Salah satu cara pendekatan yang baik saat wabah seperti ini adalah mendidik peserta didik dengan tidak menyembunyikan permasalahan. Sebagai contoh, seorang anak Tionghoa meminta tambahan uang saku kepada bapaknya. Lantas sang bapak yang merupakan seorang konglomerat memberikan sebuah pesan kepada anaknya dengan mengatakan,” Sudah bagus bapa kasih begitu!”. Keluarga Tionghoa tersebut memberikan pembelajaran berupa hadap masalah kepada anaknya untuk mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri. Berbeda dengan bangsa kita yang lebih banyak memanjakan peserta didik kita.
Diibaratkan bila hujan datang, kita akan berlomba-lomba untuk memberikan payung agar mereka tidak kehujanan. Akan berbeda bila kita menyuruh menyuruh mereka mengambil benda yang mampu melindungi dari hujan syukur-syukur mereka mampu menjadi ojek payung dengan segala keterbatasannya. Oleh karena itu, sebagai pendidik harus siap dengan konsep hadap masalah dan mencoba mengarahkan mereka mencari solusinya sendiri (Rusfi, dkk., 2018). Itulah sebenarnya tujuan pendidikan yang dicita-citakan oleh seorang Paulo Freire, sang pejuang pendidikan dari Brazil yaitu engan mengubah wajah masyarakat dari berpikiran magis dan naif menjadi masyarakat yang berpikiran kritis (Freire, 2000).
Memang, sistem pendidikan kita masih jauh dari kata sempurna. Jarang sekali kita mengkonsep pendidikan berdasarkan landasan-landasan yang telah digariskan oleh founding father kita. Sebut saja Ki Hajar Dewantara sang bapak Pendidikan Indonesia. Padahal beliau telah menerapkan trilogi pendidikan yang sudah lama dikenal. Jargon tut wuri handayani menjai ikon lambang Dinas Pendidikan bahkan ditempel pada seragam siswa. Jargon tersebut memiliki arti di belakang memberi dorongan. Jargon ini sudah banyak dipraktekkan yaitu banyaknya pendidik memberikan motivasi kepada peserta didik sehingga mereka mampu optimis dalam menjalani kehidupan baik sebelum pembelajaran maupun pasca pembelajaran.
Sebagai pengingat, jargon lainnya adalah ing ngarso sung tuladha (di depan memberikan contoh) dan ing madya mangunkarso (di tengah memberikan atau membangkitkan semangat). Pada fenomena biasa saja kita hanya mampu mempraktekkan tut wuri handayani, dengan memberikan contoh keteladanan yang baik, tapi itu pun belum maksimal apalagi dalam kondisi bencana covid-19 seperti sekarang. Perlu sebuah refleksi konkrit dimana semua dipraktekkan dalam kondisi normal maupun dalam kondisi darurat semacam ini. Jargon tesebut sangatlah mulia dan harus dibumikan sehingga mampu menjadi sebuah semangat baru dalam mendidik dengan landasan kearifan lokal bangsa.
Bertemunya pendidik dan peserta didik pada sistem sekolah atau perkuliahan masih menimbulkan split personality. Split personality dapat diartikan sebagai sebuah fenomena dimana peserta didik mengalami kekagetan karena di bangku Pendidikan mereka disajikan kebaikan-kebaikan yang bersifat teoritis, akan tetapi berbeda dengan yang dihadapi di kehidupan nyata yaitu sesuatu yang bertolak belakang atau bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan tersebut (Makin & Shaleh, 2007). Padahal sebuah institusi pendidikan merupakan kawah candra dimuka untuk menanamkan etika atas distorsi budaya yang marak terjadi.
Jelas sekali, dalam kondisi darurat, siswa kehilangan sosok ing ngarso sung tuladha, atau contoh yang mampu memberikan pandangan-pandangan praksis etika. Para peserta didik umumnya belajar mandiri di rumah dengan pengawasan langsung orang tua, akan teapi apakah ada jaminan yang konkrit bahwa pengawasan tersebut berjalan maksimal? Perlu adanya sebuah tinjuan ulang bagaimana kondisi darurat, tetapi infiltrasi etika masih dapat diperoleh walaupun minim dan terbatas pada pendekatannya. Ditambah lagi, jargon ing madya mangun karso, ketika berada di tengah atau di samping, saling memberikan semangat. Semangat ini dapat berupa pendampingan kepada peserta didik agar tetap optimis dalam menghadapi kondis darurat.
Selain itu, mereka juga diarahkan untuk memfilter berita-berita hoaks atau berita yang ketika dimunculkan malah menambah beban psikologis sehingga meningkatkan kapasitas stresnya. Selain itu, pendampingan ini dapat berupa kemudahan pendidik untuk memberikan ruang yang luas bagi peserta didik untuk bersama menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut apakah terkait dengan proses pembelajaran atau proses lain yang disepakati bersama.
Di satu sisi, sebagai pendidik perlu sesekali memberikan sebuah permainan dimana permainan tersebut akan menjadi trauma healing dengan menyisipkan materi-materi pelajaran. Sebagai contoh, pendidik dapat menggunakan aplikasi kahoot. Aplikasi ini unik dan menyenangkan tanpa mengurangi esensi dari pembelajaran.
Aplikasi ini tersedia di playstore dan dapat pula dimainkan melalui computer dengan alamat kahoot.com. Memang membutuhkan sebuah usaha dan kreatifitas tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran di tengah kondisi wabah ini. Selain itu, kesulitan yang dialami dari pembelajaran daring adalah kesulitan dalam mengontrol perkembangan kemampuan peserta didik. Kesulitan dalam pengontrolan ini jelas diakibatkan adanya keterbatasan dalam tatap muka. Ditambah lagi, pada kasus pembelajaran daring ini, para pendidik masih kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran ini merupakan tolak ukur pemahaman terhadap pembelajaran yang telah disampaikan. Tujuan pembelajaran ini merupakan sebuah instrumen dan batasan bahwa proses belajar mengajar mampu dijalankan secara optimal dan sesuai target yang ditentukan. Pada fenomena kondisi darurat ini, kesulitan mencapai capaian pembelajaran merupakan permasalahan jamaah yang harus segera dituntaskan. Faktanya, effort atau usaha ketika pembelajaran daring adalah dua kali lebih besar dibanding dengan usaha pembelajaran normal. Mengontrol peserta didik di luar sistem merupakan sebuah tantangan tersendiri yang membutuhkan usaha dan upaya yang sungguh-sungguh.
Sebagai penutup, perlu diketahui memang tidak ada pola pembelajaran yang ideal, semuanya tergantung pada kondisi dan situasi yang terjadi. Terlebih pada saat kondisi wabah seperti sekarang yang mengharuskan proses pembelajaran menggunakan media daring. Semua pola yang diterapkan mempunyai pro dan kontra, tetapi sebagai pendidik yang bijak haruslah mampu mengedepankan banyak kemanfaatan dan mengurangi ketidakmanfaatan. Pola-pola tersebut hendaknya merujuk kepada tujuan pendidikan nasional yang mengedepankan munculnya bangsa yang berkualitas, beradab, mandiri, dan berdaya saing.