Mahmud lalu menunjuk dasar kolam, "Mosaik dasar kolam itulah yang menyebabkannya berwarna merah. Ubin -- ubinnya. Sangat cocok untuk mengejutkan orang, memang. Udin Sengkala memang punya rasa humor."
Mahmud melanjutkan telunjuknya, kini menuju tubuh di atas kolam. "Namun tidak untuk bagian itu. Di sekitar tubuh itu, memang benar -- benar darah. Lihat saja, warnanya lebih pekat di sana. Dan mayat itu mengenakan baju merah, maka terlebih -- lebih menonjolkan nuansa darah."
Aku mengangguk menyetujui, "Artinya korban belum lama menemui ajal. Dan siapakah identitasnya?"
Mahmud menunjukkan dompet, lalu mengeluarkan ktpnya. "Seseorang bernama Iwan Tejakusumo. Pekerjaannya seorang seniman. Berusia lima puluh tahun. Kita harus mengecek lagi di database polisi. Kirman, coba kamu cek data KTP ini, lalu bawa informasinya kepadaku."
Seorang anggota forensik mengangguk dan mengambil KTP dari Mahmud. Di sebelahku, Charles sudah tersenyum sinis. "Pekerjaan seniman? Nampaknya ada deal yang berlangsung salah. Antara sesama seniman, tentu saja."
Itu pulalah yang menjadi pemikiranku ketika kata seniman disebut. "Ngomong -- ngomong, di mana Udin Sengkala? Siapa yang melaporkan kejadian ini?"
Charles menjawab, "Seseorang bernama Yudha. Ia mengaku pelayan di rumah ini."
Mahmud menanggapi, "Dan mengenai pertanyaan di manakah Udin Sengkala sekarang, lihat itu. Ia sedang memerhatikan kita dari teras tingkat dua di atas kursi goyangnya. Seakan -- akan kita adalah sebuah tontonan theater. Seniman sinting."
Aku menganggukkan bahu, "Cukup tenang untuk seorang tertuduh pembunuhan."
***
Karena sifat eksentrik yang dimiliki oleh seorang seniman sukses, maka kami mengalah dan menemui Udin di tingkat dua. Dalam perjalanan kami menuju tingkat dua, sebuah pertanyaan menggelitik terpikir di kepalaku. Jika dari luar rumah itu terkesan elegan karena ukiran -- ukiran di dinding dan pilar, maka di dalamnya terlihat begitu simplistik.