Dalam filsafat benda, Bruno Latour dan Martin Heidegger menekankan bahwa benda memiliki identitas berdasarkan relasinya dengan manusia dan fungsi yang dijalani. Kayu yang pernah menjadi jembatan telah mengalami "perubahan ontologis": dari bahan menjadi simbol. Larangan adat memperlihatkan bahwa masyarakat Hubula mengakui benda sebagai pembawa memori kolektif, bukan sekadar objek. Dengan membiarkannya membusuk di tempatnya, komunitas memberi ruang bagi benda untuk menyelesaikan siklus hidupnya secara terhormat, menunjukkan etika terhadap benda.
Dalam kajian ruang menurut Yi-Fu Tuan, ruang bukan hanya fisik, tapi juga tempat berlangsungnya pengalaman dan nilai. Masyarakat Hubula memisahkan ruang jembatan (terbuka, dilintasi banyak cerita, konflik) dengan ruang kampung (teratur, sakral, tempat menyembuhkan dan menjaga harmoni). Maka larangan membawa benda dari luar ke dalam merupakan bentuk pertahanan fenomenologis terhadap ruang batin dan keseimbangan sosial.
Menurut Emile Durkheim, masyarakat mempertahankan solidaritas dengan menciptakan aturan kolektif yang memberi arah bagi perilaku dan perasaan. Larangan terhadap kayu bekas jembatan adalah etika relasional yang menjaga ruang hidup agar tidak tercemar energi sosial dari luar, serta simbol ketertiban komunitas yang menegaskan bahwa tidak semua yang ada di luar pantas dibawa ke dalam. Ini menunjukkan bahwa benda bukan hanya milik individu, tetapi bagian dari struktur nilai kolektif yang menata interaksi antar manusia dan alam.
Sebagai kesimpulan akademik, larangan menggunakan kayu bekas jembatan dalam masyarakat Hubula merupakan praktik budaya yang mencerminkan nalar lokal berbasis etika ruang, relasi benda, dan perlindungan batin kolektif. Ia mengandung dimensi simbolik, ontologis, sosiologis, dan fenomenologis. Dari perspektif akademik, larangan tersebut bukan sekadar kepercayaan tradisional, tetapi wujud dari rasionalitas simbolik dan ekologis yang berakar pada kesadaran ruang dan keberadaan manusia bersama alam.
3.2 Menjaga Kesucian Ruang Dalam dari Kisah Ruang Luar
Ruang kampung adalah ruang bernapas. Ia bukan sekadar tempat tinggal, tetapi tempat menata ulang pikiran, menyusun kembali hati, dan membungkus luka agar tidak terbawa angin luar. Karena itu, kami menjaga ruang dalam kami seperti kami menjaga tubuh: dengan batas, dengan etika, dan dengan waspada.
Ketika kami dilarang membawa kayu bekas jembatan ke dalam kampung, bukan karena kami membenci benda itu. Sebaliknya, karena kami tahu bahwa ia telah menjalani peran sebagai penjaga lintasan, sebagai alas bagi berbagai niat dan langkah manusia. Ia telah menjadi ruang lintasan cerita-cerita luar, yang kadang tidak ramah bagi jiwa kampung yang tenang.
Ruang luar adalah tempat gesekan. Tempat cerita bertabrakan dan niat berpacu. Jembatan adalah bagian dari itu. Maka benda yang telah berfungsi di sana membawa muatan yang tak bisa selalu disaring. Ketika benda seperti itu masuk ke dalam ruang dalam, kami percaya bahwa ia bisa mengganggu keseimbangan batin yang kami jaga.
Di kampung, kami duduk untuk mendengar dan berbicara sesuai urutan. Di honai, setiap posisi punya makna. Dan di sana, tidak semua masalah boleh dibahas. Apalagi masalah yang berasal dari luar ruang hidup kami. Maka kayu bekas jembatan menjadi simbol dari hal-hal yang sudah melintasi terlalu banyak, terlalu asing, terlalu bising.
Kami menjaga kesucian bukan karena kami ingin aman. Kami menjaga karena kami tahu bahwa ruang dalam adalah tempat pemulihan, bukan tempat lalu lintas. Maka benda yang telah dipakai sebagai jembatan tidak boleh melintasi batas terakhir itu: pintu kampung.
Kami menghormati jejak, tapi kami juga menjaga arah.