Bayangkan sebuah sore biasa di kompleks perumahan: anak-anak berlarian, tetangga menyiram tanaman, pedagang keliling tersenyum. Di sela itu, kamu berjalan kaki-bukan sekadar untuk sehat, tapi menemukan momen yang jarang terjadi, yang membuatmu tersenyum diam-diam. Jalan kaki, yang tampak sederhana, ternyata bisa menjadi panggung one in a million moment, sekaligus membangun ikatan sosial yang hampir terlupakan di tengah gawai dan hiruk-pikuk kota.
Setiap sore, di banyak kompleks perumahan dan gang perkampungan, ada ritual sederhana yang kerap luput dari perhatian: orang-orang berjalan kaki. Ada yang menggandeng anak, ada yang mendorong stroller, ada pula pasangan lansia yang saling menopang. Bagi sebagian orang, ini hanyalah aktivitas pengisi waktu. Namun, jika ditelisik lebih jauh, jalan kaki menyimpan makna lebih dalam.
Selama ini kita memahami jalan kaki sebagai common sense: sesuatu yang wajar, masuk akal, bahkan terlalu sederhana untuk dipersoalkan. Semua orang tahu bahwa berjalan kaki menyehatkan tubuh. WHO merekomendasikan aktivitas fisik ringan minimal 150 menit per minggu, dan jalan kaki menjadi cara paling murah untuk mencapainya.Â
Namun, di balik manfaat kesehatan, jalan kaki sesungguhnya juga bisa menjadi civic sense: kesadaran warga untuk saling menyapa, menjaga harmoni, dan membangun kebersamaan di ruang sosial yang makin rapuh.
Dan di sinilah letak keistimewaannya: dalam kesederhanaan langkah kaki sore, kita bisa menemukan one in a million moment. Momen yang tiba-tiba muncul, tak direncanakan, namun membuat hati hangat-entah itu senyum tetangga yang sudah lama tak bersua, tawa anak-anak bermain sepeda, sapaan hangat pedagang keliling, atau kejutan kecil seperti badut yang menghibur.Â
Hal-hal yang tampak biasa ini, bila diperhatikan, menjadi momen langka yang menyehatkan jiwa sama seperti menyehatkan tubuh. Jalan kaki pun berubah menjadi lebih dari sekadar aktivitas fisik: ia menjadi ritual kecil yang menghadirkan kebahagiaan, kedekatan sosial, dan kejutan yang hanya terjadi "satu banding sejuta".
Jalan Kaki sebagai Common Sense
Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah lama mengingatkan bahaya gaya hidup sedentari - hidup minim gerak yang kini menjangkiti masyarakat modern. Setiap tahunnya, sedikitnya 3,2 juta orang di dunia meninggal karena kurang beraktivitas fisik, bahkan dalam beberapa laporan angkanya bisa mencapai 5,3 juta jiwa.
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 33,5 persen penduduk usia di atas 10 tahun kurang beraktivitas fisik, meningkat cukup tajam dari 26,1 persen pada 2013. Dampaknya jelas: angka obesitas nasional mencapai 21,8 persen, sementara kasus penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan jantung terus merangkak naik. Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 64 persen anak usia 10-14 tahun di Indonesia juga tergolong kurang aktif bergerak. Artinya, kita sedang menghadapi bom waktu kesehatan generasi mendatang.