Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi Politik Domestik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Euforia Reformasi ke Ancaman Oligarki: Nasib Pilkada di Persimpangan

1 Agustus 2025   13:40 Diperbarui: 1 Agustus 2025   13:48 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto menggunakan hak pilih di Pilkada 2024, di TPS 008 Bojong Koneng, Bogor (Sumber: KOMPAS.Com)

Sejak reformasi bergulir, hak rakyat memilih pemimpinnya secara langsung, dari presiden hingga kepala daerah, menjadi salah satu tonggak demokrasi terpenting.

Namun, wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. 

Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyentuh inti kedaulatan rakyat dan masa depan demokrasi Indonesia.

Kilasan Sejarah: Dari Dewan ke Rakyat dan Kembali Lagi

Pada masa Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sistem ini dikritik karena menutup partisipasi rakyat dan menguatkan kendali pusat.

Reformasi kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Kebijakan ini disambut hangat sebagai wujud nyata kedaulatan rakyat.

Kini, wacana kembali ke sistem lama muncul dengan alasan menghemat biaya pilkada, mengurangi polarisasi, dan menjamin stabilitas karena kepala daerah akan otomatis didukung legislatif. Sekilas tampak logis, namun risikonya jauh lebih besar.

Ancaman bagi Demokrasi

Mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD berarti memundurkan jam reformasi. Dampak buruk yang mungkin timbul antara lain:

1. Penggerusan Kedaulatan Rakyat
Hak memilih langsung adalah esensi demokrasi. Jika dicabut, kepala daerah lebih loyal pada elite DPRD daripada masyarakat. Ini menciptakan jarak antara pemimpin dan yang dipimpin, sekaligus mengikis kepercayaan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun