Tulisan ini akan menganalisis rendahnya capaian Indonesia dalam B-Ready 2024, faktor-faktor penyebabnya, dan langkah strategis yang dapat diambil untuk memperbaiki iklim usaha.
Capaian Indonesia dalam B-Ready 2024
Laporan B-Ready 2024 menilai Indonesia berdasarkan 10 aspek yang mencerminkan siklus bisnis, mulai dari pendirian usaha (Business Entry), lokasi usaha (Business Location), hingga kepailitan (Business Insolvency).Â
Indonesia mencatatkan skor tertinggi pada aspek Labor (72/100), diikuti Utility Services (71/100), dan Business Location (68/100). Capaian ini menunjukkan kekuatan Indonesia dalam menyediakan pusat ketenagakerjaan, pelatihan kerja, akses internet dan air, serta informasi transparan terkait perizinan dan zonasi lahan. Namun, Indonesia mendapat skor rendah pada tiga indikator utama: Financial Services (57/100), Business Insolvency (57/100), dan Market Competition (52/100).
Secara keseluruhan, Indonesia memperoleh skor agregat 63, menempatkannya pada peringkat 20 dari 50 negara yang disurvei, dan peringkat ketiga di ASEAN setelah Singapura dan Vietnam.Â
Skor pada pilar Regulatory Framework (64) dan Public Services (63) berada sedikit di atas rata-rata, sementara Operational Efficiency (61) berada di bawah rata-rata 50 negara.Â
Meskipun tidak ada peringkat resmi dalam laporan B-Ready, penghitungan internal Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan posisi Indonesia yang cukup kompetitif, namun masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Singapura dan Vietnam, yang memiliki proses bisnis lebih efisien.
Faktor Penyebab Rendahnya Capaian
Kompleksitas Proses Pendirian Usaha Â
Salah satu kelemahan utama Indonesia adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendirikan usaha, terutama bagi investor asing. Laporan B-Ready mencatat bahwa proses Business Entry di Indonesia memakan waktu hingga 65 hari, jauh lebih lama dibandingkan Singapura dan Vietnam yang hanya membutuhkan 7-10 hari.Â
Birokrasi yang berbelit, rendahnya kualitas layanan publik di beberapa daerah, dan kurangnya transparansi dalam proses perizinan menjadi faktor utama. Meskipun sistem Online Single Submission (OSS) telah diterapkan untuk menyederhanakan perizinan, banyak pengusaha masih menghadapi kesulitan dalam memahami persyaratan dokumen, yang menyebabkan proses menjadi lambat dan tidak efisien.