Refleksi atas Peran Figur Digital dalam Krisis Sosial dan Demokrasi Indonesia
"Influencers pls take responsibilities." Â
Seruan ini bukan sekadar caption viral. Ia adalah jeritan nurani dari masyarakat yang merasa dikhianati oleh figur-figur yang dulu mereka percaya.
Dalam dua hari terakhir, Indonesia diguncang oleh kerusuhan yang menyisakan luka sosial, kematian warga sipil, dan krisis kepercayaan terhadap institusi.Â
Di tengah kekacauan itu, beredar sebuah gambar yang menyebar cepat: daftar nama influencer yang diminta bertanggung jawab atas "kerusakan negara."Â
Gambar itu bukan hanya provokatif, ia adalah cermin dari kegelisahan publik terhadap peran figur digital dalam politik dan nasib bangsa.
Dari Citra ke Kuasa: Influencer sebagai Aktor Politik
Di era algoritma, pengaruh tidak lagi berasal dari gagasan, melainkan dari citra. Influencer, yang dulunya hanya mempromosikan gaya hidup, kini menjadi penentu arah politik.Â
Mereka tidak dipilih rakyat, tidak diuji oleh debat publik, dan tidak diminta pertanggungjawaban oleh konstitusi. Namun mereka memiliki jutaan pengikut, membentuk opini, dan mengarahkan pilihan politik generasi muda.
Demokrasi Indonesia kini tidak hanya dibentuk oleh partai dan lembaga, tapi juga oleh konten TikTok, Instagram Story, dan endorsement berbayar.
Lebih dari 55% pemilih Indonesia adalah Gen Z dan milenial. Mereka tidak membaca koran, tidak menonton debat politik, dan tidak mengenal rekam jejak kandidat. Mereka mengenal Atta, Rachel, Raffi, dan Ria Ricis.Â
Mereka memilih berdasarkan citra, bukan gagasan. Dalam lanskap ini, influencer bukan lagi pemengaruh gaya hidup, mereka adalah pemengaruh arah demokrasi.