Mohon tunggu...
Tomy Revaldy
Tomy Revaldy Mohon Tunggu... Mahasiswa Kelas Pekerja

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Malaikat

21 Maret 2024   16:27 Diperbarui: 21 Maret 2024   16:37 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin ini adalah perlombaan paling besar dan paling sengit yang terjadi di seluruh alam semesta.

Siang itu seorang pria usia pertengahan dua puluhan sedang duduk sendirian di sebuah warung kopi di pinggir jalan ibu kota. Warung kecil dengan teras yang cukup untuk enam orang dengan meja kayu di tengahnya. Pria dengan setelan yang mentereng itu tengah sibuk membolak balik buku catatannya dengan serius. Di dalam catatan itu terdapat beberapa nama. Nama-nama yang mungkin akan ia eksekusi lantaran telah ingkar janji.

Sesekali ia tak lupa menyeruput kopi hitam di sisi mejanya selagi masih panas sembari memeriksa catatannya kembali. Pria yang tampak serius itu adalah Yuda, seorang yang kini telah menekuni pekerjaannya sebagai "petugas keamanan." Ia menjadi pengelola di berbagai tempat yang masuk ke dalam daerah kekuasaan kelompoknya.

Baca juga: Pelukan Mentari

Semua orang yang melihatnya selalu menundukkan kepala disaat ia melintas dan selalu segan saat ia berbicara. Walaupun masih tergolong muda, namanya sudah banyak dikenal oleh banyak orang dari kelompok-kelompok lain. Pria yang mengenakan setelan jas itu menjadi tersohor karena sikapnya yang dingin dan selalu efektif dalam "eksekusi" yang ia jalankan. Ia juga dikenal karena cerdik dan pandai bernegosiasi. Dengan waktu singkat ia sudah mampu berada di atas dan hanya menunggu waktu saja sampai ia mencapai puncak.

Pria yang tengah membalik halaman dengan fokus itu tiba-tiba teralihkan oleh bayangan seseorang yang ada di depannya. Ia menengadahkan pandangannya dan melihat wajah yang sudah lama tak ia lihat. Pria dengan wajah yang masih segar dan berseri dengan kopiah menutupi kepalanya dan sarung melingkar di pinggangnya itu menatap Yuda dengan senyumannya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali seseorang menatapnya seperti itu.

"Apa maumu?" Tanya Yuda ketus.

"Aku hanya ingin menyapa teman lama." Jawab si pria.

Yuda menatapnya dengan tajam setengah keheranan dan kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali tanpa memperdulikan orang di hadapannya itu.

"Kapan ya terakhir kali kita berdua disini? Lima tahun lalu?."

Yuda tak menjawabnya dan masih sibuk dengan catatan kecilnya.

"Aku ingat dulu kita sering makan mie instan atau menikmati kopi bersama disini. Bahkan dulu kau sering kali membayar pesananku."

Di tengah monolognya itu, pria tersebut memesan kopi yang sama seperti teman lamanya.

"Kudengar akhir-akhir ini kau melakukan pekerjaan yang berbahaya."

"Bukan urusanmu." Sahut Yuda.

Ditengah obrolan yang mereka lakukan terlihat banyak anak laki-laki, remaja hingga pria paruh baya melintas di sisi jalan.

"Dulu kita sering seperti ini, sering pergi bersama ke masjid, lalu mampir ke warung ini sepulangnya. Kau bahkan lebih rajin dan taat beribadah melebihiku dan aku sangat kagum padamu saat itu."

"Sudahlah, sebenarnya apa maumu? Lebih baik kau tidak berurusan denganku atau kau akan menyesalinya." Kata Yuda mengancam.

"Aku hanya merindukan teman lamaku, teman yang dulu senang membantu orang lain dan bukan sebaliknya."

"Apa maksudmu?" Tanya Yuda dengan nada agak tinggi.

"Aku rindu saat saat dimana kita berlomba lomba berbuat kebaikan, aku rindu dimana kau selalu mengajakku beribadah, aku rindu dimana kau lebih mementingkan orang lain ketimbang dirimu sendiri."

"Dunia berubah, begitu juga diriku."

"Kau bisa berubah menjadi lebih baik dan aku tau kau pasti bisa Yud."

"Yuda yang kau kenal sudah tidak ada lagi, kau tidak tahu apapun tentangku yang sekarang."

Yuda meletakkan catatan dan bolpoinnya itu dan mulai menaruh pandangannya kepada teman lamanya.

"Aku lelah, aku lelah menjadi orang baik. Aku lelah menjadi kalah, aku lelah menjadi rendah. Di dunia yang kita tinggali sekarang. Kebaikan tak dapat membuat kita bertahan. Kebaikan hanya akan membuat kita terbuang. Aku lelah menjadi hina."

"Di dunia ini yang paling tega adalah pemenangnya. Dunia ini bukanlah tempat untuk manusia, dunia ini mengajarkan kita menjadi iblis yang sebenarnya."

Pria yang sedang dihadapan Yuda pun hanya bisa terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh teman lamanya itu, bahkan ketika menerima kopi yang telah dipesannya ia hanya melihat itu sebagai kenangan.

Pria ini adalah malaikat yang hanya ditugaskan untuk mengingatkan Yuda hingga lehernya tumbuh jakun. Tapi ia malah merasa simpati dan menemani Yuda sedari kecil hingga sekarang, walaupun Yuda tak mengetahuinya. Ia tak ingin Yuda masuk neraka. Ia tak ingin Yuda menjadi manusia yang gelap mata. Bagi malaikat, ini bukanlah hanya sekedar tugas.

Dulu, Yuda adalah anak yang sangat baik. Ia tak pernah berpikiran jahat sekalipun ia sering menerima perlakuan jahat. Hatinya sangatlah bersih dan suci. Tak ada kebencian yang menyelimutinya. Yuda selalu senang membantu orang lain.

Dahulu, keluarga Yuda bisa dibilang berkecukupan. Namun semua berubah saat usaha ayahnya gulung tikar. Lalu mereka hanya tinggal di rumah kecil dan kebanyakan hartanya dijual untuk kebutuhan hidup. Berkali-kali mencoba usaha lain namun tak ada yang berhasil.

Hingga pada akhirnya ayahnya bekerja sebagai penjual bakso, meskipun tidak sebesar usahanya yang dulu, tapi masih cukup untuk sehari-hari. Suatu hari, karena kelelahan, ayahnya memasukkan terlalu banyak garam hingga rasanya seasin air laut. Pelanggan tak terima dan meludahi baksonya dan memaksa ayah Yuda untuk memakannya. Mencekik ayahnya dan mengumpat dengan kata-kata kasar. Orang-orang hanya bisa melihat karena pelanggan itu merupakan orang terpandang disekitar. Tak ada yang berani dengannya.

Yuda yang melihat itu langsung melayangkan tinjunya ke wajah pelanggan itu, membuatnya jatuh tersungkur. Yuda terus menghantam pria itu dengan pukulannya hingga babak belur. Darah bercucuran dari hidung dan mulutnya. Orang-orang disana langsung memisahkan mereka dan pria yang wajahnya penuh luka itu kabur tunggang langgang dengan mobilnya. Orang-orang yang tadi melerai mereka perlahan meninggalkan Yuda dan Ayahnya sendirian. Tak dipedulikan dan tak dianggap. Ia akhirnya sadar bahwa dunia ini memang sangatlah kejam.

Yuda tahu ia tak aman, bahkan mungkin keluarganya dalam ancaman. Ia memutar otak agar bisa selamat. Hingga akhirnya ia bertemu dengan teman baru, teman yang nantinya dapat membuat ia nekat.

Ada banyak hal yang mengisi kepala Yuda. Otaknya membeku dengan pikiran-pikirannya. Ia pikir ini adalah jurang kematian. Sudah pasti ayahnya tak dapat berjualan lagi dan entah bagaimana nasib keluarganya nanti. Orang yang baru dihajarnya pasti tidak akan tinggal diam. Ia pasti akan membuat Yuda dan keluarganya merasakan penderitaan.

Di tengah kebuntuannya, datang seorang pria yang berdiri di hadapan Yuda. Pria dengan setelan necis dengan kemeja panjang. Rambutnya disisir licin ke belakang. Menawarkan Yuda keselamatan.

"Aku melihat yang terjadi tadi siang. Sungguh jahat ya dunia yang kita tinggali. Untuk itu sudah sewajarnya kita jadi jahat juga. Bahkan harus jadi yang paling jahat." Ucap pria necis itu.

Pria yang sedang kalut itu bertanya siapakah orang yang sok akrab ini.

"Kau bisa memanggilku teman, teman yang akan bisa membantu dengan kesulitanmu. Orang yang kau hajar tadi siang itu memang menyebalkan, Itu sebabnya akan kami singkirkan."

"Lalu apa hubungannya denganku?."

"Aku rasa kau cocok. Orang tangkas dan pemberani sepertimu sangatlah dibutuhkan di kelompok kami."

"Aku tak ingin menjadi orang jahat."

"Sampai kapan kau menutup mata? di dunia ini, jika kau tak jahat maka kau akan habis. Entah jadi gila atau mati konyol. Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi waktumu tidak banyak. Hubungi aku jika kau berminat."

Pria dengan rambut licin itu memberikan nomor kontaknya dan perlahan pergi meninggalkan Yuda.

Kini, hanya penyesalan yang ada pada Malaikat. Ia tak bisa menyelamatkan teman yang ada di hadapannya ini.

Lamunannya dipecahkan oleh suara mobil yang berhenti tepat di sisi mereka. Seorang pria di kursi belakang menurunkan kaca mobilnya. Pria dengan setelan yang tak kalah mentereng dari Yuda dan ia mengenakan kacamata dengan lensa berwarna kemerahan.

Tanpa pikir lama, orang yang baru saja selesai bicara itu mengangkat pantatnya dan segera masuk ke dalam mobil sedan mewah itu dan meninggalkan teman lamanya.

Pria dengan kacamata merahnya itu menatap malaikat dengan senyum yang sedikit mengejek.

"Tak ada yang bisa kau lakukan, aku adalah pemenangnya. Beri tahu pada bosmu bahwa manusia sudah tak bisa diselamatkan." Ujar pria yang baru datang itu pada Malaikat.

Setelah ucapan pria itu, mobil itu pun pergi membawa Yuda dan meninggalkan Malaikat sendirian.

Malaikat sedih dan sejenak mengira bahwa Yuda akan selamanya pergi, namun keyakinannya muncul lagi sebagaimana ia selalu yakin pada Yuda sebelumnya.

"Aku tahu kau tak akan pergi untuk waktu yang lama, aku tahu kau pasti akan kembali, teman lamaku."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun