Itulah cara kami menjaga ruang dari gangguan yang tidak muncul dalam kata, tapi hadir dalam arah. Karena masalah luar bisa dibawa ke dalam lewat benda, dan kami tidak memberi ruang bagi arah yang tidak kami kenal.
Hun Flocky
Dari kampung yang mengenali benda sebelum mengenali suara
Kajian Akademis: Benda sebagai Penyimpan Jejak Sosial
Menurut kajian Daniel Miller dan Arjun Appadurai, benda dalam masyarakat bukan hanya alat atau komoditas, melainkan entitas yang membawa hubungan sosial, nilai, bahkan trauma kolektif. Kayu bekas jembatan telah dilewati oleh langkah-langkah yang membawa konflik, beban, dan maksud yang tidak selalu selaras. Dalam masyarakat Hubula, benda ini mengalami transformasi fungsi dan makna---dari material fisik menjadi "pembawa masalah sosial". Larangan adat atas benda tersebut menunjukkan bentuk pengetahuan sosial yang tidak tertulis, tapi dipraktikkan sebagai bentuk kontrol terhadap aliran energi dan cerita antar ruang.
Dalam filsafat benda menurut Martin Heidegger, setiap benda tidak hanya ada, tetapi mengada dengan jejak. Ketika kayu menjadi jembatan, ia tidak lagi "netral"; ia telah menjadi tempat perlintasan batin dan tubuh manusia. Masyarakat Hubula memperlakukan kayu sebagai entitas ontologis yang telah menyerap makna. Setelah fungsi publiknya selesai, kayu tidak dapat diubah menjadi bagian dari ruang domestik tanpa mengganggu kesucian ontologi ruang dalam. Dengan demikian, benda dalam tradisi ini memiliki identitas yang dinamis, bukan tetap.
Menurut Edward Casey dan Gaston Bachelard, ruang memiliki kepekaan terhadap energi pengalaman. Ruang hidup, seperti honai dan kampung, dibangun untuk menjadi tempat pemulihan dan ketenangan batin. Membawa benda dari ruang konflik ke ruang pemulihan berarti memasukkan narasi yang belum selesai. Kayu yang "terkontaminasi" oleh langkah dan niat yang tidak dikenal menjadi perantara gangguan yang tak terlihat, tapi terasa. Dalam fenomenologi masyarakat adat, gangguan tidak harus hadir dalam kata---ia bisa muncul lewat benda dan arah gerak.
Dalam kajian Edwin Hutchins dan Gregory Bateson, manusia tidak berpikir sendirian---lingkungan dan benda ikut terlibat dalam proses kognitif dan afektif. Kayu jembatan adalah node afektif: benda yang telah menjadi tempat aliran emosi dan konflik banyak orang. Jika dipindahkan ke ruang domestik, ia ikut memengaruhi dinamika batin dalam komunitas---bukan secara fisik, tapi melalui memori kolektif yang tak diucapkan. Larangan untuk membawa benda itu masuk adalah bentuk pengaturan sistem afek sosial yang canggih.
Sebagai kesimpulan akademik, bagian ini menampilkan bagaimana masyarakat Hubula menerapkan rasionalitas budaya dalam memperlakukan benda yang pernah menjadi bagian dari konflik dan perlintasan sosial. Kayu bukan hanya benda pasif, tetapi penyimpan jejak konflik dan intensi, entitas bermakna yang tidak dapat dipisahkan dari konteks ruang dan waktu, serta medium gangguan tak verbal yang berpotensi merusak keseimbangan ruang tenang. Larangan terhadap kayu bekas jembatan adalah wujud dari filsafat ekologis-adat, yang menjaga harmoni ruang melalui pengenalan benda sebagai makhluk pengalaman. Ini bukan mitos---tetapi bentuk epistemologi lokal yang berlapis etika, spiritualitas, dan kesadaran ruang.
6.3 Larangan Benda sebagai Pagar Spiritual dan Sosial
Dalam masyarakat kami, larangan bukan hanya bentuk aturan. Ia adalah pagar. Bukan pagar fisik yang menghalangi, tetapi pagar makna yang menjaga ruang hidup tetap memiliki batas yang dikenali oleh tubuh dan batin. Ketika kami melarang kayu bekas jembatan masuk kampung, kami sedang menegakkan pagar itu---pagar yang tidak terlihat, tapi terasa.
Pagar spiritual menjaga agar ruang dalam tidak kebobolan oleh jejak-jejak luar yang tidak kami kenal asal-usulnya. Sebab setiap benda membawa jejak, dan jejak adalah arah. Dan kami percaya bahwa arah yang tidak jelas bisa mengacaukan langkah kami di kemudian hari. Larangan benda adalah cara menjaga agar arah hidup tetap punya garis yang tidak dilompati tanpa sadar.