Mohon tunggu...
MEDIA WACANA PERS ZUJ
MEDIA WACANA PERS ZUJ Mohon Tunggu... Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Syari'ah

Wacana Pers ZUJ PMII Rayon Syari'ah merupakan platform jurnalistik mahasiswa yang mengedepankan penyebaran informasi kritis, inspiratif, dan edukatif seputar dinamika kampus, sosial, dan keagamaan. Sebagai wadah bagi kader PMII Rayon Syari'ah, Wacana Pers hadir untuk memperkuat tradisi literasi serta mengawal gerakan intelektual yang berbasis pada nilai-nilai Islam dan kebangsaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi Yang Tak Pernah Pergi

7 Juli 2025   03:10 Diperbarui: 7 Juli 2025   03:10 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Galih Aji Nugroho

Malam itu hujan turun perlahan, seperti menahan tangis yang malu-malu. Aku duduk sendiri di sudut kamar, menyetel ulang daftar putar lama yang entah mengapa terasa begitu relevan malam ini. Dan di antara rintik hujan dan kenangan yang menggantung di udara, terdengarlah keningmu..." suara itu-"Izinkanlah ku kecup

Suara Ebiet G. Ade masuk begitu pelan namun tegas, seperti doa yang dibisikkan dalam gelap. Lagu "Elegi Esok Pagi" tak hanya menyapa telingaku-ia menyerbu ruang-ruang sunyi dalam diriku yang sudah lama tak disentuh.

Aku lupa kapan pertama kali mendengar lagu ini. Mungkin dari radio milik ayah yang berdebu, mungkin dari sebuah pesta perpisahan sekolah, atau mungkin dari hati yang pernah patah lalu mencoba merangkai harapan lagi. Tapi yang pasti, malam itu aku kembali jatuh ke dalamnya ke dalam elegi yang tak pernah benar-benar selesai.

Bagiku, "Elegi Esok Pagi" bukan sekadar lagu lawas dari tahun 1980 yang lahir dari album Camellia III. Ia adalah semacam pusaka emosional yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kini, lebih dari empat dekade kemudian, lagu itu dilahirkan kembali dalam versi 2025-dinyanyikan bersama oleh Ebiet, Adera, dan Segara. Sebuah kolaborasi ayah dan dua anak lelakinya, seolah ingin mengatakan bahwa cinta, kehilangan, dan harapan adalah warisan paling manusiawi yang bisa diturunkan.

Saat aku mendengarkan versi terbarunya, aku tidak hanya mendengar harmoni vokal atau aransemen musik yang lebih Aku mendengar suara lintas waktu. Suara seorang ayah yang menyanyikan kerinduan, suara anak yang memahami luka itu, dan suara masa depan yang mencoba memeluknya dengan cara baru.

Dalam lagu itu, ada satu bait yang tak pernah gagal membuatku diam-"Izinkanlah ku kecup keningmu. Di Indonesia, mencium kening bukan hal remeh. Ia bukan sekadar gestur kasih sayang, tapi semacam simbol penghormatan tertinggi. Sebuah perpisahan yang tak sempat menjadi salam.

Dan ketika lirik berikutnya menyusul-"esok pagi kau buka jendela, kan kau dapati seikat kembang merah"-aku serasa digiring menuju pagi yang belum tentu datang. Tapi tetap aku harapkan. Karena itulah kekuatan lagu ini: ia tak menawarkan kepastian, tapi menghadiahkan kemungkinan.

Lagu ini adalah refleksi kehilangan, tentu. Tapi lebih dari itu, ia adalah potret manusia yang tetap memilih untuk berharap. Dalam dunia yang sering mengecewakan, Ebiet seperti mengajak kita untuk tetap membuka jendela setiap pagi-siapa tahu di luar sana ada seikat kembang merah. Siapa tahu, sesuatu yang hilang semalam akan menjelma harapan hari ini.

Aku selalu percaya bahwa musik yang baik adalah musik yang tidak hanya terdengar, tapi juga terasa. Dan "Elegi Esok Pagi" terasa. Terasa hingga tulang. Terasa hingga ke tempat di dalam diri yang bahkan aku tak tahu masih ada.

Aransemen lagu ini, baik yang orisinal maupun versi terbarunya, membawa suasana yang sama: hening, syahdu, dan nyaris doa. Musik petik di versi 1980 membungkus lagu seperti kabut pagi yang enggan pergi. Sedangkan versi terbaru, dengan sentuhan produksi yang lebih matang, tetap setia menjaga ruang sunyi itu menjadi ruang di mana pendengar bisa menangis tanpa merasa sendiri.

Dan mungkin itu sebabnya lagu ini tak pernah benar-benar pergi. Karena kehilangan dan harapan adalah dua sisi dari hidup yang selalu hadir. Karena tidak semua luka bisa dijelaskan, tapi bisa dipahami. Dan Ebiet, dengan lirik-liriknya, selalu seperti duduk di sebelah kita, tidak menghakimi, hanya menemani.

Aku menulis ini sambil menatap jendela. Pagi belum datang. Tapi aku percaya, sebagaimana Ebiet percaya, bahwa esok bisa membawa sesuatu. Mungkin seikat kembang merah. Mungkin hanya angin pagi yang lewat sebentar. Tapi harapan itu cukup.

Sekali lagi aku katakan, bahwa lagu "Elegi Esok Pagi" bukan sekadar karya musik. Ia adalah teman, pengingat, dan kadang, semacam pelukan sunyi dari masa lalu. Sebab, dalam setiap liriknya, aku menemukan cermin. Dan dalam cermin itu, aku melihat diriku-yang pernah kehilangan, yang masih merindu, dan yang tetap menanti pagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun