Kayu bukan hanya berasal dari pohon. Di lembah kami, ia lahir dari udara yang dihirup dan ditanam dengan niat. Ia tumbuh bersama waktu dan ditebang dengan hormat. Maka, setiap kayu bukan sekadar alat, ia adalah bagian dari tubuh alam yang pernah berdiam.
Ketika kayu dipilih untuk menjadi jembatan, ia tidak sekadar menjalani tugas struktural. Ia berubah menjadi ruang lintasan, tempat pikiran dan langkah manusia bertemu. Setiap pijakan di atasnya membawa beban, cerita, dan kadang luka. Kayu itu menyerap bukan hanya getah, tetapi peristiwa.
Karena itu, ketika jembatan selesai menjalankan tugasnya, kami tak pernah memindahkannya ke dalam kampung. Kami biarkan ia membusuk, dengan cara yang tenang dan terhormat. Sebab ia telah menjadi saksi---dan saksi tidak boleh ditarik ke ruang penyembuhan. Ia punya tempatnya sendiri untuk melepaskan beban.
Di balik larangan itu, tersimpan nalar yang kami warisi dari para pendahulu. Mereka menyebutnya Wene Kolig ---bara pengetahuan yang berpindah secara turun-temurun, bukan lewat catatan, tapi lewat pengakuan batin dan kepercayaan sosial. Wene Kolig bukan sesuatu yang bisa diminta, tetapi sesuatu yang disematkan melalui laku hidup.
Dan inilah salah satu bara itu: menghormati kayu yang sudah dipakai. Karena kayu bukan benda mati. Ia punya kenangan. Ia punya jejak. Dan kami percaya bahwa tidak semua yang bisa digunakan harus dimanfaatkan kembali. Sebab nilai sebuah benda tidak hanya diukur dari kekuatannya, tapi dari sejarah yang melekat padanya.
Jika kayu itu telah dilalui banyak langkah dan cerita, maka biarlah ia istirahat tanpa intervensi. Itu bukan membuang---itu membebaskan.
Hun Flocky
Di bawah honai, tempat logika bersandar pada makna
2. Benda sebagai Jejak
2.1 Kayu sebagai Jejak, Jembatan sebagai Ruang Perlintasan
Di lembah kami, kayu tidak disebut sebagai benda---ia disebut sebagai jejak. Sebab ia menyimpan waktu, menyerap langkah, dan menjadi saksi diam dari banyak peristiwa. Ia lahir dari pohon yang tumbuh bersama hujan dan matahari, lalu ditebang dengan ritual, bukan sembarang tindakan. Kayu bukan hanya hasil alam, tetapi perjanjian antara manusia dan tanah.
Ketika kayu digunakan sebagai jembatan, ia bukan sekadar penopang tubuh manusia yang lewat, melainkan penopang cerita, beban pikiran, dan jejak kehidupan. Setiap kaki yang melintas membawa masalah, keputusan, kenangan, dan kadang pertikaian. Maka jembatan adalah ruang lintasan bukan hanya fisik, tapi juga batin.