"Katanya aku pustakawan," lanjutnya, "padahal kuliahku bukan ilmu perpustakaan."
Aku tertawa kecil. "Sama. Aku juga pustakawan. Bagian referensi."
Dia mengerutkan kening. "Referensi itu apa ya? Maklum, aku pustakawan karbitan."
"Bagian referensi itu kayak tukang jawab," kataku. "Kalau ada orang cari informasi, kita yang bantu nemuin jawabannya."
"Oh, gitu..." katanya, manggut-manggut.
"Kalau di tempatku semua kerjaan campur aduk. Maklum, perpustakaannya kecil. Kadang jadi resepsionis, kadang kayak tukang sapu."
Aku tersenyum. Ada sesuatu dalam nada bicaranya --- getir, tapi juga enteng, seperti sudah berdamai dengan keadaan.
Obrolan ngalor-ngidul terus mengalir, membuat kami cepat akrab.
Kami sudah saling memanggil nama. Tapi Yani tetap menambahkan "Mas" di depan namaku --- mungkin kebiasaan, mungkin bentuk jarak yang sopan.
Waktu merangkak.
Hari makin siang. Sepertinya tak ada lagi peserta yang salah jadwal seperti kami.
Menjelang makan siang, perut kami mulai protes.
Kami menyusuri lorong-lorong kantor itu dan menemukan kantin kecil di belakang gedung.
Nasi soto jadi pilihan aman.
Sambil makan, obrolan kami terus berputar, entah soal kuliah, kerjaan, atau sekadar bercanda soal betapa konyolnya nasib kami hari itu.
Setelah kenyang, kami kembali ke ruang tunggu --- satu-satunya tempat yang rasanya sudah mulai terasa seperti "wilayah kami".