"Syetan !!! Demit Thethekan !!! Â Jika ketemu akan aku kuliti mereka dengan wadungku. " Â Umpat Mahesa Dungkul. Â Melihat senopatinya datang para pimpinan prajurit itu bergegas menghadap. Â Tanpa diminta mereka memberi laporan atas peristiwa yangg telah terjadi.
"Tidakkah para penjaga tahu seseorang masuk halaman barak ini ?" Â Tanya Mahesa Dungkul. Â "Tidak tuan. Â Mereka hanya melaporkan mendengarkan sebuah ledakan dua kali berturut. Â Saat mereka turun dari gardu penjagaan terlihat api telah berkobar diatas atap barak paling selatan." Â Jawab seorang pemimpin barak. Â "Tentu mereka telah perhitungkan, kenapa mulai dari barak diujung selatan itu. Â Heemmm " Â Geram Mahesa Dungkul.
Melihat senopati Mahesa Dungkul telah hadir di halaman barak prajurit di sisi selatan kotapraja itu, Naga Wulung dan Sekar Arum bergegas turun dari atas pohon. Â Mereka menyusup di sela-sela pohon-pohon perdu menuju ke utara. Â Keduanya merasa belum puas mempermainkan senopati andalan yang menjadi panglima perang negeri Louram.
Bunyi titir dan berita terbakarnya barak prajurit Louram telah menyebar ke seluruh warga kotapraja. Â Banyak anggota penduduk kotapraja itu yang keluar rumah melihat dari jauh kobaran api dari sisi selatan. Â Dengan bebasnya Naga Wulung dan Sekar Arum berjalan di antara penduduk menyaksikan peristiwa musibah itu. Â Keduanya melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah megah dekat istana kerajaan Louram.
Keduanya sudah tahu dari cantrik-cantrik Gayamsari bahwa rumah itu milik Mahapatih Trenggiling Wesi. Â Pejabat utama di bawah raja di negeri itu. Â Halaman rumah itu sangat luas, aneka pohon buah-buahan tertanam di sana. Â Rumahnya megah dan besar. dinding dan tiangnya terbuat dari kayu jati, demikian juga sirap kayu yang menjadi atapnya. Â Rumah megah itu dikelilingi pagar hidup berupa tanaman yang rapi berjajar terjepit belahan bambu.
Mahapatih Trenggiling Wesi nampak sebentar ikut menyaksikan terbakarnya barak prajurit bersama-sama seluruh penghuni dalem kepatihan. Â Namun sebentar kemudian lelaki yang sudah cukup tua itu segera keluar rumahnya mengendarai seekor kuda menuju istana raja Louram. Â Beberapa prajurit pengawal ikut berkuda bersamanya.
Naga Wulung dan Sekar Arum menyaksikan sebuah rombongan orang-orang berkuda dari halaman rumah kepatihan.  Segera keduanya menyusup diam-diam menuju belakang rumah itu.  Hampir semua orang yang menghuni rumah kepatihan itu keluar  dan berkumpul di halaman.  Dengan leluasa Naga Wuilung dan Sekar Arum masuk halaman belakang.
Sekali lagi Sekar Arum menyaksikan kedashyatan ilmu tapak Naga api milik Naga Wulung. Â Pemuda itu kini tengah memutar kembali cambuknya di atas kepala, Â dan saat disentakan dua kali ujungnya ke arah atap istana kepatihan seleret cahaya putih kebiruan meloncat dan terbang menyambar atap sirap kayu jati. Â "Blar blar" Â seperti suara petir yang meledak memekakkan telinga, mengangetkan seluruh orang yang tengah berdiri di halaman.
Sebentar saja api menyala dan berkobar di atas rumah itu. Â Sirap kayu jati yang telah kering kerontang bertahun-tahun terpanggang matahari itu kini terbakar dengan dahsyatnya. Â Seluruh penghuni rumah itupun panik dan berteriak-teriak sambil lari kesana kemari mencari berbagai alat agar dapat memadamkan api. Â Namun atap itu sangatlah tinggi. tak tergapai oleh tangan mereka. Â
Naga Wulung dan Sekar Arum tak ingin diketahui oleh siapapun bahwa merekalah penyebab kebakaran hebat itu. Â Keduanya segera lari menerobos pagar rumah kepatihan tempat keduanya tadi menerobos masuk. Â Sebelum rumah itu didatangi para prajurit yang hendak membantu memadamkan api keduanyapun segera pergi dari sana.
Penduduk Kotapraja Louram panik, merekapun berlarian menuju istana kepatihan. Â Setelah sampai di halaman rumah mewah itu merekapun hanya bisa menonton. Â Para prajurit pengawal kepatihan saja bingung bagaimana caranya memadamkan api. Â Bangunan rumah itu tinggi sekali, Â atapnya tak terjangkau oleh peralatan yang tersedia untuk menggapai. Â Maka apipun tak terkendali lagi.