Mohon tunggu...
TRI HANDITO
TRI HANDITO Mohon Tunggu... Kawulaning Gusti yang Mencoba Untuk Berbagi

Agar hatimu damai, tautkankanlah hatimu kepada Tuhanmu dengan rendah hati.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Generasi Pembelajaran Hebat

28 Agustus 2025   22:13 Diperbarui: 28 Agustus 2025   22:13 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan bermutu untuk semua melalui upaya mendidik generasi pembelajar hebat (Sumber : Dokumen penulis. Gambar diolah dengan kecerdasan buatan)

Prolog: Sang Pembelajar Hebat

Pendidikan adalah jalan bagi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. Man can become man through education only, begitu kata filsuf Immanuel Kant. Pernyataan Kant ini menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya mentransfer informasi, tetapi juga mentransformasi esensi kemanusiaan kita secara fundamental. Sebagai contoh, pikirkan seorang anak dari pedesaan yang awalnya hanya mengenal lingkungan sekitarnya. Melalui pendidikan, ia belajar tentang sejarah peradaban lain, memahami prinsip-prinsip sains yang membentuk dunia modern, dan menemukan suara dirinya melalui tulisan atau seni. Pendidikan tidak hanya memberinya keterampilan, tetapi juga membuka kesadaran akan identitas dan potensinya. Melalui pendidikan yang bermutu, ia menjadi manusia yang lebih utuh, bukan hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar.

Pendidikan tidak terbatas pada lingkungan formal seperti sekolah. Pendidikan juga berlangsung di rumah dan masyarakat, dan di sanalah kita menemukan sosok "guru" yang menjadi bintang penuntun dan teladan. Konsep ini oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai Trisentra atau Tri Pusat Pendidikan. Lebih dari sekadar mentransfer ilmu, para guru juga harus mampu menjadi pemantik karakter manusia pembelajar yang siap menghadapi kehidupan. Di sinilah guru berperan sebagai pamomong, yang senantiasa momong-among-ngemong dalam rangka mempersiapkan fondasi nilai, pengetahuan, moral, dan keterampilan para peserta didik. Dengan menerapkan sistem among, guru tidak hanya berdiri di depan kelas, tetapi juga turun ke bangku siswa untuk mendengarkan kekhawatiran dan membimbing mereka menemukan jawaban sendiri. Contohnya, seorang guru matematika tidak langsung memberikan rumus, tetapi mengajak siswa berdiskusi cara memecahkan masalah dari berbagai sudut pandang.

Sistem among memerdekakan manusia: memerdekakan batin, pikiran, dan tenaganya (mengutip kata Ki Hadjar Dewantara). Konsep ini sangat relevan dengan pendapat Paulo Freire, yang menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi proses pembebasan dan pencerahan, bukan penjinakan sosial budaya (social and cultural domestification). Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh terjebak pada apa yang dinamakan the banking concept of education yang menganggap siswa sebagai "celengan" pasif yang harus diisi dengan pengetahuan. Fenomena ini, menurut Freire, akan menghasilkan manusia nekrofili; manusia yang mencintai segala sesuatu yang tidak memiliki jiwa kehidupan. Argumentasi di balik istilah ini sangat kuat: saat pendidikan hanya fokus pada penghafalan dan kepatuhan, ia secara perlahan membunuh kreativitas, rasa ingin tahu, dan pemikiran kritis yang seharusnya hidup dalam diri siswa. Sebagai contoh, bayangkan sebuah kelas di mana siswa dipaksa menghafal tanggal-tanggal sejarah tanpa memahami konteks atau alasan di baliknya. Proses ini meniadakan jiwa dari sejarah itu sendiri. Guru yang antikritik juga menciptakan fenomena ini, di mana siswa tidak diizinkan bertanya atau berdebat, sehingga ruang dialog untuk menumbuhkan pemikiran kritis menjadi mati.

Pentingnya pendidikan yang memerdekakan ini juga selaras dengan pesan bijak K.H. Ahmad Dahlan mengenai Kesatuan Hidup Manusia. Beliau menyatakan bahwa orang yang "mengerti" itu sebenarnya lebih banyak dibandingkan dengan orang yang "menjalankan pengertiannya." Dari sinilah muncul urgensi untuk menyemai kualitas akal manusia, agar dengan akal itu manusia mampu "menjalankan pengertiannya" dalam kehidupan nyata, mewujudkan tanggung jawab sosialnya, dan berempati demi kebaikan bersama. Tanpa praktik nyata, pengetahuan hanya akan menjadi wacana pasif yang tidak memiliki dampak transformatif.

Lebih dari sekadar mengisi pikiran, tujuan utama pendidikan adalah menyalakan api di dalamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Plutarch, seorang esais Yunani: "Pikiran bukanlah bejana untuk diisi, tapi api untuk dinyalakan." Pandangan ini selaras dengan pendapat James Gleick, seorang sejarawan dan jurnalis sains, yang menyatakan bahwa kecerdasan tidak diukur dari banyaknya ragam pengetahuan, tetapi lebih kepada bagaimana pengetahuan tersebut saling terkoneksi, membentuk pola, dan menumbuhkan pemahaman baru. Sebagai analogi, bayangkan dua siswa yang mempelajari sejarah. Siswa pertama hanya menghafal tanggal dan nama-nama penting untuk ujian, sementara siswa kedua mencoba menghubungkan peristiwa sejarah tersebut dengan kondisi sosial dan ekonomi saat ini. Hanya siswa kedua yang menyalakan api keingintahuan, yang memungkinkannya membangun pemahaman yang lebih dalam dan tahan lama.

Dengan demikian, pendidikan berfungsi untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif, sehingga individu mampu melihat serta memahami keterkaitan antara beragam pengetahuan dan konteks sosial di sekitar mereka. Inilah amanah yang harus diemban para pendidik: memantik berkembangnya pemikiran kritis, kreatif, dan reflektif dalam diri siswa.

Penerapan Nyata: Dari Filosofi Menjadi Aksi

Lalu, bagaimana para pendidik bisa mewujudkan makna hakiki pendidikan ini secara nyata? Dalam konteks pendidikan formal, guru dapat mengubah perannya dari "fasilitator" menjadi "pemandu." Alih-alih hanya mengarahkan diskusi, seorang guru harus aktif bertanya, menantang, dan mendorong siswa untuk mencari jawaban sendiri. Di sini, guru berikhtiar memantik growth mindset para murid. Tanyakan "Mengapa?" dan "Bagaimana?" untuk setiap jawaban mereka. Selain itu, terapkan projek berbasis masalah alih-alih tugas menghafal. Misalnya, berikan siswa tantangan nyata untuk mencari solusi masalah sampah di sekolah atau merancang kampanye sosial. Berbagai ikhtiar ini akan mendorong mereka mengubah "pengertian" menjadi "tindakan." Ajak juga siswa untuk berlatih mengkoneksikan berbagai ilmu melalui proyek yang menggabungkan mata pelajaran, seperti menganalisis sebuah novel dari sudut pandang sosiologi atau membuat presentasi seni tentang dampak sains pada masyarakat.

Penting juga untuk tidak melupakan Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Peran ini juga harus diemban oleh orang tua dan masyarakat di luar lingkungan formal. Di rumah, orang tua dapat memperkuat empati anak-anak melalui peristiwa atau kisah nyata yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, cerita-cerita rakyat, film dokumenter, atau buku yang menarik; lalu mengajak mereka berdiskusi tentang pesan moral, keteladanan, dan motivasi karakter yang ada di dalamnya. Sementara di lingkungan masyarakat, para tokoh dan pemuda dapat menjadi guru yang menumbuhkan tanggung jawab sosial dengan mengajak anak-anak terlibat dalam kegiatan nyata yang bermanfaat, seperti kerja bakti atau penggalangan dana untuk sesama. Dengan demikian, terwujudlah pendidikan berbasis dialog yang merangkul beragam pemikiran dan pengalaman siswa dari berbagai lingkungan, menciptakan ruang aman bagi mereka untuk berbagi ide tanpa rasa takut dihakimi. Melalui pertukaran ide ini, mereka membangun pemahaman baru yang lebih kompleks dan penuh jiwa empati di dalamnya. Bertumbuhnya pemahaman dan empati menjadi dua karakter esensial untuk masyarakat yang kian kompleks dan multikultural.

Epilog: Jiwa Pembelajar Sejati

Pada akhirnya, pendidikan yang sesungguhnya adalah proses pembebasan. Artinya, pendidikan menjadi sebuah perjalanan untuk memantik api pemikiran dan menumbuhkan jiwa yang hidup, bukan sekadar mengisi bejana dengan fakta dan angka. Dengan menjadi pamomong yang membebaskan, para pendidik tidak hanya membentuk individu yang cerdas, tetapi juga manusia seutuhnya yang mampu berempati, berpikir kritis, dan berkontribusi secara bermakna bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun