Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 71. Kekacauan Di Kotapraja Louram

1 Juli 2025   13:17 Diperbarui: 1 Juli 2025   13:17 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejenak mereka berhenti di bawah pohon yang rindang.  Nafas mereka sedikit memburu dan keringat seperti terperas memhasahi badan.  Di bawah bintang gemintang yang berkeredip di langit sebentar kemudian mereka mengendap-endap mendekati barak prajurit yang telah kelihatan sepi.  Hanya nampak gardu penjagaan yang masih ada kesibukan.  Beberapa obor yang menerangi gardu itu membuka peluang bagi dua pendekar itu untuk mengamati mereka dari kejauhan.

Angin kemarau yang semilir dari selatan berpadu dengan angin pegunungan yang merambat ke laut yang terletak jauh di utara.  Arah angin ini memberi petunjuk bagi Naga Wulung dari mana ia akan memulai pekerjaannya.  Barak-barak prajurit itu dibangun berjajar menghadap matahari terbit, beratap ilalang dengan kerangka bangunan dari bambu.  Tanpa mempertimbangkan kemana arah angin bertiup saat siang dan malam, dan merambat di musim kemarau dan penghujan.  Kesalahan kecil ini bisa dimanfaatkan untuk mempercepat pemusnahan barak-barak prajurit itu.

"Kita terobos hutan perdu itu.  Kita awali perapian dari selatan."  Kata Naga Wulung.   "Kenapa cari titik yang jauh ?  Bukankah lebih dekat barak yang ada diujung utara ?"  Tanya Sekar Arum.  "Perhatikan arah angin, kemana ia mengalir ?"  Jawab Naga Wulung.  "Oh ya,.....Malam hari angin merambat dari gunung menuju laut.   Baiklah kita jalan merunduk lewat perdu-perdu itu."   Akhirnya Sekar Arum sepakat.

Dengan hati-hati keduanya berjalan merunduk ke arah selatan barak.  Tak berapa lama mereka sampai di tempat yang mereka tuju.  Sekar Arum mendekati sebuah batu besar dan duduk dengan tenang di sana.  Matanya yang tajam mengamati Naga Wulung dari kejauhan, nampak pemuda itu telah mengurai cambuknya yang melilit di pinggang.   

Baru sekali Sekar Arum melihat langsung kedahsyatan ilmu tapak Naga Geni milik Ki Ardi yang diwariskan kepada Naga Wulung.  Saat mereka berkuda berdampingan di depan regol kotapraja.  Naga Wulung saat itu mengurai cambutknya, memutarnya sesaat di atas kepala, dan tiba-tiba sebuah cahaya putih kebiruan meluncur dari ujung cambuknya.  Cahaya itu menghantam kaki panggungan dan daun pintu gerbang.   Alangkah dahsyat ilmu itu, daun pintu yang tebal terbuat dari papan kayu jati bisa hancur berantakkan sekali pukul.  

Kini ia saksikan lagi peristiwa seperti itu.  Naga Wulung telah memutar cambuknya di atas kepala, kemudian menyentakkan ujung cambuk itu ke arah barak yang berdiri beberapa ratus depa di depannya.  Saat cahaya itu meluncur dan menghantam atap barak, "Blar blar" terjadilah ledakan beruntun yang memekakkan telinga.  Atap dari ilalang itupun mendadak menyala berkobar-kobar.  Cepat-cepat Naga Wulung dan Sekar Arum lari sambil merunduk-runduk menjauhi titik api itu.

Ketika menemukan sebuah pohon yang tinggi berdaun rindang keduanya segera melompat naik dari cabang kecabang.  Sebentar kemudian mereka bertenger di atas sebuah cabang sambil menonton kobaran api yang membakar arap barak prajurit Louram.  Betapa besar api itu berkobar.  Lidah apinya bergerak-gerak tertiup angin seperti lidah raksasa yang menjilat-jilat langit.  Dalam waktu singkat api menjalar ke barak-barak didekatnya.

Seperti semut yang sarangnya terbakar para prajurit berhamburan keluar.   Mereka nampak panik dan kebingungan bagaimana caranya memadamkan api.   Berbagai  upaya dilakukan agar api tidak menjalar terus hingga semua barak ludas terbakar.  Namun kecepatan rambatan api itu tak mampu mereka kendalikan.  

Sebentar kemudian suara titir bergema memecah sepi  malam.  Suaranya yang meraung=raumg memantul dan bergema dari lereng gunung Kendeng itu.  Membangunkan seluruh isi negeri yang sedang nyenyak tidur.  Naga Wulung dan Sekar Arum menyaksikan semuanya dari atas sebuah pohon.

"Ini baru peringatan bagi kalian  prajurit Louram.  Atas semua yang telah kau lakukan terhadap Medang Kamulan.  Kami akan datang untuk menghukum atas kesalahan yang pernah kalian lakukan."  Kata Naga Wulung lirih.  Sekar Arum diam saja tak memberi reaksi, hanya matanya saja yang terus mengawasi kesibukan para prajurit Louram mengendalikan apo.

Tiba-tiba telinga mereka menangkap derap kaki-kaki kuda yang menaiki gunung kapur itu.  Pasti itu kuda-kuda rombongan senopati Mahesa Dungkul.   Mereka tentu telah melihat nyala api dari kejauhan.  Sebentar kemudian rombongan orang-orang berkuda itu telah nampak memasuki halaman barak-barak prajurit.  Mereka dengan sigapnya menarik kendali kuda dan melompat dari punggungnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun