Mohon tunggu...
Ayang
Ayang Mohon Tunggu... Konsultan - None

Just none.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Era Kopi Tanpa Kedai? 'Just-Pretending-Leisure' Class Kehilangan Penanda

15 Juni 2020   22:57 Diperbarui: 19 Juni 2020   00:14 2860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coffee and cafe [dmarge.com via BudayadanTeknologi.com]

"Coffee dan cafe; kopi dan kedai; kiranya aku dan kamu. Tanpa coffee, cafe sepi belaka. Tanpa cafe, coffee terasa hambar"

Starbucks mengumumkan rencana penutupan 400 cafe-nya selama 1,5 tahun. Saat buka kembali, cafe-cafe itu akan lebih mirip (fungsinya) 'booth kopi di pojok mall' dibandingkan sebuah kedai.

-- artikel ini di-back up pula di salah satu blog pribadi, BudayadanTeknologi.com --

Mungkin saja, oleh sebab itu, pada salah satu Sabtu di Juni tahun depan, seorang pekerja pemula kerah putih, kelahiran tahun 2000an, yang tiada kenal wujud pohon kopi, dan tak pernah menggenggam biji-biji kopi, melahirkan untaian baris kalimat di atas.

Ia seolah-olah sedang menulis puisi rindu kepada kekasih, menyatakan betapa merana dirinya tanpa kehadiran si kekasih hati. Tetapi tak! Sesungguhnya si pemuda sedang pamer, atau tepatnya memanipulasi citra sosial dirinya kepada si kekasih. Ia mau tunjukkan keakraban dengan gaya hidup para seniornya di kantor.

Para senior kantornya, oleh lama masa kerja, berpendapatan sebulan yang  cukup untuk dibelanjakan sedikit pada cangkir-cangkir kopi yang overpriced.

Para senior itu sudah mampu mengupah asisten rumah tangga, atau membeli mesin cuci dan robot pengepel lantai --seperti kepunyaan Marshanda, si 'Lala kesayangan Ibu Peri' yang kini single mom-- sehingga tersisa cukup waktu dalam hidup mereka untuk dibelanjakan dengan kongkow-kongkow di cafe.

Sejatinya si pemuda tak sungguh suka kopi. Ia juga tak punya cukup uang untuk ngopi di cafe andai pembelanjaan upahnya diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan, bukannya pada hasrat untuk dipandang sebagai bagian dari 'kelas-para-senior' di kantor.

Sejatinya pula si pemuda tidak punya cukup waktu luang. Ia pula kerja membawa setumpuk berkas yang diserahkan boss di ujung jam kerja.  Ia harus memeriksa berkas-berkas itu, memperbaiki yang kurang agar esok pagi bisa mengembalikan kepada si boss dalam kondisi sudah beres.

Coffee dan Cafe, Penanda Semu Kelas Menengah Perkotaan

Yakinlah, masing-masing kita menemukan sosok pemuda seperti ini, setidaknya pada seorang di antara kenalan yang sering mampir atau mungkin cuma pernah sekelebat lewat dalam hidup kita. Atau bisa pula kitalah pemuda itu, entah kita yang sudah lampau, atau masih hingga kini.

Sebab demikianlah kenyataan masa kini yang pernah disimpulan Baudrillard pada masyarakat era 1960an. The Consumer society, masyarakat yang mementingkan perilaku konsumtif, ketimbang produktif.

Individu-individu warga consumer society mengonsumsi nilai tanda, bukan nilai guna produk. Mereka menikmati petanda sebagai asosiasi dari produk yang berfungsi sebagai penanda. Petanda yang diwakili tak berhubungan dengan manfaat, fungsi, atau guna sejati produk tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun