Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Rasa, Handayani Jiwa: Pendidikan Bermutu di Era Anak Lebih Cepat dari AI

18 September 2025   05:00 Diperbarui: 17 September 2025   22:01 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi AI bisa lebih cepat, tapi hanya manusia yang bisa belajar dengan hati. (Sumber: Shutterstock/Ibenk_88A Via Kompas.com)

“Pak, saya tanya AI soal sejarah, jawabannya langsung lengkap. Tapi kalau saya tanya kenapa saya cemas tiap kali ulangan, AI malah bingung.”

Pernyataan itu menyadarkan saya: tugas guru bukan hanya mengajar, melainkan mempersiapkan murid menghadapi abad 21 - era ketika mesin bisa lebih cepat, tapi manusia harus lebih bijak.

Anak-anak kini mahir mencari data, namun sering gagap memahami rasa. Mereka terbiasa dengan jawaban instan, tetapi bingung saat berhadapan dengan perasaan manusia yang kompleks.

Padahal pendidikan sejati bukan lomba kecepatan, melainkan perjalanan menemukan makna, perjalanan yang hanya bisa dijalani dengan empati, kesabaran, dan hati yang hidup.

Inilah tantangan pendidikan hari ini: menjaga agar kecanggihan teknologi tidak menggerus kemanusiaan, dan memastikan murid tumbuh bukan hanya cerdas, tetapi juga berbelas kasih.

Maka, peran guru belum selesai. Justru inilah momentum emas untuk menghadirkan pendidikan bermutu yang benar-benar siap menghadapi masa depan.

Artificial Intellengence (AI) Tak Bisa Merasakan Cinta

Ketika seorang siswa yang diminta gurunya menulis esai sederhana, bukan tentang teori sains atau rumus matematika, melainkan tentang kenangan paling hangat dalam hidupnya, bisa saja Ia menulis tentang momen saat ayahnya pulang kerja dengan wajah letih, tapi tetap menyempatkan diri mendengar ceritanya.

Tulisan itu mungkin tidak sempurna secara tata bahasa. Ada kalimat yang terpotong, ada ejaan yang salah. Namun, justru di situlah letak keindahannya: penuh perasaan, penuh kejujuran, dan menyentuh hati siapa pun yang membacanya.

AI bisa memperbaiki struktur kalimat, tapi tidak bisa menghadirkan getaran kasih sayang seorang anak kepada ayahnya. AI bisa menyusun kata dengan rapi, tapi tidak bisa menangkap air mata yang jatuh di sela-sela pena.

Di sinilah bedanya. Pendidikan bermutu bukan sekadar melatih otak agar pandai menyusun jawaban, melainkan juga menumbuhkan hati agar peka pada kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun