KEKACAUAN DI KOTAPRAJA LOURAM
Oleh : Wahyudi Nugroho
Upaya prajurit Louram menangkap buron masih terus berlanjut. Â Namun hingga waktu telah lewat sepekan belum juga ada hasilnya. Seperti jarum yang jatuh ditumpukan jerami, buron itu seperti lenyap ditelan kegelapan. Â Senopati Mahesa Dungkul kehilangan kesabaran menunggu hasil kerja bawahannya. Â Saban malam ia sendiri turun tangan berkeliling negeri. Â Dikawal lima gadis cantik yang menjadi andalannya.
Namun usahanyapun nihil tak membawa hasil. Â Karena geram bawahannya sering menjadi sasaran amarahnya. Â Kesalahan sedikit saja yang dilakukan bawahannya, senopati Mahesa Dungkul tak segan membentak-bentak, bahkan sering juga memaki-maki dengan kata-kata kasar yang memanaskan telinga. Â Tak ada yang berani memandang muka sang senopati saat ia tengah dicengkeram suasana hati semacam itu, semua diam dan menunduk. Â Para bawahan sudah tahu watak senopatinya. Membalas ucapannya sekedar untuk membela diri hanya akan mengobarkan amarahnya saja. Â Seperti menyiram bara dengan minyak. Â Mereka tak ingin tangan perkasa itu menampar muka mereka.
Suatu malam ketika Naga Wulung dan Sekar Arum melihat-lihat suasana Kotapraja,  secara kebetulan mereka melihat sang senopati keluar dari pintu regol halaman rumahnya.  Enam ekor kuda  berderap dengan cepatnya menuju ke arah utara.  Tentu ia melanjutkan usahanya untuk segera bisa menangkap Naga Wulung dan Sekar Arum.  Dua pendekar itu bergegas menyelinap dibalik sebuah pohon untuk menyembunyikan diri.
"Belum juga ia bosan untuk terus memburu kita. Â Sungguh ia senopati yang memiliki keuletan tinggi. Â Tak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai. " Â Bisik Naga Wulung. Â "Kakang telah mengusik keamanan negeri yang menjadi tanggung jawabnya. Â Tentu ia marah sekali." Â Jawab Sekar Arum.
"Kemarahan itulah yang harus tetap kita pelihara. Â Jika perlu kita ungkit terus sampai ke puncak. Â Baru kita pancing untuk memburu Demalung di hutan Bonggan saat purnama naik, agar pertemuan para resi yang digagas Maharesi Govinda tidak terganggu oleh para prajurit." Â Kata Naga Wulung.
"Sekarang apa yang mesti kita lakukan ?" Â Tanya Sekar Arum. Â "Kita bergerak ke selatan. Â Bikin perapian di halaman barak prajurit di sisi selatan sana." Â Jawab Naga Wulung. Â "Malam yang dingin tentu mengasikkan jika kita menghangatkan diri didekat perapian yang besar." Lanjutnya sambil tersenyum. Â Sekar Arum mengangguk-anggukkan kepala, seolah telah paham akan maksud Naga Wulung.
Saat senopati Mahesa Dungkul bersama rombongan berkudanya terus bergerak ke utara, dua pendekar itu bergegas melangkahkan kaki mereka menuju wilayah selatan negeri Louram. Â Dengan ilmu peringan tubuh yang telah sempurna keduanya berlari seperti sepasang kijang. Â Dengan ringannya mereka melenting tinggi melompati rerungkutan perdu yang melintang di depan mereka, kadang pula membungkukkan badan menyusup dibawah cabang-cabang pohon yang berjajar rapat di tengah hutan lindung yang sengaja di pelihara di tengah wilayah kotapraja. Â Tak lebih sepenginang lamanya mereka sampai dikomplek bangunan barak prajurit di sisi selatan.
Sejenak mereka berhenti di bawah pohon yang rindang. Â Nafas mereka sedikit memburu dan keringat seperti terperas memhasahi badan. Â Di bawah bintang gemintang yang berkeredip di langit sebentar kemudian mereka mengendap-endap mendekati barak prajurit yang telah kelihatan sepi. Â Hanya nampak gardu penjagaan yang masih ada kesibukan. Â Beberapa obor yang menerangi gardu itu membuka peluang bagi dua pendekar itu untuk mengamati mereka dari kejauhan.
Angin kemarau yang semilir dari selatan berpadu dengan angin pegunungan yang merambat ke laut yang terletak jauh di utara. Â Arah angin ini memberi petunjuk bagi Naga Wulung dari mana ia akan memulai pekerjaannya. Â Barak-barak prajurit itu dibangun berjajar menghadap matahari terbit, beratap ilalang dengan kerangka bangunan dari bambu. Â Tanpa mempertimbangkan kemana arah angin bertiup saat siang dan malam, dan merambat di musim kemarau dan penghujan. Â Kesalahan kecil ini bisa dimanfaatkan untuk mempercepat pemusnahan barak-barak prajurit itu.
"Kita terobos hutan perdu itu. Â Kita awali perapian dari selatan." Â Kata Naga Wulung. Â "Kenapa cari titik yang jauh ? Â Bukankah lebih dekat barak yang ada diujung utara ?" Â Tanya Sekar Arum. Â "Perhatikan arah angin, kemana ia mengalir ?" Â Jawab Naga Wulung. Â "Oh ya,.....Malam hari angin merambat dari gunung menuju laut. Â Baiklah kita jalan merunduk lewat perdu-perdu itu." Â Akhirnya Sekar Arum sepakat.
Dengan hati-hati keduanya berjalan merunduk ke arah selatan barak. Â Tak berapa lama mereka sampai di tempat yang mereka tuju. Â Sekar Arum mendekati sebuah batu besar dan duduk dengan tenang di sana. Â Matanya yang tajam mengamati Naga Wulung dari kejauhan, nampak pemuda itu telah mengurai cambuknya yang melilit di pinggang. Â Â
Baru sekali Sekar Arum melihat langsung kedahsyatan ilmu tapak Naga Geni milik Ki Ardi yang diwariskan kepada Naga Wulung. Â Saat mereka berkuda berdampingan di depan regol kotapraja. Â Naga Wulung saat itu mengurai cambutknya, memutarnya sesaat di atas kepala, dan tiba-tiba sebuah cahaya putih kebiruan meluncur dari ujung cambuknya. Â Cahaya itu menghantam kaki panggungan dan daun pintu gerbang. Â Alangkah dahsyat ilmu itu, daun pintu yang tebal terbuat dari papan kayu jati bisa hancur berantakkan sekali pukul. Â
Kini ia saksikan lagi peristiwa seperti itu. Â Naga Wulung telah memutar cambuknya di atas kepala, kemudian menyentakkan ujung cambuk itu ke arah barak yang berdiri beberapa ratus depa di depannya. Â Saat cahaya itu meluncur dan menghantam atap barak, "Blar blar" terjadilah ledakan beruntun yang memekakkan telinga. Â Atap dari ilalang itupun mendadak menyala berkobar-kobar. Â Cepat-cepat Naga Wulung dan Sekar Arum lari sambil merunduk-runduk menjauhi titik api itu.
Ketika menemukan sebuah pohon yang tinggi berdaun rindang keduanya segera melompat naik dari cabang kecabang. Â Sebentar kemudian mereka bertenger di atas sebuah cabang sambil menonton kobaran api yang membakar arap barak prajurit Louram. Â Betapa besar api itu berkobar. Â Lidah apinya bergerak-gerak tertiup angin seperti lidah raksasa yang menjilat-jilat langit. Â Dalam waktu singkat api menjalar ke barak-barak didekatnya.
Seperti semut yang sarangnya terbakar para prajurit berhamburan keluar.  Mereka nampak panik dan kebingungan bagaimana caranya memadamkan api.  Berbagai  upaya dilakukan agar api tidak menjalar terus hingga semua barak ludas terbakar.  Namun kecepatan rambatan api itu tak mampu mereka kendalikan. Â
Sebentar kemudian suara titir bergema memecah sepi  malam.  Suaranya yang meraung=raumg memantul dan bergema dari lereng gunung Kendeng itu.  Membangunkan seluruh isi negeri yang sedang nyenyak tidur.  Naga Wulung dan Sekar Arum menyaksikan semuanya dari atas sebuah pohon.
"Ini baru peringatan bagi kalian  prajurit Louram.  Atas semua yang telah kau lakukan terhadap Medang Kamulan.  Kami akan datang untuk menghukum atas kesalahan yang pernah kalian lakukan."  Kata Naga Wulung lirih.  Sekar Arum diam saja tak memberi reaksi, hanya matanya saja yang terus mengawasi kesibukan para prajurit Louram mengendalikan apo.
Tiba-tiba telinga mereka menangkap derap kaki-kaki kuda yang menaiki gunung kapur itu. Â Pasti itu kuda-kuda rombongan senopati Mahesa Dungkul. Â Mereka tentu telah melihat nyala api dari kejauhan. Â Sebentar kemudian rombongan orang-orang berkuda itu telah nampak memasuki halaman barak-barak prajurit. Â Mereka dengan sigapnya menarik kendali kuda dan melompat dari punggungnya. Â
"Syetan !!! Demit Thethekan !!! Â Jika ketemu akan aku kuliti mereka dengan wadungku. " Â Umpat Mahesa Dungkul. Â Melihat senopatinya datang para pimpinan prajurit itu bergegas menghadap. Â Tanpa diminta mereka memberi laporan atas peristiwa yangg telah terjadi.
"Tidakkah para penjaga tahu seseorang masuk halaman barak ini ?" Â Tanya Mahesa Dungkul. Â "Tidak tuan. Â Mereka hanya melaporkan mendengarkan sebuah ledakan dua kali berturut. Â Saat mereka turun dari gardu penjagaan terlihat api telah berkobar diatas atap barak paling selatan." Â Jawab seorang pemimpin barak. Â "Tentu mereka telah perhitungkan, kenapa mulai dari barak diujung selatan itu. Â Heemmm " Â Geram Mahesa Dungkul.
Melihat senopati Mahesa Dungkul telah hadir di halaman barak prajurit di sisi selatan kotapraja itu, Naga Wulung dan Sekar Arum bergegas turun dari atas pohon. Â Mereka menyusup di sela-sela pohon-pohon perdu menuju ke utara. Â Keduanya merasa belum puas mempermainkan senopati andalan yang menjadi panglima perang negeri Louram.
Bunyi titir dan berita terbakarnya barak prajurit Louram telah menyebar ke seluruh warga kotapraja. Â Banyak anggota penduduk kotapraja itu yang keluar rumah melihat dari jauh kobaran api dari sisi selatan. Â Dengan bebasnya Naga Wulung dan Sekar Arum berjalan di antara penduduk menyaksikan peristiwa musibah itu. Â Keduanya melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah megah dekat istana kerajaan Louram.
Keduanya sudah tahu dari cantrik-cantrik Gayamsari bahwa rumah itu milik Mahapatih Trenggiling Wesi. Â Pejabat utama di bawah raja di negeri itu. Â Halaman rumah itu sangat luas, aneka pohon buah-buahan tertanam di sana. Â Rumahnya megah dan besar. dinding dan tiangnya terbuat dari kayu jati, demikian juga sirap kayu yang menjadi atapnya. Â Rumah megah itu dikelilingi pagar hidup berupa tanaman yang rapi berjajar terjepit belahan bambu.
Mahapatih Trenggiling Wesi nampak sebentar ikut menyaksikan terbakarnya barak prajurit bersama-sama seluruh penghuni dalem kepatihan. Â Namun sebentar kemudian lelaki yang sudah cukup tua itu segera keluar rumahnya mengendarai seekor kuda menuju istana raja Louram. Â Beberapa prajurit pengawal ikut berkuda bersamanya.
Naga Wulung dan Sekar Arum menyaksikan sebuah rombongan orang-orang berkuda dari halaman rumah kepatihan.  Segera keduanya menyusup diam-diam menuju belakang rumah itu.  Hampir semua orang yang menghuni rumah kepatihan itu keluar  dan berkumpul di halaman.  Dengan leluasa Naga Wuilung dan Sekar Arum masuk halaman belakang.
Sekali lagi Sekar Arum menyaksikan kedashyatan ilmu tapak Naga api milik Naga Wulung. Â Pemuda itu kini tengah memutar kembali cambuknya di atas kepala, Â dan saat disentakan dua kali ujungnya ke arah atap istana kepatihan seleret cahaya putih kebiruan meloncat dan terbang menyambar atap sirap kayu jati. Â "Blar blar" Â seperti suara petir yang meledak memekakkan telinga, mengangetkan seluruh orang yang tengah berdiri di halaman.
Sebentar saja api menyala dan berkobar di atas rumah itu. Â Sirap kayu jati yang telah kering kerontang bertahun-tahun terpanggang matahari itu kini terbakar dengan dahsyatnya. Â Seluruh penghuni rumah itupun panik dan berteriak-teriak sambil lari kesana kemari mencari berbagai alat agar dapat memadamkan api. Â Namun atap itu sangatlah tinggi. tak tergapai oleh tangan mereka. Â
Naga Wulung dan Sekar Arum tak ingin diketahui oleh siapapun bahwa merekalah penyebab kebakaran hebat itu. Â Keduanya segera lari menerobos pagar rumah kepatihan tempat keduanya tadi menerobos masuk. Â Sebelum rumah itu didatangi para prajurit yang hendak membantu memadamkan api keduanyapun segera pergi dari sana.
Penduduk Kotapraja Louram panik, merekapun berlarian menuju istana kepatihan. Â Setelah sampai di halaman rumah mewah itu merekapun hanya bisa menonton. Â Para prajurit pengawal kepatihan saja bingung bagaimana caranya memadamkan api. Â Bangunan rumah itu tinggi sekali, Â atapnya tak terjangkau oleh peralatan yang tersedia untuk menggapai. Â Maka apipun tak terkendali lagi.
Mahapatih Trenggiling Wesi terkejut ketika hendak masuk istana.  Ia melihat asap hitam bergulung-gulung ke langit, disusul lidah api yang menyala-nyala dari arah rumah pribadinya.  Sejenak kemudian keluarga raja  keluar dari  istana, demikian pula Baainda Raja Wura-wari.  Beliau juga ikut menyaksikan  api berkobar-kobar dari arah istana kepatihan.
"Paman Trenggiling Wesi. Â Kenapa bisa terjadi peristiwa itu ? Â Bukankah api itu berkobar di istana kepatihan ? " Â Tanya Baginda. "Benar baginda. Â Namun ketika kami berangkat hendak melaporkan bahwa barak prajurit di sisi selatan terbakar, kami tidak tahu jika istana kepatihan juga jadi sasaran pemusnahan." Â Jawabnya. Â "Barak prajurit terbakar ? Â Pasti ini bukan kebetulan. Â Adakah paman sudah mendapat laporan dari senopati Mahesa Dungkul ?" Â Tanya baginda.
"Belum baginda. Â kami juga menunggu laporan dari beliau. " Â Jawab Ki Patih. Â "Perintahkan kepada pengawal kepatihan, saya memanggil Mahesa Dungkul malam ini juga." Â Kata baginda. Â "Baik baginda. Â Akan kami perintahkan seorang pengawal menghubungi beliau."
Mahapatih melambaikan tangan memanggil salah seorang pengawalnya. Â Ketika pengawal itu sudah dekat segera ia sampaikan perintah baginda Wura-wari. Â Pengawal itu berbalik dan bergegas menaiki kudanya untuk mencari senopati Mahesa Dungkul. Â Seekor kuda dengan cepat melesat dari halaman istana kerajaan Wura-wari menuju rumah senopati Mahesa Dungkul.
Sementara itu Nagawulung dan Sekararum telah keluar dari persembunyiannya. Â Keduanya berjalan menuju barat. Â Ketika sudah dekat dengan pintu gerbang kotapraja di sisi barat segera ia kenakan topeng babi hutan milik Demalung. Â Sengaja keduanya memperlihatkan diri secara terbuka kepada para pengawal penjaga gerbang. Â
"Berhenti !!!  Kalian siapa dan mau kemana ?"  Tanya seorang penjaga kepada keduanya ketika jarak mereka masih agak jauh.  Naga Wulung diam saja, ia tetap melangkahkan kaki mendekat.  "Berhenti.  Jika kalian melangkah lagi sebuah anak panah akan menembus dada kalian. "  Teriak penjaga itu lagi.  Namun  Naga Wulung tak menggubrisnya.  Tangannya telah memegang cambuk Nagageninya, demikian pula Sekar Arum telah menggenggam pedang rangkapnya.
Sebuah anak panah meluncur  dan jatuh menamcap tanah sejengkal di depannya.  Namun Naga Wulung tetap terus melangkah. Akhirnya seperti hujan anak-anak panah menyerangnya.  Namun dengan sigapnya kedua pendekar itu menepis jatuh anak-anak panah yang meluncur ke arahnya.  Anak-anak panah itu baru berhenti ketika salah seorang prajurit pengawal itu berteriak keras "Seranggg". Enam prajurit dengan pedang terhunus meloncat dan menyerang Naga Wulung dan Sekar Arum.
Maka terjadilah pertempuran yang sengit di depan pintu gerbang kotapraja sebelah barat itu. Â Para pemanah yang tadi berdiri di panggungan juga ikut turun dan bergabung dengan prajurit lainnya. Â Bergantian mereka menyerang Naga Wulung dan Sekar Arum. Â Dua pendekat itu meladeni mereka dengan gerakan-gerakan yang lincah dan gesit. Â Keduanya melompat-lompat tinggi mendekati pintu gerbang yang diterangi beberapa obor yang menyala terang.
"Bukankah kamu Demalung ? Â " Tanya seorang prajurit yang barangkali pemimpin pengawal penjaga gerbang. "Benar. Â Kalian kenal aku ?" Â Jawab Naga Wulung. Â "Tentu. Â Kau perampok di hutan Bonggan. Â Kenapa kau datang kemari ? Â Apakah sudah bosan hidup, mengganggu kotapraja ?" Â Tanya prajurit itu.
"Kalian tak akan mampu menangkapku. Â Ketahuilah, barak prajurit dan istana kepatihan telah aku bakar. Â Senopati Mahesa Dungkulpun tak akan mampu menangkapku." Â Jawab Naga Wulung. Â "Jangan jumawa. Â Disini kau akan mati terkapar di tanah. Â Menyerahlah !!!" Â
"Menyerah !!! Pantang bagi Demalung untuk menyerah. Â Sebelum istana raja Wura-wari terbakar habis." Â Jawab Naga Wulung. Â "Aku pesan kepada kalian. sampaikan kepada senopati Mahesa Dungkul. Â Aku tunggu di bawah pohon beringin dekat goa Terawang di hutan Bonggan. Â Aku tantang dia perang tanding besuk purnama naik bulan ini." Â Lanjutnya.
"Kau akan mampus di sini." Â Jawab prajurit itu.
Namun bagaimanapun usaha delapan prajurit itu untuk menangkap Naga Wulung dan Sekar Arum ternyata sia-sia saja. Â Dua pendekat itu mampu menghindar dan menangkis semua serangan yang datang dari para prajurit. Â Dengan sebuah lompatan yang tinggi dan jauh keduanya lepas dari kepungan para prajurit, dan lari dengan cepatnya keluar pintu gerbang kotapraja sebelah barat.
"Jangan lupa kau sampaikan tantanganku kepada Mahesa Dungkul. Â Purnama naik di bawah pohon beringin di dekat goa Terawang." Â Teriak Naga Wulung dari kegelapan. Â Delapan prajurit itu berhenti mengejar, ketika buruannya menyelinap masuk hutan perdu di barat pintu gerbang.
"Aku akan melapor kepada senopati. Â Kalian tetap berjaga di sini." Â Kata pimpinan prajurit itu. Â Selanjutnya ia segera berlari ke arah kudanya yang ditambatkan dan tergesa-gesa melompat ke punggungnya. Â Sejenak kemudian seekor kuda dengan cepatnya berderap menuju pusat kotapraja.
Lereng Kelud, 1 Juli 2025.
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI