Mohon tunggu...
Vilya Lakstian
Vilya Lakstian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis adalah Dosen Linguistik di Jurusan Sastra Inggris dan Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, Akademi Bahasa Asing Harapan Bangsa, dan International Hospitality Center. Selain mengajar mahasiswa, dia juga mengajar untuk staff hotel, pelayaran, dan pramugari. Penulis adalah lulusan Pascasarjana Prodi Linguistik Deskriptif di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Sarjana Sastra Inggris konsentrasi Linguistik di IAIN Surakarta. Penulis aktif dalam penelitian dan kajian sosial. Penulis juga sering menulis untuk media massa, dan penelitian untuk jurnal. Dalam berbagai kajian bahasa yang telah dilakukannya, linguistik sistemik fungsional menjadi topik yang sering dibahas dan dikembangkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Media Sosial Bukan Indikator Demokrasi!

2 September 2015   12:23 Diperbarui: 2 September 2015   12:57 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial (medsos). Sering dipandang sebagai indikator dari demokrasi dalam perspektif komunikasi di era digital. Sering dikatakan pula bahwa gerakan masyarakat dengan mudah digalakkan dengan medsos. Berbagai petisi disebarluaskan dan diikuti para netizen.

Masyarakat telah mulai melek teknologi. Medsos sudah bukan hal yang asing. Tetapi, seiring dengan kehadirannya yang telah membudaya, akhirnya dibelokkan, dikhianati, dan dirusak oleh sebagian kalangan. Tidak bisa dihindari, penggunaan media sosial sulit untuk digunakan dengan bersih tanpa ada motif di baliknya. Padahal, medsos awalnya digunakan murni untuk menjaga relasi sesama rekan. Koordinasi jadi lebih mudah. Dulu ada milis, sekarang bisa tergabung dalam grup mulai facebook, whatsapp, atau  blackberry messenger. Twitter juga menghadirkan "list", meskipun sedikit  ribet karena komunikasi grup tetap perlu mention, tetapi bisa membantu kita mengetahui apa saja twit dari setiap anggota dalam list tersebut. Penulis beberapa kali telah di-list bersama para blogger dan wartawan yang aktif dengan Twitter.

Memang, medsos bisa jadi ruang demokrasi yang membantu kita mengutarakan pendapat. Demokrasi bertumpu pada rakyat atau masyarakat. Bebas beraspirasi. Ya memang bebas dalam hal itu saja. Sirkulasi dan transfer informasi sangat dinamis dengan jaringan internet. Demokrasi direalisasikan dalam hal kemudahan akses menyalurkan pendapat dan ide.

Sangat disayangkan, etika ber-medsos masih kurang. Informasi yang dibagikan tetap ada yang berupa hasutan dan sampah, mengaburkan manfaat dari medsos. Akibatnya, mau nggak mau, kita ada ditengah-tengah gelombang emosional. Pada beberapa kasus, aktifitas medsos mencapai bullying. Remaja yang psikologisnya masih belum stabil bisa bunuh diri!

Marah

Sebagai pengguna, kita juga perlu objektif. Beberapa kali penulis menemui share dari pengguna berupa link artikel yang heboh dengan judul yang emosional dan kasar. Ternyata benar... setelah ditelusuri, ya situsnya ya hanya itu-itu saja. Kalau bukan  bagian dari propaganda golongan tertentu, ya orang-orang "radikal" yang hanya bisa menjadi provokator untuk mengeruk keuntungan kelompok mereka sendiri.

Atas masalah yang sedang dihadapi negara kita saat ini, medsos menjadi ruang perang saraf yang bikin darah tinggi sampai ubun-ubun.

Kompetisi ini kenapa masih berlangsung terus? Penulis kira, akan turun tensinya setelah pemilu. Sebaliknya, malah lebih kuat dan meledak-ledak.

Ada di antara kita, sengaja mem-posting karena kelompoknya sendiri. Pokoknya, apa-apa yang bukan dari golongannya harus dikritik bahkan dimaki-maki.

Tentu risih juga kalau setiap hari dihadapkan dengan seperti itu. Lalu bagi kelompok yang lain membalas. Bagi yang di jalan tengah, mereka berusaha menetralkan dengan ambil sisi-sisi positifnya. Menjelma menjadi motivator.

Seharusnya medsos bisa jadi ajang berpendapat sehat. Orang yang kritis itu bukan berarti segalanya dikritik. Cari-cari cacatnya, setelah itu dibiarkan menggantung dan tidak tuntas sampai solusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun