Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Wildlife in Crisis: Pesan Lirih Gajah Sumatra dari Way Kambas

19 September 2025   15:20 Diperbarui: 19 September 2025   05:00 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Induk gajah dan anaknya (Nisa) di Taman Nasional Way Kambas. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Di balik pepohonan hutan Lampung Timur, gajah-gajah Sumatera berjalan pelan, seolah menyimpan cerita panjang tentang luka dan harapan. Taman Nasional Way Kambas (TNWK) menjadi rumah terakhir bagi ratusan gajah, sekaligus saksi bisu bagaimana manusia dan alam berjuang menemukan harmoni.

Namun, rumah itu tidak lagi seaman dulu. Perburuan gading, penyempitan habitat karena pembukaan lahan, serta konflik manusia-satwa membuat populasi gajah terus menurun. 

Meski sering dijuluki “Benteng Terakhir Gajah Sumatra, populasi gajah di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) terus menghadapi tekanan besar. Data terbaru Balai TNWK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, populasi gajah liar di kawasan ini hanya tersisa sekitar 160–180 ekor. Jumlah ini jauh berkurang jika dibandingkan dengan beberapa dekade lalu, saat hutan Way Kambas masih menjadi rumah luas bagi ratusan gajah.

Data dan Fakta

Di luar itu, terdapat pula sekitar 62-64 gajah jinak yang berada di bawah pengelolaan Pusat Latihan Gajah (PLG) dan beberapa Elephant Response Unit (ERU). Gajah-gajah ini dilibatkan dalam berbagai upaya konservasi, termasuk pengembangbiakan (breeding), mitigasi konflik dengan manusia, hingga pendidikan konservasi bagi masyarakat.

Beberapa kabar gembira memang datang, misalnya dengan kelahiran bayi gajah di PLG pada Februari 2024, dan lagi pada Agustus 2025 dari induk bernama Dita. Kelahiran ini memberi secercah harapan bahwa populasi gajah Sumatra di Way Kambas masih bisa bertahan. Namun, di sisi lain, ancaman serius tetap mengintai: hilangnya habitat akibat pembukaan lahan, perburuan liar, serta konflik manusia-gajah yang kerap berujung tragis.

Upaya survei terbaru, termasuk dengan metode fecal DNA, sedang dilakukan untuk memperbarui data populasi. Cara ini diharapkan mampu memberikan gambaran lebih akurat tentang jumlah dan sebaran gajah di Way Kambas, mengingat medan yang sulit membuat penghitungan manual rawan bias.

Dengan kondisi ini, dapat disimpulkan bahwa total populasi gajah Sumatra di TNWK, baik liar maupun jinak hanya berkisar 220-250 ekor. Angka ini menegaskan betapa rentannya masa depan satwa karismatik ini, dan mengapa Way Kambas harus benar-benar dijaga sebagai benteng terakhir mereka.

Setiap konflik berarti korban. Ada gajah yang jatuh akibat jerat, ada pula warga desa yang kehilangan ladang karena amukan kawanan. Hubungan antara manusia dan gajah di Way Kambas ibarat dua sisi mata uang: bisa menjadi kisah kebersamaan, bisa pula menjadi tragedi.

Meski begitu, bukan berarti harapan pupus. Sejumlah langkah konservasi dilakukan, mulai dari Pusat Latihan Gajah yang melatih gajah untuk mendukung patroli hutan, hingga program “community-based conservation” yang melibatkan masyarakat sekitar. Teknologi juga dimanfaatkan, misalnya melalui sistem peringatan dini konflik gajah berbasis SMS dan sensor suara.

Upaya kecil itu membuktikan: menyelamatkan gajah bukan hanya tugas negara, melainkan tanggung jawab kita bersama. Sebab, hilangnya gajah berarti hilangnya bagian penting dari ekosistem hutan.

Kini, jika gajah di Way Kambas bisa berbicara, mungkin mereka hanya akan berkata lirih: “Jangan biarkan kami menjadi dongeng untuk anak cucumu kelak.”

Pesan Ekologis Sang Raksasa Lembut

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) sering disebut the gentle giant. Tubuhnya besar, tapi sifatnya lembut dan penuh ikatan sosial. Mereka hidup berkelompok, dipimpin induk betina tertua, dan menjaga kebersamaan layaknya keluarga manusia.

Di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, seekor bayi gajah lahir pada pertengahan Agustus 2025. Bayi jantan berbobot 67 kilogram itu menjadi kabar gembira di tengah keprihatinan panjang tentang nasib gajah Sumatera. Tangisan pertamanya terdengar bagai penegas, bahwa satwa karismatik ini masih berusaha bertahan, meski ancaman datang dari segala arah.

Kelahiran itu bukan sekadar penambahan angka populasi. Ia adalah simbol harapan, bahwa rimba masih punya denyut kehidupan. Namun di saat yang sama, ada pula kenyataan pahit: sepanjang 2024, empat ekor gajah mati di Way Kambas karena penyakit, dari hepatitis hingga virus herpes yang mematikan. 

Ada pula yang tak tertolong akibat jerat pemburu. Seolah gajah ingin berkata kepada kita, “Kami masih ada, tapi masa depan kami bergantung pada pilihan kalian.”

Dalam ekosistem, gajah berperan sebagai penyebar biji. Buah yang mereka makan akan keluar bersama kotoran, menyuburkan tanah, dan melahirkan pohon-pohon baru. Dengan cara itulah hutan diperbaharui. 

Tanpa gajah, siklus ini akan terganggu. Maka ketika gajah bicara, sejatinya mereka mengingatkan kita: kelestarian hutan tak bisa dilepaskan dari keberadaan mereka.

Sayangnya, habitat mereka terus menyusut. Deforestasi, perambahan, dan alih fungsi lahan telah memutus jalur migrasi kawanan gajah. Data Balai TN Way Kambas menunjukkan populasi gajah liar saat ini hanya sekitar 160-180 ekor, sementara gajah jinak yang berada di bawah perawatan konservasi berjumlah 62-64 ekor. 

Angka ini jauh dari aman, mengingat populasi gajah Sumatera di seluruh pulau diperkirakan tinggal 1.600 ekor saja.

Luka dari Jerat dan Penyakit

Ancaman terbesar gajah bukan hanya hilangnya habitat, tetapi juga jerat dan penyakit. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus gajah yang mati akibat jerat pemburu masih terjadi. Kawat kecil yang dipasang untuk satwa lain bisa melukai kaki gajah, menyebabkan infeksi hingga berujung kematian.

Penyakit pun menjadi momok. Tahun lalu, seekor gajah bernama Rubado mati di usia 5,9 tahun akibat hepatitis. Kasus lain diduga disebabkan oleh Elephant Endotheliotropic Herpesvirus (EEHV), virus mematikan yang kerap menyerang anak gajah. Rentetan kematian ini menunjukkan betapa rentannya populasi gajah yang tersisa.

Namun, di balik tragedi itu, upaya penyelamatan tidak pernah berhenti. Way Kambas memiliki Rumah Sakit Gajah, salah satu yang pertama di dunia, tempat para dokter hewan dan perawat satwa berjibaku siang malam menyelamatkan pasien-pasien berbadan raksasa. 

Ada pula Elephant Response Unit (ERU), garda depan yang berpatroli di hutan untuk mencegah konflik gajah-manusia, memastikan kawanan tidak tersesat masuk ke lahan pertanian warga.

Sungguh, inilah wajah Wildlife in Crisis: kisah-kisah pilu dan fakta mencengangkan di balik ancaman kepunahan gajah Sumatra-satwa karismatik yang kini menggantungkan harapannya pada uluran tangan manusia.

Karena itu, dukungan masyarakat luas menjadi kunci. Kita bisa memulainya dari hal sederhana: tidak membeli produk berbahan satwa liar, mendukung konservasi lewat donasi atau kunjungan edukatif, hingga menyebarkan kesadaran lewat tulisan. 

Pada akhirnya, penyelamatan gajah Sumatra bukan hanya tugas Way Kambas, melainkan tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa yang berhutang pada alamnya.

Harapan dari Konservasi

Way Kambas bukan sekadar kawasan konservasi biasa. Di sinilah pusat pelatihan gajah pertama di Indonesia berdiri sejak 1985. Kini, fasilitasnya terus berkembang, termasuk rencana perluasan area penangkaran seluas 20 hektar untuk mendukung gajah dan badak Sumatera.

Program reforestasi juga berjalan. Berbagai komunitas menanam pohon endemik untuk menyediakan pakan alami dan memulihkan jalur migrasi. Upaya ini melibatkan masyarakat, perusahaan, hingga organisasi internasional. Kesadaran bahwa nasib gajah tak bisa ditanggung satu pihak saja semakin menguat.

Kelahiran bayi gajah 2024 dan 2025 menjadi bukti nyata bahwa konservasi memberi hasil. Setiap kehidupan baru adalah titik balik, seolah gajah ingin menyampaikan pesan: “Selama kalian peduli, kami masih bisa bertahan.”

Menjadi Suara bagi yang Tak Bisa Bicara

Di balik tubuh besarnya, gajah tidak mampu menyampaikan pesan mereka dengan kata-kata. Mereka hanya meninggalkan jejak di tanah, lenguhan rendah di hutan, atau tatapan sayu ketika terjerat. Di sinilah manusia ditantang untuk menjadi penyambung suara mereka.

Speak for the Species, tema yang diusung dalam peringatan World Animal Day tahun ini, menjadi pengingat bahwa suara kita bisa menentukan masa depan satwa karismatik Indonesia. Menjaga gajah berarti menjaga hutan. Menjaga hutan berarti menjaga air, udara, dan kehidupan manusia sendiri.

Ketika gajah bicara, pesan yang terdengar sesungguhnya sederhana: jangan biarkan jejak kami hilang. Jangan biarkan anak-anak manusia tumbuh di dunia tanpa gajah, tanpa suara lenguhan di hutan, tanpa raksasa lembut yang telah hidup berdampingan dengan kita selama ribuan tahun.

Penutup

Nasib gajah Sumatera kini berada di persimpangan: antara ancaman kepunahan dan peluang keselamatan. Way Kambas menjadi saksi dari dua wajah itu- kematian yang memilukan sekaligus kelahiran yang membawa harapan.

Sebagai manusia, kita punya pilihan: menutup telinga, atau mendengar pesan dari rimba.

Karena ketika gajah bicara, sejatinya mereka sedang mengingatkan kita bahwa menjaga mereka berarti menjaga masa depan kita sendiri.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Animal Global Writing Competition dengan tema Speak for the Species.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun