Mohon tunggu...
HUN FLOCKY
HUN FLOCKY Mohon Tunggu... Aktivis budaya Masyarakat Lembah baliem suku hubula

Menulis dan menyoroti pentingnya akar dan identitas budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Filosofi, larangan memakai Kayu bekas Jembatan Masyarakat Adat hubula

2 Agustus 2025   22:35 Diperbarui: 5 Agustus 2025   07:53 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di titik ini, kayu mengalami perubahan makna. Ia tidak lagi netral. Ia menjadi tempat terbuka bagi banyak cerita yang kadang tidak saling mengenal dan tidak saling menyapa. Ia menyerap tanpa bicara, tetapi menyimpan dengan jujur. Maka ketika kayu jembatan selesai menjalankan fungsinya, kami tidak memindahkannya, kami tidak menjadikannya bahan bangunan, apalagi barang rumah. Kami biarkan ia membusuk dalam waktu yang adil, sebagai bentuk penghormatan terhadap benda yang telah bekerja.

Kami tidak takut pada kayu. Kami menghormati kayu.

Di dalam jembatan itu, kami melihat filosofi hidup. Bahwa pikiran butuh ruang lintasan, tindakan butuh tempat melompat, dan cerita butuh batas. Kami belajar dari kayu yang diam, bahwa tidak semua yang digunakan harus dikembalikan ke ruang kita. Karena ruang kita bukan tempat menampung segalanya. Ada yang harus tinggal di luar, dan ada yang harus dikembalikan ke tanah.

Jembatan tidak punya rumah. Maka kayu yang pernah menjadi jembatan, tak boleh dibawa pulang.

Hun Flocky
Di bawah langit Wamena, tempat jejak berbicara tanpa suara

Kajian Akademis: Benda sebagai Jejak Sosial dalam Kerangka Multidisipliner

Konsep "kayu sebagai jejak" sejalan dengan gagasan antropolog Claude Lvi-Strauss bahwa benda-benda material dalam kebudayaan tradisional tidak sekadar alat, melainkan sarana pengangkut makna dan relasi sosial. Dalam masyarakat Hubula, kayu yang digunakan sebagai jembatan mengemban fungsi sosial sebagai titik temu lintasan manusia, sehingga ia menginternalisasi nilai-nilai kolektif. Kayu menjadi artefak naratif, merekam lalu lintas sosial dan konflik, sementara jembatan menjadi ruang simbolik di mana kehidupan sehari-hari dan ritus budaya beririsan. Larangan membawa kayu tersebut ke ruang domestik menunjukkan bagaimana benda dapat berubah status: dari fungsional menjadi sakral atau bahkan profan tergantung konteksnya.

Dalam filsafat kontemporer, Martin Heidegger menyatakan bahwa benda memiliki being-in-the-world ---keberadaan yang terikat pada jaringan relasi dan makna. Kayu yang telah menjadi jembatan tidak lagi bersifat "netral"; ia telah menjalani kehidupan sebagai bagian dari dunia manusia. Perpindahan benda dari ruang publik ke ruang domestik melanggar ontologinya, karena fungsi baru dianggap tidak sesuai dengan "pengalaman hidup" benda tersebut. Ini mencerminkan bahwa masyarakat Hubula secara intuitif memahami ontologi benda: mereka menolak pemanfaatan ulang bukan karena keterbatasan teknis, melainkan karena penghormatan terhadap memori dan makna.

Dalam fenomenologi, ruang tidak dipahami sekadar sebagai tempat, tetapi sebagai pengalaman hidup yang berstruktur. Menurut Edward Casey dan Yi-Fu Tuan, ruang transisi seperti jembatan memiliki karakter unik: ia menjadi median antara dunia yang dikenal dan yang akan ditemui, serta memfasilitasi interaksi bukan hanya fisik, tapi juga emosional dan simbolik. Jembatan dalam masyarakat Hubula bukan ruang tinggal, tetapi ruang lintasan ---di sana pikiran bergeser, keputusan dibuat, dan beban dibawa. Menggunakan benda dari zona ini untuk ruang domestik dianggap secara etik menyalahi batas-batas pengalaman manusia.

Teori Peter Berger dan Thomas Luckmann mengenai konstruksi sosial atas kenyataan menunjukkan bahwa benda dalam masyarakat tidak bersifat objektif, tetapi dikonstruksi melalui makna bersama. Kayu jembatan dibentuk sebagai "benda publik" yang mengandung jejak sosial. Larangan adat bertindak sebagai mekanisme kontrol nilai, mencegah gangguan terhadap harmoni domestik. Benda bukan hanya dipilih karena fungsinya, tapi karena kemampuan simboliknya menjaga sistem sosial.

Sebagai kesimpulan, "kayu sebagai jejak" dan "jembatan sebagai ruang perlintasan" dalam masyarakat Hubula menunjukkan bahwa rasionalitas adat tidak inferior terhadap pemikiran modern. Justru, ia menampilkan versi rasionalitas yang simbolik, ontologis, dan kolektif ---di mana benda dihargai karena cerita yang dikandungnya, dan ruang dihormati karena fungsinya dalam perjalanan hidup manusia. Larangan terhadap penggunaan kembali kayu bekas jembatan adalah ekspresi kultural yang menggabungkan filosofi benda, etika ruang, dan struktur sosial, menjadikannya wujud nalar lokal yang sangat kompleks dan sah secara akademik.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun