"Lalu siapa?" ujarku membalas cepat. Di luar dugaanku ternyata ia diam seribu bahasa. Aku mengulangi pertanyaanku. "Siapa, Udin?"
"Aku tidak tahu, polisi."
"Baiklah, jika kau ingin bermain seperti ini. Mari kuulang fakta -- faktanya. Seseorang bernama Iwan Tejakusumo ditemukan meninggal pukul sembilan pagi ini. Melihat kondisi mayat dan darah yang tercampur air kolam, pembunuhan terjadi kurang lebih sejam atau dua jam dari sekarang." Aku menatap Mahmud dan ia mengangguk terhadap keteranganku.
"Aku sudah memerhatikan denah rumah ini. Pintu masuk hanyalah pintu gerbang depan. Tembok setinggi dua meter mengelilingi rumah, mustahil untuk dipanjat. Lalu kau bisa bebas menatap ke arah kolam. Melihat sikapmu yang tetap tenang walaupun ada mayat mengambang di kolammu, juga saat penyidikan polisi, maka ini semua akan memberatkanmu di persidangan nanti. Bahkan sebelum persidangan tim investigasi akan menggertak dengan lebih kasar di ruang penyidikan. Maka, saranku, lebih baik berterus terang sekarang, tuan Udin."
Udin menatapku, lalu membuang napas panjang. Ia kemudian membuka kaca mata hitamnya, dan menerawang jauh ke depan. Ia menarik napas panjang lagi.
"Bukannya aku tidak ingin berterus terang, kapten. Aku...aku serba salah..."
"Apa maksudmu dengan serba salah?"
Ia kemudian menatapku kembali, "Yang membunuh Iwan Tolol itu, ya begitulah ia disebut di lingkungan seniman, adalah istriku, Reni."
"Di mana ia sekarang?"
"Aku tidak tahu, kapten."
Charles mengernyit, "Bagaimana kau tahu ia yang membunuh Iwan Tejakusumo? Mengapa kau tidak menghalanginya?"