"Mas, mau tanya," kataku.
Pegawai itu tersenyum kaku. "Ya, silakan."
"Peserta lokakarya ini... kumpul di sini, kan?" Aku sodorkan undangan.
Dia membaca sekilas, lalu mengangguk. "Betul, Pak. Tapi lokakaryanya diundur. Baru mulai Senin depan."
Aku terdiam. Senin depan?
Hari ini baru Jumat.
"Lho, kok enggak ada pemberitahuan?" suaraku meninggi, lebih ke diri sendiri sebenarnya.
"Ada, Pak," katanya cepat, suaranya entah bersalah entah sekadar basa-basi. "Cuma... pemberitahuannya mendadak. Mungkin belum sampai ke Bapak."
Mendadak.
Semuanya di negeri ini memang selalu mendadak.
Aku menghela napas panjang, mencoba menelan kenyataan.
Pulang ke kotaku? Mustahil.
Tiket mahal, belum tentu dapat.
Balik lagi dua hari kemudian? Lebih tolol lagi.
Aku merasa seperti sepotong sandal yang ketinggalan di halte --- tidak berguna, tidak tahu harus ke mana.
Waktu itu, komunikasi belum semudah sekarang.
Belum ada WhatsApp, belum ada internet di kantong.
Kalau ada berita penting, ya bisa saja nyangkut di jalan, hilang sebelum sampai tujuan.
Itulah yang terjadi. Pengumuman tentang pengunduran lokakarya entah tersesat di mana. Aku berangkat tanpa tahu apa-apa.