang tidak tampak, dan yang menjaga dirinya bukan demi kehormatan, tapi demi keseimbangan hidup orang lain.