Banyak orang tua lebih memilih anaknya "diam di rumah" daripada bermain di luar dengan risiko kotor atau jatuh. Anak yang anteng dianggap baik, sementara anak yang aktif sering kali dicap "nakal". Inilah salah satu paradoks yang membuat anak semakin terbiasa diam.
Kaca Cermin untuk Orang Tua dan Sekolah
Jika kita mau jujur, generasi muda bukan satu-satunya pihak yang patut dipersalahkan. Orang tua, sekolah, bahkan kebijakan publik ikut membentuk pola hidup yang pasif.
Orang Tua:Â sering kali mencontohkan gaya hidup pasif. Lebih banyak duduk dengan ponsel daripada berolahraga bersama anak.
Sekolah: mengajarkan disiplin akademik, tapi jarang menanamkan disiplin gaya hidup sehat.
Kebijakan Publik: masih lebih fokus pada pembangunan infrastruktur ekonomi daripada menyediakan ruang hidup sehat bagi masyarakat.
Label "fragile generation" bisa jadi lebih adil bila kita ubah menjadi "fragile system" yang mencetak generasi rapuh.
Fenomena Anak Muda yang Justru Bergerak
Di tengah kekhawatiran soal generasi rapuh yang malas bergerak, kita sebenarnya juga menyaksikan fenomena sebaliknya. Anak-anak muda banyak yang justru memilih bergerak, bukan hanya di lapangan olahraga, tetapi juga di ruang sosial dan kemanusiaan.
Mereka turun ke jalan untuk isu lingkungan, menggalang dana bagi korban bencana, hingga membuat kampanye digital melawan perundungan. Fenomena ini begitu menginspirasi. Kita melihat anak-anak muda bukan hanya mengeluh di dunia maya, tetapi juga bergerak nyata untuk isu yang mereka pedulikan.
Namun di sisi lain, kita sebagai orang tua atau orang yang lebih dewasa mungkin bertanya-tanya: kalau anak kita ingin ikut dalam gerakan seperti ini, apakah kita akan mengizinkan? Apakah kita siap mendukung mereka, memberi ruang untuk belajar menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan sejak muda, atau justru masih merasa khawatir?