“Pak, saya tanya AI soal sejarah, jawabannya langsung lengkap. Tapi kalau saya tanya kenapa saya cemas tiap kali ulangan, AI malah bingung.”
Pernyataan itu menyadarkan saya: tugas guru bukan hanya mengajar, melainkan mempersiapkan murid menghadapi abad 21 - era ketika mesin bisa lebih cepat, tapi manusia harus lebih bijak.
Anak-anak kini mahir mencari data, namun sering gagap memahami rasa. Mereka terbiasa dengan jawaban instan, tetapi bingung saat berhadapan dengan perasaan manusia yang kompleks.
Padahal pendidikan sejati bukan lomba kecepatan, melainkan perjalanan menemukan makna, perjalanan yang hanya bisa dijalani dengan empati, kesabaran, dan hati yang hidup.
Inilah tantangan pendidikan hari ini: menjaga agar kecanggihan teknologi tidak menggerus kemanusiaan, dan memastikan murid tumbuh bukan hanya cerdas, tetapi juga berbelas kasih.
Maka, peran guru belum selesai. Justru inilah momentum emas untuk menghadirkan pendidikan bermutu yang benar-benar siap menghadapi masa depan.
Artificial Intellengence (AI) Tak Bisa Merasakan Cinta
Ketika seorang siswa yang diminta gurunya menulis esai sederhana, bukan tentang teori sains atau rumus matematika, melainkan tentang kenangan paling hangat dalam hidupnya, bisa saja Ia menulis tentang momen saat ayahnya pulang kerja dengan wajah letih, tapi tetap menyempatkan diri mendengar ceritanya.
Tulisan itu mungkin tidak sempurna secara tata bahasa. Ada kalimat yang terpotong, ada ejaan yang salah. Namun, justru di situlah letak keindahannya: penuh perasaan, penuh kejujuran, dan menyentuh hati siapa pun yang membacanya.
AI bisa memperbaiki struktur kalimat, tapi tidak bisa menghadirkan getaran kasih sayang seorang anak kepada ayahnya. AI bisa menyusun kata dengan rapi, tapi tidak bisa menangkap air mata yang jatuh di sela-sela pena.
Di sinilah bedanya. Pendidikan bermutu bukan sekadar melatih otak agar pandai menyusun jawaban, melainkan juga menumbuhkan hati agar peka pada kehidupan.