Kelemahan dalam Business Insolvency Â
Indonesia mendapat skor rendah pada indikator Business Insolvency (57/100) karena tingginya biaya proses kepailitan dan kurangnya efisiensi dalam sistem hukum kepailitan.Â
Menurut Norman Loayza, Direktur Global Indicators Group Bank Dunia, biaya kepailitan di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara dengan sistem yang lebih efisien.Â
Hal ini menghambat penyelesaian kasus kepailitan secara cepat dan transparan, sehingga mengurangi kepercayaan investor terhadap kepastian hukum di Indonesia.
Keterbatasan dalam Financial Services dan Market Competition Â
Skor rendah pada Financial Services (57/100) dan Market Competition (52/100) mencerminkan tantangan dalam akses pembiayaan dan transfer teknologi. Indonesia belum optimal dalam menyediakan infrastruktur untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fasilitas pembiayaan yang mendukung pelaku usaha.Â
Selain itu, rendahnya skor Market Competition menunjukkan adanya hambatan dalam menciptakan pasar yang kompetitif, seperti regulasi yang kurang mendukung persaingan usaha dan dominasi beberapa pelaku besar di pasar tertentu.
Ketimpangan Layanan Publik Antar-Daerah Â
Laporan B-Ready menyoroti ketimpangan kualitas layanan publik antar-daerah di Indonesia. Proses pendirian usaha dapat memakan waktu 3 hingga 80 hari tergantung pada lokasi, yang menunjukkan kurangnya standarisasi pelayanan di tingkat lokal. Infrastruktur layanan publik yang belum merata, terutama di daerah luar Jawa, menjadi salah satu penyebab utama rendahnya efisiensi operasional.
Implikasi Ekonomi dan Tantangan ke Depan
Rendahnya capaian Indonesia dalam B-Ready 2024 memiliki implikasi signifikan terhadap daya tarik investasi dan pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan motor utama untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029, sebagaimana dicanangkan oleh pemerintah.Â