Batuk kecil, mulai terdengar di antara kisah sang nenek, membuat aku sadar bahwa kita memang butuh waktu untuk mencari dan menemukan atas banyak hal yang belum selesai.
Perjalanan kali ini aku rasakan memang ada satu hal yang berbeda, seakan aku merasakan ada bagian dari diriku, yang kini kembali mulai terbuka.
Mungkinkah, magnet cinta yang di tawarkan kereta telah membawa aku menjauh dari keramaian dan menjumpai sunyi, lalu memberikan ruang dan waktu untuk berpikir dan merenung --- tentang makna pulang ke rumah?
Kereta semakin melaju cepat, berlari mengajak lamunan kembali bercanda dengan kenangan di masa silam.
Tiba-tiba aku merasakan kembali pelukan hangat tangan kekar bapakku dengan wajah lelahnya, di saat aku menyampaikan keinginan untuk menjemput harapan di ibu kota.
Aku tak sanggup untuk meneruskan kepedihan hati, saat membayangkan wajah lelah bapakku yang tak mungkin lagi kutemukan.
Hanya wajah lembut ibu yang penuh kasih dan harapan, yang tersisa dan tak lelah terus memanggil aku untuk pulang mudik walau hanya sejenak, sekadar melepas kerinduan hati seorang ibu pada anaknya.
Mengingat semua itu, kepedihan yang begitu ngilu, hadir menyayat sudut hatiku. Kini aku dapat membayang betapa sedih dan lukanya hati ibu, ketika aku mengabaikan harapannya memanggil aku pulang.
Rasa sesal dan bersalah seketika menyelimuti seluruh kehidupan yang aku miliki, mendesak keinginan hatiku saat ini untuk segera berjumpa ibu, dan kembali merasakan kehangatan yang sudah cukup lama aku abaikan selama ini.
Bulir bening di sudut netra, sejenak menetes di punggung pipiku saat itu, seakan ingin menghapus semua sesal yang terjadi.
Aku tidak mengerti, mengapa mendadak berubah. Seakan semua kenangan yang menggenang di jiwaku pupus seketika. Kini, tersisa hanya harap untuk bergegas menyambut kisah baru bersama kasih ibu.