Anna melambaikan tangan—tanda menyerah. Ia mulai berpikir ini pertanyaan yang menjebak. “Kurasa kamu lebih tahu mas. Apa itu?”
“Baiklah kalau kamu meminta, aku akan menjelaskan.” Sang suami mengajak Anna untuk lebih dekat dengan embun yang menggelantung di ujung dedaunan— mungkin sebentar lagi akan terjatuh ke tanah.
“Embun itu memang pelita pagi. Tanpanya mungkin sosok pagi akan terasa hambar. Seiring datangnya malam, ternyata titik-titik embun mulai berjatuhan dari langit.”
“Titik-titik yang seolah buta kini mulai tak kasat di mata ketika pagi… Dan mungkin tak ada sesuatu yang sebening embun. Bahkan kita dapat melihat bayangan diri kita sendiri di embun.”
Sang suami terus mengoceh panjang lebar. Walaupun tampak kurang mengerti, Anna sangat menghargai penjelasan suaminya. Ia selalu mengurai senyum dan terkadang mengangguk kecil—tanda mengerti.
Anna tak sadar, sedari tadi air matanya menetes deras mengenang itu semua. Berharap, semuanya dapat terulang kembali, atau setidaknya ia dapat merasakan setitik kebahagiaan itu kembali.
Dengan Tuhan, tak ada yang mustahil. Walaupun semua dokter mengatakan suaminya sudah di ujung tanduk kematian, mungkin Tuhan masih berbaik hati dan memberi kejaiban pada suaminya. Dan semua harapannya tak lagi sekedar fatamorgana. Semuanya akan menjadi nyata.
——
Setelah menyudahi senam paginya, Anna beralih kembali ke teras depan. Ia membuka tirai penutupnya perlahan dan mulai menata barang dagangannya dengan teratur ke samping. Dari mulai barang sembako, makanan ringan, hingga masakan matang tersedia di warung sederhana ini.
Terkadang Anna pun menyediakan berbagai macam minuman dingin serta es campur di sini. Selain itu, ia juga menyambil dengan berjualan pulsa dan menerima pesanan kue jika memang ada.
Semua usaha ia lakoni demi menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk menyambung esok paginya.