Saat Yani berpamitan, dia menatapku lama.
Ada sesuatu di matanya --- sesuatu yang ingin dikatakan tapi tak jadi.
"Mas..." suaranya pelan. "Kita bakal ketemu lagi nggak ya?"
Aku tersenyum, pahit.
Sedikit menunduk sebelum menjawab.
"Pertemuan ini... mungkin memang berkesan," kataku perlahan.
"Karena kita sama-sama salah waktu. Tapi hidup nggak berhenti di sini, Yan.
Kamu punya jalanmu sendiri. Aku juga.
Kenangan ini... biar jadi cerita kecil yang kita simpan. Tapi jangan terlalu sering menoleh ke belakang."
Aku melihat wajahnya menegang sejenak, lalu mengendur dalam pasrah.
"Kenang saja perjalanan singkat ini," tambahku, nyaris berbisik.
"Hanya itu."
Sebuah anggukan pelan dari Yani.
Lalu kendaraan travel datang, menghentikan percakapan yang mungkin bisa berlarut-larut kalau kami terlalu lemah.
Aku melihat punggungnya menjauh, lalu menghilang di balik pintu mobil.
Aku sendiri bergegas ke stasiun, mengejar kereta yang akan membawaku pulang.
Pulang ke hidup yang nyata.
Pulang ke wanita yang setiap malam menungguku, tak pernah tahu betapa besarnya godaan di tengah jalan.
Dua hari bersama Yani bukan sekadar perjalanan ---
itu adalah ujian.
Ujian yang diam-diam membakar, lalu diam-diam kupadamkan sendiri.
Dan kini, di dalam deru kereta yang meninggalkan Semarang, aku tahu:
beberapa kenangan memang harus cukup dikenang.
Tidak lebih.