Hun Flocky
Dari honai yang menyimpan hening sebagai bentuk keberanian
Kajian Akademis: Batas Ruang dan Larangan Kultural
Dalam antropologi simbolik, larangan membawa kayu bekas jembatan ke ruang kampung bisa dipahami sebagai mekanisme menjaga batas (boundary) antara ruang profan dan sakral. Menurut Mary Douglas, masyarakat menetapkan larangan bukan karena material benda, melainkan karena benda tersebut telah melintasi batas simbolik. Jembatan dianggap sebagai zona liminal---tempat lalu lintas niat, konflik, dan transisi sosial. Kayu yang pernah menopang tubuh dan niat orang lain menyerap muatan sosial yang dapat mengganggu kesucian ruang kampung. Dengan demikian, larangan ini adalah ekspresi pemurnian ruang untuk menjaga keseimbangan spiritual dan sosial komunitas.
Menurut Edward Casey, ruang bukan semata lokasi fisik, melainkan wadah pengalaman dan makna. Dalam masyarakat Hubula, kampung dan honai memiliki nilai fenomenologis sebagai tempat merawat hubungan dan batin, sedangkan jembatan adalah ruang transit dan percampuran cerita. Maka menjaga agar benda dari ruang transit tidak masuk ke ruang pemulihan merupakan bentuk kesadaran ruang hidup yang kompleks dan bermakna.
Larangan ini mencerminkan etika lokal tentang mendengar, membatasi, dan merawat ruang komunikasi. Dalam filsafat etika, tindakan menjaga kesucian ruang bukan hanya soal larangan, tapi soal memilih apa yang pantas hadir dalam tempat pemulihan. Kayu bekas jembatan menyimpan suara-suara yang belum selesai, dan kehadirannya di ruang honai dianggap bisa mengganggu struktur bicara yang tertata dan bermakna. Etika Hubula mengutamakan diam yang terstruktur, bukan kebisingan yang bebas. Sejalan dengan gagasan Levinas, kampung menjadi "ruang etis" yang mesti dijaga dari invasi makna yang tidak dikenal.
Menurut Peter Berger dan Thomas Luckmann, realitas sosial dibentuk melalui konstruksi sosial. Larangan adat ini merupakan bentuk kontrol sosial terhadap masuknya pengalaman eksternal ke dalam ruang komunal. Jembatan berada di ruang publik yang terbuka pada siapa saja, sementara kampung adalah ruang dalam yang mengutamakan relasi, pemulihan, dan keberimbangan. Membawa benda dari luar ke dalam tanpa saringan dapat mengganggu struktur sosial dan makna internal komunitas.
Dari perspektif akademik, praktik masyarakat Hubula dalam melarang kayu bekas jembatan masuk ke kampung bukan sekadar aturan adat, tetapi ekspresi mendalam dari kesadaran ruang dan batas, etika komunikasi yang terstruktur, fenomenologi benda dan makna, serta sistem nilai yang menjaga keharmonisan sosial dan spiritual. Ini bukan praktik mistis, melainkan bentuk rasionalitas kultural yang menghormati ruang hidup, benda bermakna, dan hubungan manusia dengan narasi yang ia ciptakan.
4. Wene Kolig: Bara yang Diwariskan
4.1 Wene Kolig: Bara Pengetahuan yang Diwariskan
Di masyarakat kami, ilmu tidak ditulis, ia diwariskan. Bukan lewat buku atau sekolah, tapi lewat bara. Kami menyebutnya Wene Kolig ---bara pengetahuan yang ditanamkan dalam tubuh seseorang lewat pengakuan leluhur dan kesepakatan komunitas. Ia tidak bisa diminta, apalagi direbut. Ia datang kepada mereka yang dipilih bukan karena pintar, tetapi karena pantas.
Wene Kolig tidak diteruskan begitu saja. Ia diberikan saat seseorang telah menunjukkan bahwa ia mampu menjaga diam, mengenali arah, dan memahami makna tanpa tergesa-gesa. Pengetahuan dalam tradisi kami tidak hidup di kepala, tapi di langkah. Maka orang yang berhak atas Wene Kolig bukan orang yang bicara paling banyak, melainkan orang yang bisa membawa pengetahuan tanpa mengganggu keseimbangan hidup orang lain.