"Aku bukan hanya tahu, kapten. Aku menyaksikan segalanya. Tepat seperti katamu barusan. Dari tempat ini aku menyaksikan Reni menghujamkan pisau berkali -- kali ke tubuh Iwan."
Senyuman yang dipaksakan oleh Udin membuatku membenci orang ini begitu rupa.
***
"Jelaskan dengan sedetil -- detilnya kronologi kejadian perkara, tuan Udin."
Udin menunduk, lalu membuka suara, "Pada sekitar jam setengah sembilan aku baru bangun. Aku segera menemukan susu krim hangat di meja tengah yang disiapkan oleh Reni, sebelum beranjak keluar teras untuk menikmati pemandangan dan udara pagi. Namun tiba -- tiba terdengar suara berisik dari bawah. Aku adalah seorang pemalas, tuan detektif, maka aku malas untuk mengecek ke bawah. Itulah pula mengapa aku tidak bereaksi pada pekerjaan polisi di kolam sebelumnya. Aku minta maaf jika itu memberatkan."
"Lanjutkan." ujarku tegas.
"Ribut -- ribut itu terus berlangsung, dan ketika aku sadar bahwa itu bukan hal yang biasa, terdengar suara ceburan dari arah kolam. Aku segera berlari ke pagar teras. Ceburan kedua terdengar. Aku terkejut, kapten. Istriku menggenggam pisau! Ia lalu menyerang orang sebelumnya. Dan aku terkejut kembali. Itu si Iwan Tolol! Aku tidak sempat berteriak, apalagi menghalangi istriku. Dalam waktu singkat Iwan sudah tertelungkup di permukaan kolam, dengan baju hijau hawaiinya. Istriku lalu melihat ke atas dan bertemu pandang denganku. Ia terlihat bersalah. Ia kemudian lari dari pintu gerbang depan dan tidak kembali lagi."
"Tunggu, kau bilang ia menyerang Iwan dengan pisau. Di bagian manakah ia menusuk korban?"
Udin sedikit berpikir. "Kejadiannya cepat dan rusuh, kapten. Namun jika pengamatanku jeli, maka Reni berkali -- kali menyerang leher Iwan."
Aku belum mendapat informasi mengenai luka Iwan, oleh karena itu aku bertukar pandangan dengan Mahmud yang memastikan kebernarannya. Charles yang skeptis langsung menginterogasi.
"Benarkah kau tidak mengetahui ke mana istrimu pergi? Bisa saja kau melindunginya."