Malam itu hujan turun perlahan, seperti menahan tangis yang malu-malu. Aku duduk sendiri di sudut kamar, menyetel ulang daftar putar lama yang entah mengapa terasa begitu relevan malam ini. Dan di antara rintik hujan dan kenangan yang menggantung di udara, terdengarlah keningmu..." suara itu-"Izinkanlah ku kecup
Suara Ebiet G. Ade masuk begitu pelan namun tegas, seperti doa yang dibisikkan dalam gelap. Lagu "Elegi Esok Pagi" tak hanya menyapa telingaku-ia menyerbu ruang-ruang sunyi dalam diriku yang sudah lama tak disentuh.
Aku lupa kapan pertama kali mendengar lagu ini. Mungkin dari radio milik ayah yang berdebu, mungkin dari sebuah pesta perpisahan sekolah, atau mungkin dari hati yang pernah patah lalu mencoba merangkai harapan lagi. Tapi yang pasti, malam itu aku kembali jatuh ke dalamnya ke dalam elegi yang tak pernah benar-benar selesai.
Bagiku, "Elegi Esok Pagi" bukan sekadar lagu lawas dari tahun 1980 yang lahir dari album Camellia III. Ia adalah semacam pusaka emosional yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kini, lebih dari empat dekade kemudian, lagu itu dilahirkan kembali dalam versi 2025-dinyanyikan bersama oleh Ebiet, Adera, dan Segara. Sebuah kolaborasi ayah dan dua anak lelakinya, seolah ingin mengatakan bahwa cinta, kehilangan, dan harapan adalah warisan paling manusiawi yang bisa diturunkan.
Saat aku mendengarkan versi terbarunya, aku tidak hanya mendengar harmoni vokal atau aransemen musik yang lebih Aku mendengar suara lintas waktu. Suara seorang ayah yang menyanyikan kerinduan, suara anak yang memahami luka itu, dan suara masa depan yang mencoba memeluknya dengan cara baru.
Dalam lagu itu, ada satu bait yang tak pernah gagal membuatku diam-"Izinkanlah ku kecup keningmu. Di Indonesia, mencium kening bukan hal remeh. Ia bukan sekadar gestur kasih sayang, tapi semacam simbol penghormatan tertinggi. Sebuah perpisahan yang tak sempat menjadi salam.
Dan ketika lirik berikutnya menyusul-"esok pagi kau buka jendela, kan kau dapati seikat kembang merah"-aku serasa digiring menuju pagi yang belum tentu datang. Tapi tetap aku harapkan. Karena itulah kekuatan lagu ini: ia tak menawarkan kepastian, tapi menghadiahkan kemungkinan.
Lagu ini adalah refleksi kehilangan, tentu. Tapi lebih dari itu, ia adalah potret manusia yang tetap memilih untuk berharap. Dalam dunia yang sering mengecewakan, Ebiet seperti mengajak kita untuk tetap membuka jendela setiap pagi-siapa tahu di luar sana ada seikat kembang merah. Siapa tahu, sesuatu yang hilang semalam akan menjelma harapan hari ini.
Aku selalu percaya bahwa musik yang baik adalah musik yang tidak hanya terdengar, tapi juga terasa. Dan "Elegi Esok Pagi" terasa. Terasa hingga tulang. Terasa hingga ke tempat di dalam diri yang bahkan aku tak tahu masih ada.