Mohon tunggu...
HUN FLOCKY
HUN FLOCKY Mohon Tunggu... Aktivis budaya Masyarakat Lembah baliem suku hubula

Menulis dan menyoroti pentingnya akar dan identitas budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Filosofi, larangan memakai Kayu bekas Jembatan Masyarakat Adat hubula

2 Agustus 2025   22:35 Diperbarui: 5 Agustus 2025   07:53 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ruang ini, kami membicarakan hidup dengan rendah hati. Kami duduk dalam lingkaran, merunduk pelan, dan membiarkan makna muncul dari yang paling sunyi. Honai mengajari kami bahwa mendengar adalah bentuk keberanian, dan diam adalah cara menjaga agar hidup tidak dirusak oleh suara yang tak tahu arah.

Maka kami belajar: menjadi manusia bukan hanya soal berpikir dan bicara, tapi tentang mengenali waktu untuk diam, membaca arah tubuh, dan menyadari bahwa setiap ruang punya batas, dan setiap cerita punya tempatnya sendiri untuk tumbuh atau selesai.

Hun Flocky
Dari honai yang memelihara kata sebagai bentuk pengertian, bukan alat kemenangan

Kajian Akademis: Struktur Wacana Berbasis Sikap

Bagian 9.1 dan 9.2 menyimpulkan bahwa dalam masyarakat Hubula, mendengar adalah tindakan etis dan spiritual, bukan sekadar fungsi biologis. Sikap tubuh seperti merunduk dan duduk melingkar adalah bagian dari sistem komunikasi yang menjaga keseimbangan sosial. Ruang dan benda berperan aktif dalam menentukan arah wacana dan batas makna. Diam dan mendengar menjadi bentuk tertinggi dari penghormatan terhadap kehidupan dan komunitas.

Dalam kerangka akademik, ini adalah wujud dari filsafat komunikasi ekologis, di mana tubuh, ruang, dan benda bersatu dalam sistem nilai yang menjaga arah hidup bersama.

Epilog --- Di Antara Kayu dan Makna, Kita Belajar Tunduk

Tidak ada kayu yang benar-benar mati dalam tradisi kami. Bahkan ketika ia membusuk di ujung jembatan, kami percaya: ada cerita yang tetap hidup di dalamnya. Dan dalam setiap cerita, selalu ada arah yang harus dikenali, bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk dihormati.

Naskah ini bukan sekadar tentang benda. Ia adalah perjalanan untuk memahami bahwa hidup tidak selalu soal suara, posisi, atau kepemilikan makna. Ia juga tentang menjaga ruang, menata gerak, dan merunduk dengan sadar. Masyarakat kami tidak dibentuk oleh debat, tapi oleh ketenangan yang dijaga melalui aturan, larangan, dan gerakan tubuh yang tahu diri.

Dalam dunia yang terlalu cepat bicara, tradisi kami mengajarkan bahwa mendengar adalah keberanian paling awal, dan diam adalah bentuk keberanian paling akhir. Honai, dengan kayunya yang bulat dan atap rendah, menjadi guru yang tak bersuara tapi penuh ajaran. Di sana kami belajar bahwa nalar bisa tinggal dalam tubuh, dan arah bisa dibaca lewat benda.

Jika ada sesuatu yang bisa diwariskan dari kayu jembatan, maka itu bukan kekuatannya menahan beban, tapi kemampuannya melepaskan beban setelah tugasnya selesai. Dan dari sana, kita tahu: menjadi manusia adalah tentang tahu kapan harus menahan, kapan harus bicara, dan kapan harus pulang dalam diam.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun