"Sudah ada satu peserta lagi, Pak," kata pegawai itu, entah untuk menghibur atau menambah rasa sialku.
"Sama, dia juga nggak sempat nerima pengumuman. Ayo, saya kenalkan."
Dia membawaku ke sudut ruang tunggu.
Di sana, seorang perempuan duduk sambil memeluk tas ranselnya, matanya kosong, mungkin sama bingungnya denganku.
"Mbakyu, ini ada teman seperjuangan," kata pegawai itu. "Nanti Bapak dan Mbak tunggu saja di sini. Siang nanti kalau sudah pasti nggak ada peserta lain, saya antar ke lokasi. Di sana ada mes. Bisa nginap. Lokasi acara juga dekat, tinggal jalan kaki."
"Baik, Mas," jawabku, hampir bersamaan dengan perempuan itu.
Setelah pegawai itu pergi, aku menoleh ke perempuan itu.
"Yani," katanya sambil tersenyum kecil.
Umurnya mungkin sekitar 25-an.
Wajahnya manis, bulat khas Jawa.
Kulitnya hitam manis, rambut lurus sebahu, gerak-geriknya sederhana tapi enak dilihat.
Tingginya sedang, mungkin sekitar 160 cm.
Singkatnya: cukup membuat pagi sialku terasa sedikit kurang sial.
Setelah perkenalan singkat, kami ngobrol sambil menunggu mobil yang akan mengantar kami ke mes.
"Mbakyu kerja di bagian apa di kantor itu?" tanyaku, berusaha memecah kekakuan.
"Oh, aku di perpustakaan," jawab Yani sambil tersenyum kecil. "Sambil kuliah juga, di kampus swasta. Ngambil jurusan yang... ya, setidaknya masih nyambung sama kantor.
Kerja di perpustakaan ini cuma numpang lewat, sih. Mimpi besarnya pindah jadi peneliti di departemen."
Dia menghela napas, entah lelah atau malas membahas kenyataan.