Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fragile Generation? Atau Generasi yang Kehilangan Ruang Bergerak?

20 September 2025   19:36 Diperbarui: 20 September 2025   17:45 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gen Z bersuara, turun ke jalan, dan membuktikan: mereka bukan generasi rapuh, tapi generasi yang peduli dan bergerak. (Dibuat dengan AI)

Pernyataan Mendikdasmen yang menyebut generasi muda Indonesia rentan menjadi fragile generation karena malas bergerak langsung menyita perhatian publik. Istilah ini seolah memberi cap baru bagi anak muda kita: rapuh, lemah, dan mudah goyah. 

Tapi benarkah semua itu semata-mata salah anak muda yang lebih betah rebahan daripada berkeringat? Atau jangan-jangan ada persoalan yang lebih dalam: generasi ini sebenarnya kehilangan ruang untuk bergerak?

Apa Itu Fragile Generation?

Fragile generation merujuk pada kelompok generasi yang cenderung lemah secara fisik, mental, maupun emosional. Mereka mudah stres, tidak tahan tekanan, kurang bugar, dan minim daya juang. Istilah ini makin sering muncul di tengah kekhawatiran global terhadap gaya hidup modern: kurang gerak, kecanduan gawai, dan budaya serba instan.

Data WHO tahun 2022 menyebutkan, lebih dari 80% remaja di seluruh dunia tidak mencapai standar aktivitas fisik minimal yang disarankan, yakni 60 menit aktivitas sedang hingga berat per hari. Di Indonesia, survei Riskesdas (2018) mencatat angka kurang aktivitas fisik pada penduduk usia di atas 10 tahun mencapai 33,5%, dengan kecenderungan meningkat di kota-kota besar. 

Angka ini menguatkan sinyal bahaya: gaya hidup pasif sedang mengintai generasi muda kita.

Benarkah Anak Muda Sekadar Malas?

Label "malas" sering kali menjadi kambing hitam yang mudah ditempelkan. Padahal, ada banyak faktor yang memengaruhi gaya hidup generasi muda.

1. Budaya Digital yang Dominan

Anak muda kita hidup di era serba daring. Tugas sekolah dikumpulkan lewat Google Classroom, interaksi sosial berpindah ke Instagram, TikTok, atau WhatsApp. Hiburan? Sudah pasti lewat layar. Aktivitas sehari-hari makin jarang melibatkan gerak tubuh secara nyata.

2. Budaya "Mager" yang Menggoda

Istilah mager alias "malas gerak" bahkan sudah jadi bahasa gaul yang normal. Rehat di rumah dengan AC dan Netflix terasa lebih nyaman ketimbang berpanas-panas di lapangan. Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota besar, tapi juga mulai merambah ke daerah.

3. Olahraga Dianggap Ribet

Tidak semua anak muda punya akses ke fasilitas olahraga. Gym mahal, lapangan sering terbatas, bahkan olahraga di luar rumah kadang dianggap mengganggu lingkungan. Akhirnya, olahraga dipersepsikan sebagai aktivitas ekstra, bukan kebutuhan sehari-hari.

Sistem yang Membatasi Gerak

Di balik gaya hidup anak muda, ada sistem yang tanpa sadar ikut "mendiamkan" mereka.

1. Ruang Publik Terbuka yang Minim

Taman kota sering kalah oleh pembangunan mal, gedung perkantoran, atau perumahan. Anak muda kehilangan ruang gratis untuk bermain bola, berlari, atau sekadar bergerak bebas. Akibatnya, aktivitas fisik yang alami semakin sulit dilakukan.

2. Sekolah yang Terlalu Akademis

Kurikulum kita masih menekankan aspek kognitif. Jam pelajaran padat membuat siswa lebih banyak duduk daripada bergerak. Padahal, aktivitas fisik terbukti mendukung konsentrasi dan prestasi akademik.

3. Budaya Orang Tua yang Ingin Anak Anteng

Banyak orang tua lebih memilih anaknya "diam di rumah" daripada bermain di luar dengan risiko kotor atau jatuh. Anak yang anteng dianggap baik, sementara anak yang aktif sering kali dicap "nakal". Inilah salah satu paradoks yang membuat anak semakin terbiasa diam.

Kaca Cermin untuk Orang Tua dan Sekolah

Jika kita mau jujur, generasi muda bukan satu-satunya pihak yang patut dipersalahkan. Orang tua, sekolah, bahkan kebijakan publik ikut membentuk pola hidup yang pasif.

Orang Tua: sering kali mencontohkan gaya hidup pasif. Lebih banyak duduk dengan ponsel daripada berolahraga bersama anak.

Sekolah: mengajarkan disiplin akademik, tapi jarang menanamkan disiplin gaya hidup sehat.

Kebijakan Publik: masih lebih fokus pada pembangunan infrastruktur ekonomi daripada menyediakan ruang hidup sehat bagi masyarakat.

Label "fragile generation" bisa jadi lebih adil bila kita ubah menjadi "fragile system" yang mencetak generasi rapuh.

Fenomena Anak Muda yang Justru Bergerak

Di tengah kekhawatiran soal generasi rapuh yang malas bergerak, kita sebenarnya juga menyaksikan fenomena sebaliknya. Anak-anak muda banyak yang justru memilih bergerak, bukan hanya di lapangan olahraga, tetapi juga di ruang sosial dan kemanusiaan.

Mereka turun ke jalan untuk isu lingkungan, menggalang dana bagi korban bencana, hingga membuat kampanye digital melawan perundungan. Fenomena ini begitu menginspirasi. Kita melihat anak-anak muda bukan hanya mengeluh di dunia maya, tetapi juga bergerak nyata untuk isu yang mereka pedulikan.

Namun di sisi lain, kita sebagai orang tua atau orang yang lebih dewasa mungkin bertanya-tanya: kalau anak kita ingin ikut dalam gerakan seperti ini, apakah kita akan mengizinkan? Apakah kita siap mendukung mereka, memberi ruang untuk belajar menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan sejak muda, atau justru masih merasa khawatir?

Inilah paradoks yang perlu kita sadari. Kita khawatir generasi muda menjadi fragile karena malas bergerak, tetapi ketika mereka ingin bergerak untuk sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, sering kali justru kita menahan mereka. Kita ingin mereka aktif, tapi takut ketika aktivitas mereka menembus batas zona nyaman kita sebagai orang tua.

Padahal, dukungan dan ruang dari keluarga maupun sekolah sangat menentukan apakah anak muda benar-benar bisa tumbuh sebagai generasi tangguh. Tangguh bukan hanya karena rajin berolahraga, tapi juga karena berani menyuarakan kebenaran, peduli pada orang lain, dan siap menghadapi risiko.

Inspirasi dari Anak Muda yang Bergerak

Meski begitu, tidak semua anak muda tenggelam dalam budaya rebahan. Ada banyak contoh inspiratif yang membuktikan bahwa jika ruang dan dukungan tersedia, mereka akan memilih untuk bergerak.

  • Komunitas Lari Pagi di Jakarta dan Bandung: ribuan anak muda rutin berlari bersama sebelum berangkat kerja atau kuliah. Mereka membangun solidaritas sekaligus menjaga kebugaran.
  • Komunitas Sepeda di Yogyakarta: bersepeda bukan sekadar olahraga, tapi juga gaya hidup ramah lingkungan.
  • Olahraga Tradisional di Desa: di beberapa daerah, permainan seperti gobak sodor, engklek, hingga egrang dihidupkan kembali oleh pemuda desa untuk melawan dominasi gawai.

Contoh-contoh ini menunjukkan: ketika kesempatan tersedia, generasi muda tidak segan untuk bergerak. Mereka tidak "malas" secara bawaan, hanya butuh ruang dan motivasi yang relevan dengan zaman.

Menuju Generasi Tangguh: Dari Rebahan ke Gerakan

Jika kita benar-benar ingin mencegah munculnya fragile generation, solusinya tidak bisa sekadar menyalahkan anak muda. Dibutuhkan langkah kolektif:

1. Bangun Ruang Publik yang Ramah Anak Muda

Taman kota, lapangan olahraga, jalur sepeda, hingga ruang terbuka hijau harus diperbanyak. Anak muda butuh tempat gratis untuk bergerak.

2. Sekolah sebagai Pusat Gaya Hidup Aktif

Jadwal olahraga jangan jadi pelengkap. Bisa ditambah dengan movement breaks di kelas, senam pagi, atau kegiatan ekstrakurikuler yang benar-benar aktif.

3. Orang Tua sebagai Teladan

Alih-alih menyuruh anak olahraga, lebih baik ajak mereka bersepeda bersama, jalan sore, atau hiking di akhir pekan. Anak akan meniru, bukan sekadar mendengar nasihat.

4. Gerakan Sosial yang Kekinian

Kampanye kesehatan bisa dibungkus dengan konten kreatif: tantangan TikTok berolahraga, vlog hiking, atau komunitas digital yang mendorong anak muda bergerak.

Penutup: Jangan Asal Melabeli

Generasi muda tidak otomatis rapuh. Mereka hanya lahir di era yang berbeda, dengan tantangan berbeda pula. Kalau hari ini mereka tampak "malas bergerak", itu bukan hanya cerminan karakter, melainkan juga akibat lingkungan, sistem, dan budaya yang membatasi.

Sebelum buru-buru melabeli anak muda sebagai fragile generation, mari kita bertanya: sudahkah kita memberi mereka ruang, kesempatan, dan teladan untuk bergerak?

Karena pada akhirnya, generasi muda akan bergerak-jika kita, orang tua, sekolah, dan masyarakat, tidak membatasi langkah mereka.

Begitu juga sebaliknya, generasi muda juga harus menguatkan tekad untuk tidak malas bergerak. Merubah label fragile generation menjadi agile generation, yaitu generasi yang tumbuh dengan pola pikir lincah, adaptif, dan cepat berinovasi dalam menghadapi perubahan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun