Mohon tunggu...
Theresia Martini
Theresia Martini Mohon Tunggu... Pencinta Keheningan

Menulis adalah tantangan jiwa, mengalahkan diri, sejauh kaki terus melangkah ke depan

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Di Atas Rel yang Sunyi, Aku Menemukan Diriku yang Hilang

15 Mei 2025   00:00 Diperbarui: 15 Mei 2025   00:00 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Di Atas Rel Sunyi, Aku Menemukan Diriku yang Hilang (Sumber: Istockphoto.com)

Di Atas Rel yang Sunyi, Aku Menemukan Diriku yang Hilang

"Mudik telah menjelma menjadi magnet bahagia bagi jiwa-jiwa yang menyimpan kenangan rindu dalam diam"

Ada alasan yang begitu kuat yang membuat aku lama tak pulang. Bukan karena aku lupa jalan pulang, namun karena aku takut menghadapi sesuatu yang dahulu pernah kutinggalkan.

Sehingga perjalanan pulangku kali ini, muncul perasaan lain yang menemani diriku. Aku sendiri tak mengerti, "Apa yang terjadi pada diriku saat ini?

Mengapa perjalanan mudik kali ini terasa berbeda dari sebelumnya?" demikian tanya itu menggema dalam hatiku.

Kereta yang aku tumpangi terus melaju tanpa ragu. Ia bukan bukan sekadar mengantarkan tubuhkku pulang, tetapi membawa diriku menjumpai bagian dari diriku yang telah lama menghilang dan lama kuhindari.

Kala mentari bersandar di ufuk barat, di salah satu bangku tua di Stasiun Gambir, aku duduk seraya menatap nanar kerumunan manusia yang sibuk menyelesaikan urusannya masing-masing.

Dalam hitungannya detik pun perlahan berpindah ke menit dan kereta jurusan Jakarta-Yogyakarta akan segera berpamitan meninggalkan stasiun, bersiap mengiringi perjalanan hati, lalu mencatat setiap kisah yang akan terjadi nanti.

Sambil menunggu sang waktu yang siap bergegas melangkah pergi, sekilas bayang yang tersamar melintas di pelupuk mata, mengajak hati menjelajah lorong kenangan yang sebentar lagi akan dilalui

Perjalanan mudik yang bukan hanya sekadar mengantar diriku menjumpai atap yang dahulu pernah menjadi tempat berteduh dan menjadi pelindung tubuhku sebagai penghuninya.

Tetapi perjalanan ini, juga menjadi nyanyian langkah dalam menyusuri kenangan jiwa yang sejak lama saya sembunyikan dalam diam.

Sudah terlalu lama aku meninggalkan tempat itu, tempat yang seharusnya membuatku tersenyum bahagia dalam kehangatan cinta.

Ternyata aku lebih memilih untuk bergulat lalu mengalahkan kebisingan ibu kota, dengan berbagai kesibukan sebagai ladang pengabdian, yang dihiasi dengan rangkaian tanggung jawab.

Hingga akhirnya tanpa aku menyadari telah membuat diriku lupa dengan kata 'rumah' sebagai ruang bertabur tawa dan derai air mata dalam peluk dan kehangatan cinta bernama "keluarga"

Bagi banyak orang, rumah bukan sekadar tempat untuk meletakkan kepala dan menikmati sesuap nasi, namun rumah adalah tempat jiwa yang merindu, tempat yang mengingatkan kembali siapa diri kita.

Dari rumah itulah kita berasal, dan di sanalah kita mengenal sosok penuh kasih, yang kita panggil bapak dan ibu.

Rumah bukan sekadar bangun geometri dengan atap dan dinding pembatas dari setiap ruang. Tetapi rumah adalah pelukan diam, yang tak pernah menutup pintu, meski berpeluh lelah dan luka.

Bahkan, rumah akan menjadi sajak dan nyanyian sunyi yang tak pernah usang meski tak bersuara.

Namun setia memberikan cintanya, meski terkadang kita melupakan betapa bahagianya kita memiliki "rumah"

Lamunan terhenti, ketika suara gemuruh rel menyapa membentur roda besi, sebagai pertanda tubuh deretan gerbong mengular. Kereta itu pun datang.

Sejenak aku pun mengikuti langkah kakiku yang mengajak diriku berpindah mendekati pintu gerbong kereta. Lalu  menuju kursi yang berada dekat jendela, tempat tubuhku bersandar dengan nyaman.

Bagiku, tempat ini begitu nyaman sehingga dari balik jendela, mataku berlayar bebas menjelajah lautan kenangan hidup yang kulalui. Aku pun meletakkan tas di bawah tempat dudukku itu.

Dalam hitungan menit, rel kereta, sang pengantar rindu yang kembali sunyi, akan segera melaju riuh, tanpa mampu menebak apa yang terjadi di depan. Layaknya perjalanan hidup yang tak pernah benar-benar bisa ditawarkan.

Terkadang, hidup kita rasakan begitu nyaman, namun juga terkadang penuh dengan guncangan hingga nyaris membuat hidup menjadi goyah, bahkan hidup terkadang menjadi cawan rindu bagi mereka di tempat yang jauh.

Ketika kereta - sebagai pengantar rindu - melaju, sejumlah bayangan seakan berlarian dan tertinggal di belakangku.

Terlihat wajah Jakarta yang hingar bingar, mulai berlalu dan berganti dengan wajah dari kehidupan yang berbeda, yang hanya terlihat memiliki jalan yang sempit atau rumah yang sepi.

Menyaksikan pemandangan berlalu, terdengar suara lirih membisik kembali menghampiri sudut hati kecilku, mengaduk seluruh perasaan hingga menjadi satu, dan menyajikannya di atas meja ingatanku.

Ada perasaan rindu, sesaat menyelinap dalam dadaku, seakan rindu dan keberanian untuk menerimanya begitu dekat untuk menjumpainya, tetapi di balik perasaan itu, muncul juga perasaan lain yang belum pernah aku selesaikan.

Hati ini semakin ragu, dan semakin bingung tak menentu, sementara waktu sekan tak mau peduli untuk terus berlalu. Demikian kereta yang  membawa aku semakin mendekati rumah, sekaligus perasaan yang tersimpan dan belum pernah aku selesaikan.

Terlihat seorang nenek duduk bersebelahan dengan diriku. Tampaknya nenek itu sedang melakukan perjalanan seorang diri saja.

Perbincangan ringan tercipta di antara kami. Dari mulutnya, deras mengalir kisah pengalaman dirinya ketika melakukan perjalanan mudik.

"Nak, kamu harus mengerti bahwa mudik itu bukan sekadar bertemu keluarga. Namun juga tentang bagaimana kita dapat berdamai dengan diri sendiri" demikian pesan yang meluncur bijak dari mulut sang nenek.

Entah mengapa, kisah pengalaman sang nenek yang mengklaim dirinya rutin melakukan perjalanan mudik di setiap tahunnya, telah menyentuh kedalaman relung hatiku, seakan mengalir sejuk lebih dari yang aku bayangkan tentang makna pulang mudik.

Batuk kecil, mulai terdengar di antara kisah sang nenek, membuat aku sadar bahwa kita memang butuh waktu untuk mencari dan menemukan atas banyak hal yang belum selesai.

Perjalanan kali ini aku rasakan memang ada satu hal yang berbeda, seakan aku merasakan ada bagian dari diriku, yang kini kembali mulai terbuka.

Mungkinkah, magnet cinta yang di tawarkan kereta telah membawa aku menjauh dari keramaian dan menjumpai sunyi, lalu memberikan ruang dan waktu untuk berpikir dan merenung --- tentang makna pulang ke rumah?

Kereta semakin melaju cepat, berlari mengajak lamunan kembali bercanda dengan kenangan di masa silam.

Tiba-tiba aku merasakan kembali pelukan hangat tangan kekar bapakku dengan wajah lelahnya, di saat aku menyampaikan keinginan untuk menjemput harapan di ibu kota.

Aku tak sanggup untuk meneruskan kepedihan hati, saat membayangkan wajah lelah bapakku yang tak mungkin lagi kutemukan.

Hanya wajah lembut ibu yang penuh kasih dan harapan, yang tersisa dan tak lelah terus memanggil aku untuk pulang mudik walau hanya sejenak, sekadar melepas kerinduan hati seorang ibu pada anaknya.

Mengingat semua itu, kepedihan yang begitu ngilu, hadir menyayat sudut hatiku. Kini aku dapat membayang betapa sedih dan lukanya hati ibu, ketika aku mengabaikan harapannya memanggil aku pulang.

Rasa sesal dan bersalah seketika menyelimuti seluruh kehidupan yang aku miliki, mendesak keinginan hatiku saat ini untuk segera berjumpa ibu, dan kembali merasakan kehangatan yang sudah cukup lama aku abaikan selama ini.

Bulir bening di sudut netra, sejenak menetes di punggung pipiku saat itu, seakan ingin menghapus semua sesal yang terjadi.

Aku tidak mengerti, mengapa mendadak berubah. Seakan semua kenangan yang menggenang di jiwaku pupus seketika. Kini, tersisa hanya harap untuk bergegas menyambut kisah baru bersama kasih ibu.

Kereta ini, bukan sekadar sebagai sarana yang membawa tubuh aku pulang, tetapi juga telah menjadi simbol perjalanan batin saya yang terjal untuk berdamai dengan diri sendiri.

Dalam setiap kilometer kehidupan yang saya lalui, banyak kisah yang sebelumnya tidak saya mengerti, sehingga membuat saya terus menghindarinya, karena merasa tidak sanggup untuk menghadapinya.

Namun, ketika kereta mulai memasuki daerah yang cukup familier dengan kehidupan saya, perasaan rindu itu semakin membuncah begitu kuat. Gerimis mulai turun seakan ia menyambut kedatangan saya dengan senyum lembutnya.

Stasiun Tugu, sebagai tempat pemberhentian menjadi saksi bisu dari seluruh harapan hati yang kumiliki saat ini, di mana aku ingin melunasi kerinduan ibu yang telah aku abaikan selama ini.

Keraguan hati yang melukis kekecewaan ibu, kini telah sirna. Aku percaya sosok ibu yang merindukan diriku, telah hadir di peron untuk memeluk hangat buah hatinya yang menghilang di telan waktu sekian lama.

Gaun biru, di bawah payung merah, tersenyum lepas begitu melihat diriku. Ibu berlari seakan ingin melindungi diriku, dari tumpahan rinai yang mulai deras membasahi bumi dan kecemasan

"Ibu," lirih suaraku memanggilnya sambil  memeluk erat tubuhnya yang terlihat semakin renta. Rasanya aku tak ingin melepaskan pelukan yang sekian lama pernah aku tinggalkan. "Ibu, terima kasih sudah menunggu."

Tanpa menunggu detik berpindah, kami pun melangkah membelah rinai, menyusur jalan pulang ke rumah.

Sepanjang jalan yang kami lalui, aku merasakan seperti kembali mendapatkan bagian yang hilang dari diriku itu.

Kini, aku telah menemukan kebenaran dari apa yang diucapkan nenek yang duduk di sebelah diriku: Aku tidak hanya pulang ke rumah, tetapi saya juga pulang ke hati saya sendiri, yang telah lama saya tinggalkan.

Aku tak mampu sampaikan terima kasihku yang mendalam pada KAI, bukan sekadar sebagai sarana untuk mengantarkan diriku mudik dan menjumpai ibu di Yogyakarta, tetapi juga mengantarkan hatiku untuk kembali berani menjumpai diriku, yang selama ini aku hindari.

Terima kasih KAI, melalui layanan yang kau mengajarkan aku untuk bertahan dan terus berusaha menemukan harap: perjalanan yang jauh dan melelahkan, akan menjadi titik balik kita menemukan kedamaian, meski pun terkadang membuat kita kebingungan.

Baca juga: Dilema pengangguran dan Tantangan Produktivitas pada Usia Kerja

@senimelipatluka, 14 Mei 2025

Tulisan ke-29 Tahun 2025
#Puisi ke 19 Tahun 2025
#Artikel ke-10 Tahun 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun