Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Twig & Burgeon

23 Desember 2020   18:06 Diperbarui: 6 Januari 2021   07:22 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka menghormati perjanjian kedua negara seperti kitab suci dan seakan menyamakan Raja pertama mereka masing-masing sebagai dewa yang dikagumi. Betul-betul menyajikan neraka dunia bagi sesiapa pun yang tak tunduk.

Twig menatap ke arah timur. Cahaya krepuskular menembus bebatuan bagaikan bongkah permata. Di antara permata itu sebuah dinding tinggi menjulang hampir setara tinggi bukit; tepat di tempat berdirinya pasar perbatasan dulu. Dinding itu dibangun selama delapan tahun sejak pasar dilenyapkan, bagi Twig dinding besar dan sangar itu adalah pusara kenangannya. 

Selama bertahun-tahun, setiap saat terbangun dari tidur ia selalu menatap ke arah sana sembari mengucapkan selamat pagi kepada kekasihnya yang entah dimana. Ia tak lagi tahu apakah Burgeonnya masih mengingatnya, atau mungkin ada orang lain yang telah sedia meminangnya.

Ketika Twig keluar dari kamar, ia melihat Ibu tampak resah. Rupanya, Duncan; anak terakhir di keluarga tersebut kembali jatuh sakit. Sejak lahir, Duncan memang rentan mengalami panas tinggi. Sejak malam tadi, Duncan tak mau memakan apa pun. Twig masuk ke dalam kamarnya dan bertanya kepada adik kecilnya,

"Kau ingin makan apa?" tanyanya sembari mengusap kening adiknya yang mendidih.

Duncan hanya menggeleng. Ibu Twig memanggil seorang tabib ke rumah. Tabib itu pun menyarankan kepada Ibu Twig agar Duncan diberikan daging rusa. Segera saja Twig menuju pasar untuk mencarikan daging rusa yang diperlukan namun di segala sudut pasar tak ditemuinya sama sekali. 

Akhirnya Twig meminta izin kepada ayahnya untuk pergi berburu. Dengan membawa puluhan anak panah serta bekal makanan dari ibunya, Twig berjalan ke arah padang hijau di bukit. Ia senang sebab berkesempatan untuk mendekat kepada cahaya krepuskular yang semenjak tadi memancar indah dari tempat itu.

Twig mengarahkan anak-anak panahnya mengintai kawanan rusa. Namun sungguh sayang, hingga anak panahnya tersisa satu buah saja dia tak berhasil menangkap apa-apa. 

Twig letih, membuka bekal yang disediakan oleh Ibunya. Dia melihat di sekitar, mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan hidangan sederhana tersebut. Tiba-tiba matanya tertarik kepada sebuah lubang setinggi setengah tubuhnya, lubang itu tertutup tanaman menjalar di sebagian besar pintunya. 

Twig menyibak tirai alam itu dan betapa terkejutnya ia ketika menemukan bahwa lubang itu rupanya merupakan gua yang sangat indah dengan cahaya krepuskular memancar dari atapnya, cahaya yang berkali-kali lebih menawan dari yang bisa dia lihat menembus bukit setiap pagi. 

Twig tertegun dan memutuskan untuk menyantap bekalnya di gua itu sembari menghibur hatinya yang kecewa tak memperoleh satu pun rusa untuk Duncan
hari ini. Usai menyantap makanannya, Twig tertidur lelap. Sangat-sangat lelap sebab tempat itu menyimpan kesunyian surgawi yang hanya berhias suara merdu nyanyian burung kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun