Sudah terlalu lama aku meninggalkan tempat itu, tempat yang seharusnya membuatku tersenyum bahagia dalam kehangatan cinta.
Ternyata aku lebih memilih untuk bergulat lalu mengalahkan kebisingan ibu kota, dengan berbagai kesibukan sebagai ladang pengabdian, yang dihiasi dengan rangkaian tanggung jawab.
Hingga akhirnya tanpa aku menyadari telah membuat diriku lupa dengan kata 'rumah' sebagai ruang bertabur tawa dan derai air mata dalam peluk dan kehangatan cinta bernama "keluarga"
Bagi banyak orang, rumah bukan sekadar tempat untuk meletakkan kepala dan menikmati sesuap nasi, namun rumah adalah tempat jiwa yang merindu, tempat yang mengingatkan kembali siapa diri kita.
Dari rumah itulah kita berasal, dan di sanalah kita mengenal sosok penuh kasih, yang kita panggil bapak dan ibu.
Rumah bukan sekadar bangun geometri dengan atap dan dinding pembatas dari setiap ruang. Tetapi rumah adalah pelukan diam, yang tak pernah menutup pintu, meski berpeluh lelah dan luka.
Bahkan, rumah akan menjadi sajak dan nyanyian sunyi yang tak pernah usang meski tak bersuara.
Namun setia memberikan cintanya, meski terkadang kita melupakan betapa bahagianya kita memiliki "rumah"
Lamunan terhenti, ketika suara gemuruh rel menyapa membentur roda besi, sebagai pertanda tubuh deretan gerbong mengular. Kereta itu pun datang.
Sejenak aku pun mengikuti langkah kakiku yang mengajak diriku berpindah mendekati pintu gerbong kereta. Lalu  menuju kursi yang berada dekat jendela, tempat tubuhku bersandar dengan nyaman.
Bagiku, tempat ini begitu nyaman sehingga dari balik jendela, mataku berlayar bebas menjelajah lautan kenangan hidup yang kulalui. Aku pun meletakkan tas di bawah tempat dudukku itu.