Aku keluar kamar dan duduk di teras, secangkir kopi di tangan.
Tak lama, Yani muncul membawa dua cangkir.
Dia menyodorkan satu untukku tanpa banyak kata.
"Mas," katanya sambil tersenyum, "hari ini kita kemana?
Kemarin kan sudah keliling kota. Aku lihat, nggak jauh dari sini ada bukit.
Gimana kalau kita ke sana?"
Aku mengangguk. "Boleh. Tapi nanti agak siangan, biar nggak licin."
Siang itu, kami mendaki bukit kecil di dekat mes.
Batu-batu basah sisa embun membuat langkah kami licin.
Beberapa kali Yani kehilangan keseimbangan dan akhirnya menggenggam tanganku --- ragu-ragu di awal, lalu makin erat.
Aku membalas genggamannya, setengah spontan, setengah sadar.
Kami terus berjalan, kadang tertawa, kadang saling mendiam.
Di puncak bukit, dunia terasa lapang.
Hanya kami berdua di sana, di bawah langit luas.
Sejenak aku lupa.
Lupa bahwa di rumah ada seseorang yang menungguku --- seorang istri, seorang anak.
Mereka ada di ujung lain dari hidupku.
Sementara di sini, di antara tawa kecil dan genggaman tangan, ada percikan api yang bisa membakar semuanya.
Aku menarik napas panjang, dalam.
Aku tahu aku harus berhenti.
Aku harus menjauh --- dari pemandangan ini, dari Yani, dari diriku sendiri.
Kami turun perlahan.
Masih berpegangan tangan, tapi kini genggamanku dingin, kaku, seperti tali tambang yang menahan sesuatu agar tidak jatuh.
Minggu sore, peserta lain mulai berdatangan.
Yani dipindahkan ke mes putri seperti rencana semula.
Aku merasa lega, sekaligus kehilangan.
Senin pagi, lokakarya dimulai.
Dua hari penuh diisi sesi-sesi resmi, ceramah, diskusi.
Segalanya kembali normal, atau pura-pura normal.
Selasa malam, peserta mulai pulang ke kota masing-masing.
Aku pun bersiap pulang --- membawa pulang bukan hanya baju kotor dan buku catatan, tapi juga sebuah rahasia kecil yang hanya aku sendiri yang tahu.