Mohon tunggu...
Didi Kurniadinata
Didi Kurniadinata Mohon Tunggu... Human Resources - Pengajar, Konsultan SDM, Trainer, Penulis,

Praktisi dan pemerhati pengembangan sumber daya manusia melalui konsultansi, pelatihan, asesmen. Menyukai sepakbola, otomotif dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Bagaimana Rasanya Berpuasa Media Sosial?

30 Maret 2024   05:51 Diperbarui: 30 Maret 2024   05:53 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

No Connection

Waktu saya bekerja  sebagai Account Executive (AE) di salah satu Perusahaan Amerika yang begerak di bidang pengembangan sumber daya manusia namun berlokasi di Jakarta, pimpinan sekaligus lead consultantnya orang Amerika, sebut saja namanya Mike. Dia seorang pekerja keras dan mengendalikan perusahaan melalui pertemuan mingguan yang membahas program, klien dan target setiap Account Executives (AE) yang juga adalah trainer dan consultant. 25 tahun yang lalu pekerja di Indonesia menggunakan dua alat komunikasi yaitu Handphone dan pager yang mendekati kepunahan waktu itu. Telepon lokal (fixed line) masih banyak yang menggunakan, termasuk di gedung-gedung di Jakarta.

Yang menariknya adalah Mike tidak mau menggunakan telepon genggam apalagi pager. Lalu bagaimana para AE termasuk para staf admin bisa menghubungi dia kalau ada hal yang mendesak. Pokoknya no handphone atau mobile phone, padahal untuk membeli benda tersebut tidak ada masalah. Selidik punya selidik, ternyata ada beberapa alasan mengapa dia tidak ingin memakai handphone sama sekali. Menariknya dia selalu dapat dihubungi dengan cara menelepon ke resepsionis dari tempat dia berada. Persis seperti yang kita lihat di film film, di mana seseoang menghubungi orang lain dan mengatakan ... ada yang ingin berbicara dengan anda di telepon... 

Apa yang kira kira nikmati atau dapatkan ya dari ketidakmauan dia memegang telepon genggam? rupanya punya beberapa alasan: pertama dia tidak ingin terganggu dengan krang kring telepon genggam atau bunyi pager. Dia fokus dengan apa yang dikerjakannya baik sewaktu mengikuti rapat maupun sedang mengajar. Tidak ada suara ringtone atau getaran pager. Kalaupun ada yang menginfokan ada telepon dari orang lain, dia bisa mengangkatnya atau meminta resepsionis untuk mengatakan bahwa dia yang akan menelepon nanti setelah siap melakukannya, itu pun menggunakan telepon resepsionis tadi. 

Saat ini sepertinya kebanyakan orang menggenggam smartphone atau telepon genggam pintar yang bisa melakukan apapun dan kita selalu terhubung setiap saat. Tidak ada tempat yang tidak terhubung, bahkan ke tempat yang privat sekalipun. Mungkin dering ringtone terdengar seperti suara yang tidak terputus selama 24 jam, jika kita mendengarkan setiap ringtone yang berbunyi. Juga ketika kita berada di tempat yang sunyi senyap, misalnya di gunung tinggi, di kebun teh, atau di hutan yang lebat, karena jaringan seluler sudah melingkupi hampir seluruh area di bumi ini. Meskipun akan selalu ada blank spot untuk lokasi-lokasi tertentu.

Dengan situasi di mana kita selalu terhubung dan dimanapun bisa dihubungi,  di ruang rapatpun suara dering telepon genggam berbunyi di sana sini, atau getaran telepon dalam mode getar, boleh dikatakan bahwa sesungguhnya kita terjebak dalam situasi yang dilematis. Ada perasaan kalau kita matikan telepon, kita merasa orang yang memerlukan kita akan frustrasi jika kita tidak bisa dikontak. Kita sesungguhnya dikendalikan oleh sindroma tidak terhubung.

Hidup dikendalikan oleh aplikasi

Bagi yang menggunakan aplikasi aplikasi media sosial seperti facebook, instagram dan lai-lain juga selalu mencari kesempatan untuk membuka aplikasi untuk menjawab komentar atau pun melihat lihat perkembangan. Sepertinya hidup itu untuk media sosial, bukan media sosial hidup untuk kita.

Ungkapan terakhir di atas adalah kuncinya, yaitu hidup kita diatur bukan oleh kita sendiri, tapi diatur oleh entitas lain, dalam hal ini media sosial. Tantangannya, dapat kah kita menaklukan media sosial, paling tidak secara temporer dan dengan keinginan yang kita lakukan.

Penulis sendiri pernah beberapa kali tidak terhubung media sosial, khususnya WA selama beberapa waktu, yang terlama adalah sehari penuh. Dan hal itu karena secara tidak sengaja telepon genggamnya tertinggal di rumah. Apa yang saya rasakan? wah rasanya ada kenyamanan juga tidak terganggu dering telepon atau bunyi bunyi yang menandakan ada pesan masuk. Ternyata dunia terasa lebih sunyi dan tenang. Namun memang, keluarga di rumah uring-uringan karena tidak dapat menghubungi. Menyelami perasaan yang ada ketika tidak terhubung itu, boleh juga kalau ketidakterhubungan itu direncanakan. Nah, karena sudah beberapa kali mengalami hal itu, saya rasa manfaatnya bisa dibagi ke pembaca semua.

Detoksifikasi Digital

Penulis mengajak pembaca untuk merencanakan suatu hari tanpa atau puasa media sosial. Rencana ini tentu bisa disampaikan kepada anggota keluarga, sehingga mereka tidak akan uring-uringan. jadi mulai berangkat bekerja atau pergi ke tempat lain dengan tidak membawa telepon genggam, atau tetap di rumah dengan mematikan alat komunikasi tersebut. Tentukan dari jam berapa sampai jam berapa dan mulailah dengan rencana tersebut. Yakinlah anda akan merasakan suatu hal berbeda. Rasa sunyi yang menenangkan adalah salah satu yang akan anda dapatkan. Anda tidak harus mengangkat telepon genggam dan melihat yang menelepon atau mengklik layar ketika ada bunyi notifikasi agar dapat melihat perkembangan apa yang terjadi, hampir setiap saat, setiap menit. ini adalah detoktifikasi digital sosial media.

 Manfaat yang akan anda alami adalah:

  • Merasakan ketenangan dan terbebas dari suara-suara yang sebelumnya senantiasa hadi.r
  • Berpikir lebih jernih karena bisa fokus dengan apa yang kita kerjakan.
  • Membersihkan pikiran dari berbagai macam urusan. 
  • Ada pengurangan intensitas dan keruwetan pikiran.
  • Menghemat pemakaian data atau pulsa.
    credit to https://www.meghanmgrace.com
    credit to https://www.meghanmgrace.com

Seorang rekan kerja saya mengajar di kampus saya sekarang, lagi lagi orang asing dan boleh disebut Mick (bukan Mike), dia juga tidak menggunakan alat komunikasi WA. Namun untuk komunikasi dia dipaksa untuk membawa telepon pintarnya. Karena punya prinsip yang sama dengan Mike, meskipun mereka tidak saling kenal, dia hanya menggunakan telepon genggamnya lewat email dia. Jadi kampus pun tidak bisa menghubungi langsung Mick kecuali lewat email atau ditemui langsung. Dan dia ternyata tidak pernah absen mengajar kecuali ada emergency, itupun dia infokan via email. Jadi pada dasarnya bukan tidak mau dihubungi, namun via email, dia bida membaca kapanpun dia bisa dan membalasnya kapanpun dia mau. Hidupnya memang kelihatan lebih tenang. Mau mencoba? sehari berpuasa media sosial...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun